-Dua Puluh-

1.6K 266 20
                                    

"Begitu tahu kalau itu kau, aku tidak sabar ingin berbicara banyak denganmu," tutur Dazai.

[Name] menyimak. Diteguknya sekali teh beraroma lavender yang Dazai buatkan khusus untuknya.

Aroma yang menenangkan. Cocok untuk situasi saat ini. Dia meletakkannya di atas tatakan kaca itu.

"... aku ingin memberikan pekerjaan rumahku," tambahnya.

[Name] sedikit memiringkan kepalanya, bingung. Dia tidak ingat seandainya memang ia memberikan pekerjaan rumah pada Dazai.

Lantas, apa maksudnya dengan pekerjaan rumah?

Dazai dan [Name] saling berpandangan. Tetiba Dazai mengembangkan senyumannya lebih.

"Arti hidupku adalah masalahku dan masalahku adalah mencari seseorang yang berarti untukku."

"Eh...."

"Itu kau, [Name]-chan."

🔫🔫🔫

Dazai merasakan hal aneh dalam dadanya. Bukan, tapi merasakan sesuatu ada yang mengganjal begitu melihat gadis di depannya ini tersenyum misterius dan melewatinya begitu saja.

Sesuatu ada yang kurang. "Apa... maksudmu?" tanyanya lebih pada dirinya.

Gadis itu tetiba menghentikan langkahnya. Dia memutar sedikit lehernya ke belakang dan tersenyum.

Melihat Dazai mematung bingung, gadis itu memutar tubuhnya sempurna dan berkata, "itu masalahmu, Dazai-kun."

🔫🔫🔫

"Ketika seseorang tidak mengetahui arti akan kehidupan, itulah masalahnya...."

[Name] menatap Dazai lurus, sedikit terkejut. Hal itu yang memang dari dulu [Name] maksud. Tapi tetap saja membuatnya bingung, kenapa jawabannya adalah dirinya sendiri?

"... dan masalah itu menjadi tujuan dari hidupku untuk menyelesaikannya," tambahnya.

"Dazai-san, kapan kau menyadarinya?" tanya [Name], penasaran.

"Ketika kau tidak kembali lagi ke Yokohama."

🔫🔫🔫

Dazai mondar mandir di dalam ruangan yang luas ini. Bukan kala dirinya merasa bosan, tapi terganggu akan suatu hal.

Namun, bagi Chuuya yang lebih mengganggu adalah dirinya itu. Suara kaki dan bayangan dirinya tidak ada henti-hentinya melewati depan wajahnya.

"Oi, Brengsek!" teriak Chuuya. "Bisa kau berhenti mondar mandir seperti itu? Itu mengganggu!"

"Bersikik kau, Cebol-kun," Dazai meladeni.

Chuuya naik piktam, sebal. Namun anak laki-laki bersurai senja itu menahan emosinya yang menyulut.

"Dazai-kun, kau terlihat terganggu. Ada apa?" tanya Mori, penasaran dengan tingkah Dazai yang biasanya tampak tenang.

"Mori-san...." Dazai mengedarkan pandangannya. "Jika ada yang memberimu teka teki, apa yang akan kau lakukan?"

Mori mengangkat sebelah alisnya. Dari balik mejanya, dia menumpukan kedua sikutnya di atas.

"Tentu saja menjawabnya," jawab Mori ringan.

"Bagaimana?"

"Kau cukup menjawab di depan orang yang memberimu teka teki. Seandainya salah atau benar, kau akan langsung diberi tahu, 'kan?"

"Kalau dia tidak ingin memberitahunya?"

"Kau paksa saja dia, kalau perlu dengan ancaman."

Jawaban Mori terdengar masuk akal, tapi itu sangat brutal dan tentu Dazai menyadarinya pun tak akan melakukan hal demikian. Namun, apa Dazai bisa sekali lagi bertemu gadis itu?

Jangankan untuk bertemu kedua kalinya, sempat menanyakan nama gadis itu saja tidak. Lantas, bagaimana dia mencari tahunya?

"Oi, Chuuya." Dazai memutar leher, menatap Chuuya. "Antarkan aku."

"AAA—! TIDAK MAU!"

Dazai memincingkan pandangannya. "Chuuya, kau itu anjingku. Ketika aku memintamu untuk menjilat es krim di kakiku, maka jilatlah; ketika aku memintamu untuk berguling, maka lakukanlah."

"Oi! Sudah kukatakan bukan kalau pertandingan itu tidak benar!"

"Oh! Kau tidak ingin mengakui kekalahanmu? Ingin bertanding lagi?"

Setelah bertanding sebanyak 150 kali dengan 50 seri dan 25 kemenangan, akhirnya dengan terpaksa, Chuuya membawa Dazai ke tempat yang diinginkannya. 

Tapi yang paling membuat Chuuya kesal adalah, bisa-bisanya Dazai memenangkan pertandingan tiga kali lipat dari kemenangannya!

Setelah saling berdepat tentang betapa leletnya Chuuya membawa Dazai, akhirnya Dazai sampai di tempat terakhir ia bertemu gadis itu. Namun, nihil.

Pemakaman itu tampak damai dan sunyi seolah tidak ada yang menghuninya. Namun samar-samar, Dazai mendengar suara sapu yang bergesekan dengan lantai batu.

Dazai melangkahkan kakinya memasuki makam. Ia akan senang jika itu gadis saat itu, sayangnya bukan, hanya seorang wanita paruh baya berambut putih dengan postur tubuhnya yang masih bisa aktif bekerja.

Ketika matanya berpaling pada karangan bunga tepat di makam kedua orang tua gadis itu, Dazai tercenung sesaat.

Buket bunga itu terlihat masih baru, bahkan sepertinya belum lama diletakan di sana.

"Obaasan," panggil Dazai. Wanita itu menoleh dan terlukis senyuman di wajah keriputnya. "Apa kau tahu dimana gadis yang meletakan bunga itu?

"Ara ...? Kau kenalannya?" Dazai mengangguk. Wanita itu melirikkan makam terkait lantas kembali pada Dazai. "Dia sudah pergi."

"Eh?"

"[Name]-chan sudah tidak memiliki siapa pun lagi di sini, makannya Paman dan Bibinya membawanya pergi."

"Kemana?"

"Kulihat bibinya bukan orang Jepang." Sang Nenek itu berpikir sejenak. "Benar juga, mungkin keluar negeri."

Dazai memang tidak menemukan petunjuk, tapi dia berhasil mendapatkan sesuatu yang lebih penting.

Sebuah nama.

[Name]

🔫🔫🔫

Sekali lagi [Name] dibuat tercenung. Dia ingat semuanya dan dia senang bisa mengetahui hal ini.

"Syukurlah." Pandangannya jatuh, tapi terlukis senyuman di sana. "Ternyata kau masih hidup selama tiga tahun terakhir ini, Dazai-san."

Tutur katanya terdengar halus di telinga Dazai, selalu. Pemuda itu memejamkan matanya sesaat dan tersenyum.

"Tidak ingin memanggilku seperti dulu lagi, [Name]-chan?"

🔜 To Be Continued 🔜

✅️ [16+] A Glass of Whisky 🔫 Dazai!Mafia X Reader!NoAbilityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang