Silent

695 116 10
                                    


Seperti biasa, hari ini adalah hari Senin yang sangat melelahkan. Sebagai siswa tingkat akhir, aku akan bersekolah hingga pukul lima sore, dilanjutkan dengan kelas malam hingga pukul delapan.

"Jadi, silangkanlah susunan DNA ini menjadi ...."

Aku menguap, tanpa sadar. Semua terasa membosankan sekarang. Setiap hari aku terus dicekoki pengajaran yang berbeda dan dituntut untuk menerima semuanya tanpa boleh bertanya.

Tanpa sengaja, kuarahkan mata ke sebelah kiri dan menemukan Caska, teman sekelasku yang cantik itu tampak serius mencatat. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya.

"Pak, tapi jika susunan DNA itu diubah, bukankah hal itu bi—ah!"

Mataku membulat mendengar suara teriakan milik Caska yang kini mengaduh kesakitan. Guruku hanya menoleh, kemudian melanjutkan penjelasannya tanpa mempedulikan Caska yang kesakitan dan memegangi lehernya.

"Seperti yang kalian tahu, tidak ada yang boleh bicara di kelas ini kecuali saya. Kelas saya akhiri lebih cepat, kalian boleh pulang," ucup guruku sambil berjalan ke luar kelas.

Aku merapikan buku-buku yang berserakan di meja dan berjalan menghampiri Caska. Di lehernya terpasang kalung dengan liontin berwarna merah itu kini terlihat bekas jeratan dan luka yang cukup dalam. Kuulurkan tangan untuk menyentuhnya, tapi dengan cepat Caska menepis tanganku.

Mata kami berpandangan, dan melalui matanya aku tahu apa yang akan ia katakan. Pelan, aku menarik kembali tanganku dan segera menjauh darinya. Tidak ada gunanya, aku tidak bisa melakukan apa pun sekarang. Karena aku hidup di dunia di mana bicara adalah sebuah kesalahan fatal. Kecuali satu, jika aku berhasil mendapat kekuasaan yang cukup. Duniaku berbeda kini, dan aku memilih untuk diam, karena suaraku tidak akan didengar.

***

Aku memainkan liontin kuning yang terpasang di leherku, sesekali kuremas kuat, berharap dapat menghancurkan benda itu, lalu melepasnya lagi karena aku tahu semua akan sia-sia. Ibuku masih menyiapkan makan malam, tetap dalam keheningan.

"Cepat makan dan beristirahat, Zha," kata Ibu pelan.

Tanpa mengucapkan apa pun, aku mengambil sendok dan memakan makanan yang sudah disiapkan dalam diam. Peraturan itu juga berlaku bahkan di rumah, tempat aku harusnya merasa nyaman. Sayangnya benda kecil sialan di leherku ini mampu menghancurkan semuanya.

"Bagaimana sekolahmu?"

Liontinku bergetar dan berkedip pelan, tanda aku boleh berbicara. Kukunyah makanan cepat, kemudian berkata, "Baik-baik saja, Bu, seperti biasa. Hanya saja, ada sebuah kejadian kurang menyenangkan."

"Apa itu?"

"Caska mendapat jeratan di lehernya karena tanpa sadar bicara dan pertanya di pelajaran Pak Hendra. Bahkan Pak Hendra tidak bertanya bagaimana kondisi Caska setelah itu, dia hanya membubarkan kelas, dan pergi."

Ibuku berdeham. "Ibu harap kamu tidak akan melakukan kesalahan seperti itu, Zha. Kita hanya memiliki liontin kuning, kecuali kamu bisa menjadi yang sangat hebat, anggota parlemen misalnya, kita tidak bisa berbicara atau berulah."

Mataku terbuka lebar mendengarnya. "Bahkan Ibu pun tidak bertanya bagaimana kondisi Caska?"

"Semua kesalahan akan mendapat hukuman," jawab Ibu, dingin.

Mulutku terbuka untuk membantah, sayangnya liontin ini berkedip lagi, tanda aku harus diam. Kesal, aku melempar sendok di piring dan berdiri meninggalkan meja makan.

Tidak boleh bicara, tidak boleh protes, tidak boleh membuka mulut. Semua karena pemerintah menetapkan aturan dasar bagi kami. Mereka yang boleh bicara bebas hanya kaum atas dengan liontin merah di kalungnya. Itupun jika pemilik liontin mampu menunjukkan dirinya berkuasa.

GenreFest 2018: DistopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang