Ain't Nobody

587 69 23
                                    

"Baik." Tyson menutup buku yang ia pegang. "Kau boleh pergi."

"Kapan kami harus kembali ke sini?"

"Minggu depan. Ada lagi yang ingin kalian tanyakan?" Suara gahar Tyson terdengar mengintimidasi.

Dylan mengangkat bahu, menarik Daniel yang —dengan bodohnya— masih saja mencari-cari 'masalah' dengan memberi pertanyaan yang jelas-jelas sudah tertera di dokumen sebelumnya. Roommate-nya itu menyeringai, mengikuti langkah Dylan sebelum suara Tyson menghentikan langkah mereka.

"Mau kemana kau? Aku tidak menyuruhmu pergi." Suara Tyson terdengar berwibawa —seperti biasa— (bagi Dylan) dan sedikit mengerikan (bagi Daniel).

Daniel berbalik, cemberut. "Kau yang menyuruh kami pergi, Dude. Apa kau baru saja hilang ingatan saat kami berbalik?"

"Bukan kau." Tyson menyalak garang. "Aku bicara dengan Dylan, bukan upil sepertimu."

"Ada apa?" Dylan menoleh, malas. "Apa aku melakukan kesalahan?"

Tyson bersedekap. "Aku ingin bicara denganmu, tanpa si kecil pengganggu yang selalu mengintil denganmu."

"Aku masih di sini." Daniel mengerang, semakin cemberut terutama ketika Tyson mengibaskan tangan, seolah-olah keberadaan Daniel tidak diperlukan.

Dylan menggamit pergelangan tangan Daniel. "Kau pergi saja dulu. Aku akan kembali setelah selesai." Pemuda itu memutar bola mata jemu saat Daniel memasang wajah seperti kucing yang ditelantarkan pemiliknya. "Pergi sana!"

"Kau mengusirku?"

"Ya."

"Dasar tega! Aku tidak sayang lagi padamu!" Daniel —pura-pura— menjerit dramatis saat keluar dari ruang pemeriksaan, tak memedulikan beberapa petugas kesehatan yang masih berseliweran di lorong utama memperhatikannya sebelum terkikik geli, sudah biasa dengan kelakuan 'ajaib' Daniel.

Pemeriksaan terakhir hari ini. Dylan sengaja meminta jadwal paling akhir pada Tyson karena mereka harus maraton mengejar ketertinggalan materi lanjutan dan uji kompetensi lanjutan dari pagi sampai larut malam. Sudah tiga hari ini Dylan merasa kepalanya pusing dan berlanjut dengan demam tinggi. Sebagai konsekuensinya, Daniel harus ikut absen karena hanya pemuda dengan kulit seputih salju itu yang —dengan ajaibnya— bisa menangani Dylan yang uring-uringan saat sakit.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" Dylan bersedekap, mengentakkan kaki dengan irama teratur berulang-ulang. Seperti biasa, menjaga jarak. "Apa aku melakukan kesalahan?"

"Bagaimana dengan sakit kepalamu? Apa masih kambuh?" Tyson memberi isyarat pada Dylan untuk duduk di salah satu sofa setelah ia sendiri membenarkan posisi duduk. "Kau tidak melakukan kesalahan, by the way. Santai sedikit, Dylan. Kau terlalu tegang."

"I'm fine, Tyson." Dylan menyeringai. Pertanyaan yang sama untuk sekian kalinya, setelah beberapa teman di gedung utama juga bertanya dengan bertubi-tubi. "Aku tidak punya banyak waktu, jadi to the point saja, apa yang ingin kau katakan?" Dylan kembali bersedekap setelah menyandarkan punggungnya.

"Ini hasil pemeriksaan rontgenmu." Tyson menyodorkan sebuah tablet, menunjukkan beberapa bagian lobus otak yang penting bagi orang militer atas seperti Dylan. "Aku menemukan ada masalah pada chip di lobus yang penting. Hanya sedikit, tapi bisa saja berpengaruh kalau tidak diantisipasi. Aku menyarankan agar chip tersebut diganti segera untuk berjaga-jaga."

Dylan menghela napas. "Jadwalku sangat padat akhir-akhir ini." Pemuda dengan anting di telinga kiri itu lantas mengembalikan tablet tersebut pada empunya.

"Aku tahu itu." Tyson mengusap dagu. "Aku sarankan agar kau meluangkan satu-dua hari. Akan sangat fatal kalau sampai terjadi kerusakan pada chip-mu, terutama karena benda itu tertanam di lobus yang berhubungan dengan ingatan masa lalu."

GenreFest 2018: DistopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang