bagian 1

2.1K 64 3
                                    

Bakso Nano-Nano (Part 1)

By: yanz

-Nathan POV-

Aku menghempaskan bahuku ke sofa kemudian memejamkan mata. Tubuhku letih plus masuk angin, penjara rasanya tak cocok buat badanku meskipun cuma satu malam.

Semalam saat aku dan genk motorku mengadakan balapan liar, ada kawanan polisi sialan itu mengadakan razia dadakan, kami langsung kabur.

Tapi sialnya motorku macet disaat segenting itu, aku menstaternya berkali-kali atau mengengkolnya tapi nihil!

Hingga aku harus menerima kenyataan, kepalaku dipentung polisi dan badanku ditendang habis-habisan sebelum digelandang ke kantor polisi beserta beberapa temanku yang juga sama sialnya.

Tapi begitu paginya orang tuaku langsung membayar denda setelah berdiskusi sekian lama dengan sang polisi, dan disinilah aku sekarang. Di rumah megahku tapi hawanya kaya neraka.

"Lihat! Gini ya kelakuan anakmu, mempermalukan keluarga saja! Mama kalau gak becus jaga anak, berhenti saja bekerja!" teriak papa emosi kepada mama, tepat di depanku yang sedang bersantai. Aku menatap dingin.

"Dia juga anak papa, ingat! Anak laki-laki papa, harusnya papa yang mengajari dia bagaimana seharusnya laki-laki bersikap!" teriak mama gak kalah nyolot.

"Nyalahin papa lagi, papa itu tugasnya nyari uang dan mama yang harusnya urus rumah tangga! Pokoknya mulai besok mama gak boleh lagi ke kantor, mama harus berikan perhatian penuh pada Nathan anak semata wayang kita!"

"Gak.. Gak bisa pah! Papa egois ya, dari awal pernikahan juga kita komitment mama tetap jadi wanita karier. Kalau begini lebih baik kita cerai.."

"DIAAAM!!! Orang tua gak punya otak!" teriakku geram, menunjuk-nunjuk kepalaku sebagai isyarat gak punya otak. Aku berjalan keluar dan membanting pintu, segera kunyalakan motorku yang juga berhasil di bawa pulang tadi pagi.

Aku menghela nafas panjang, mentalku bisa rusak dengan guncangan yang sudah rutin terjadi di rumah. Harusnya aku biasa saja, tapi aku paling tidak tahan jika harus mendengarkan teriakan kedua orang tuaku. Ingin rasanya aku kabur, sehingga aku lebih sering meluangkan waktu di luar hingga tengah malam atau pagi dari pada di rumah dengan suasana mencekam.

Rumahku yang besar ini terasa begitu sepi jika mereka sedang bekerja di siang hari namun jika mereka datang terasa sangat rame, bukan karena bercengkrama layaknya keluarga normal, justru karena makian mereka.

Aku menangis sepanjang jalan, kenapa aku harus berada di dalam keluarga setan ini!! Aaarghh.. Aku membutuhkan kasih sayang, berlibur bersama, menonton bersama, diusap dan dicium.

Dan dadaku semakin nyeri ketika di pinggir jalan aku melihat ada anak TK yang dicium kedua orang tuanya penuh kasih sayang dan diusap kepalanya sebelum masuk ke dalam sekolahnya.

Entah berapa lama aku tak merasakan moment indah itu, hingga hatiku mati rasa sekarang.

Aku yang tak tau menuju kemana, setelah beberapa jam berkeliling kota akhirnya memutuskan untuk beristirahat. Aku duduk di pinggir jalan dan menghela nafas panjang-panjang.

"Kata orang, menghela nafas itu mengurangi hidupmu satu tahun.." ucap suara dingin yang membuatku mengangkat wajah.

Aku melihat seorang tukang bakso yang mendorong gerobaknya sedang berjalan di depanku acuh, namun akhirnya dia menghentikan gerobaknya kemudian merapikan kursi-kursi di sekitar dan juga mempersiapkan jualannya, rupanya ini lapaknya sehari-hari, aku baru kali ini mampir di sini.

"Sotoy lu.. Zaman sekarang masih pake mitos pula.." ucapku ketus dengan tatapan menusuk.

Dia mendelik, "Itu bukan mitos, itu kenyataan. Kehidupan yang dimaksud adalah makna hidup yang sesungguhnya. Ketika kita menghela nafas penuh dengan beban maka disaat itulah kita kehilangan makna dan kenikmatan hidup, hanya mengeluh dan menganggap diri paling malang di dunia."

Aku tertohok mendengar kalimat panjang dari tukang bakso itu, sangat jleb dengan apa yang aku alami. Apa aku kurang bersyukur?

"Ah gak! Tuhan emang gak adil sama gue! Kenapa gue harus berada di keluarga setan ini aaargghh.."

Tukang bakso tadi langsung mengibaskan tutup pancinya ke pipiku..

PLANG!

"Bodoh.." desisnya dingin.

Aku langsung meledak dan berdiri sigap, "Woi apa-apaan sih lu!!" aku menunjuk bringas pipiku yang memerah karena pukulan keras dari tutup panci panas.

"Memangnya masalah apa yang membuatmu sebodoh ini?" ucapnya santai mengaduk bakso tanpa menatapku.

"Bukan urus... Ungghh umm.." gumamku karena terkejut dia menggerakkan garpu dengan sigap menjejalkan bakso hangat ukuran lumayan besar ke dalam mulutku.

Aku mengunyahnya namun terhenyak begitu merasakan cabai di tengah bakso itu, "Huaaaah pedass aaah.. Sialan lo.. Pedaass.." aku mengibas-kibaskan mulut mencari air, "Air woi mana air!!" teriakku panik.

Dengan muka datar dia menunjuk ember di dekat kakinya, dengan cepat aku meminumnya dengan tanganku hingga pedasnya berkurang. Otakku mulai berjalan, menatap ember yang berisi beberapa mangkok dan air yang keruh, aku langsung berteriak, "Sialan lo ngasih gue air cucian!!!"

Dia tertawa gelak, "Ahahaha... Wajahmu lucu sekali.." ejeknya.

Aku geram menendang embernya kesal kemudian duduk lagi di posisi awal.

"Sharing biasanya mengurangi beban," ucap tukang bakso muda itu tanpa menatapku, dia mulai melayani para pembeli dengan tangannya yang bergerak lincah memasukkan satu persatu bahan ke dalam mangkok, sesekali dia tersenyum ramah pada muda mudi yang duduk di bangku panjang samping gerobak.

Ya dia masih muda, kayanya masih dua puluh tahunan, bertubuh tinggi, padat, kulit kecoklatan dengan pakaian yang cukup gaul untuk ukuran tukang bakso, rambutnya juga diberi gel hingga jadi mohawk.

"Ortu gue.." ucapku ngegantung. Terus otakku kembali bereaksi, ngapain aku curhat sama orang asing!

"Kenapa ortumu?" tanyanya.

"Udah ah.. Atas dasar apa juga gue curhat sama orang asing!" ucapku sambil mendengus.

"Orang yang dikenal itu berawal dari orang asing. Sharing lah, trust me, you will feel better."

Aku melirik ke tukang bakso sok bijak ini, dia masih sibuk dengan urusannya, "Well, aku tak akan memaksa." ucapnya datar.

"Ortu gue gak perhatian! Mereka kerja mulu, hingga gue terjebak dalam dunia kelam!" ucapku setengah meledak.

"Hanya itu?" tanyanya dingin, dia menoleh dengan senyum meremehkan kemudian pergi mengacuhkanku, aku langsung emosi dan mengejar dia yang ke bangku pelanggan.

"Hah? Apa maksud lu hanya gitu? Lu gak tau apa yang gue rasain, lu cuma bisa nyerocos." aku berkecak pinggang sambil memelototinya seolah mataku akan keluar.

Dia masih acuh, berjalan kembali ke depan gerobak. Dia tersenyum pada gerombolan cewek-cewek yang baru datang, memesan bakso dan segera menyiapkan dengan cepat tanpa menatapku.

"Iya, hanya itu kan? Mereka hanya kurang perhatian kan? Tapi mereka tak meninggalkanmu kan? Mereka masih hidup kan? Mereka bekerja untukmu, memberikanmu pendidikan, memberimu jajan sehingga kau tak perlu mencari uang, memberikanmu pakaian rapi bahkan fasilitas seperti motor mewahmu sekarang," ucapnya dingin, melirikku dengan senyuman sinis.

Aku mengerucutkan bibir karena kesal, namun dia ada benarnya. Hidupku tak seburuk yang kupikirkan. Aku mulai mengatur nafas dan mengusap dada.

"Pejamkan matamu dan cobalah berpikir positive..." ucap tukang bakso itu dengan nada yang lebih hangat dan menyunggingkan senyuman lembut.

Aku mencoba memejamkan mataku, berusaha menepis rasa sedihku, terus berpikir bahwa aku sudah cukup beruntung namun pemikiran itu kembali muncul, "Gak.. Mereka gak sayang gue! Fasilitas yang mereka berikan memang sudah seharusnya jadi kewajiban mereka, bukan sesuatu yang special lagi!!" ucapku ketus dan mengernyitkan kening.

Dia menatapku dingin dengan alis yang di naikkan, "Manusia itu punya cara yang berbeda dalam merealisasikan sebuah perhatian. Kau mau apa? Ucapan? Manjaan. Mungkin orang tuamu type orang yang lebih suka mengungkapkan rasa sayangnya dengan tindakan nyata dari pada kata-kata. Kamu mau dimengerti bukan? Cobalah mengerti mereka. Tubuh mereka yang renta tetap memaksakan diri bekerja hanya demi satu tujuan, mensejahterakan anaknya. Kau beruntung, tak seperti aku. Aku bahkan sudah tak memiliki orang tua. Coba bayangkan bagaimana jika mereka sudah tiada?"

Kalimat terakhir tukang bakso itu membuat hatiku ciut, membayangkan mereka ditutupi kain dan digiring ke pemakaman membuat hatiku langsung runtuh, air mataku langsung jatuh berhamburan. Aku tak siap, sungguh aku tak siap Tuhan jika mereka diambil secepat itu.

"Kenapa kau menangis hn? Kau menyayangi mereka? Kalau begitu, janganlah hanya menuntut kebahagiaan dari mereka namun bahagiakanlah mereka selagi kau masih memiliki waktu."

Tubuhku bergetar hebat, aku sesegukan. Entah sihir apa yang ada dalam kalimat pemuda itu hingga membuatku terlihat sebodoh ini, ingusku menempel kesana kemari hingga membuatku sulit bernafas.

Sungguh, pembahas keluarga itu sangat sensitif buatku. Aku keras selama ini, namun jauh di lubuk hatiku, aku sangat menyayangi mereka.

Tukang bakso tadi menyodorkan semangkok bakso kepadaku, "Bakso nano-nano, mungkin kau belum pernah merasakannya."

"Gak ah.. Apaan isinya cabe," ucapku sambil membersihkan wajahku dengan jaket kulitku.

"Dibelah dulu sebelum dimakan.."

"Gue gak bawa uang kas.." ucapku dingin.

"Ini gratis.." ucapnya lembut, aku mulai mendongak menatapnya, dia yang mulai melengkungkan bibir tipisnya, terlihat ada tai lalat kecil di atas bibir merahnya. Sangat manis. Ah apa-apaan! Kenapa aku memikirkan yang aneh-aneh.. Sial..

Aku segera mengambil mangkok itu dan memakannya perlahan, satu persatu dan benar saja, masing masing rasa baksonya unik dan beragam. Manis, asem, asin yang ternyata ada isi keju, palem muda dan umm kayanya kurma. Aneh banget nih bakso. Ada juga isi sosis, telur dan cabe untung belum kugigit.

"Bakso itu mencerminkan kehidupan kita, yang beragam manis asem asin.. Masalah, solusi, kesedihan dan kebahagiaan cuma bagian dari drama kehidupan yang membuat hidup ini tak terasa flat. Jadi nikmati saja semua rasa yang ada.."

Aku tertegun, benar-benar tak percaya kalimat barusan diucapkan oleh seorang tukang bakso.

BERSAMBUNG

Gimana nih pendalaman karakter dan alur gue? Udah ada perkembangan blum dari karya lama? >w</



update tiap minggu. subscribe okay

Bakso Nano NanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang