Bagian 3

817 37 1
                                    

hai, gue update lebih cepat dari janji soalnya bosen hehe....



Bakso Nano-Nano 3

By: Yanz


-Nathan POV-

Aku melirik ke samping sebelum menstarter motorku, terlihat mata Dendy di balik helm itu berkedip hingga membuatku bergidik.

Dia menutup kaca helmnya, begitupun aku.

Kami membunyikan motor masing-masing, terlihat gadis sexy di depan kami mulai mengibaskan bendera tanda balapan dimulai.

Kami memutar gas masing-masing dengan bringas, kulihat dia jauh di depanku. Aku tak tinggal diam.

Kugas motorku lebih kencang, meliuk-liuk menghindari motor lain karena ini balapan liar di jalan umum.

Aku mencoba fokus sehingga bisa bersebelahan dengan Dendy. Suara motor yang nyaring memekakan telinga orang-orang sekitar, terlihat masyarakat berteriak geram di pinggir jalan. Aku acuh saja.

Rute balapan ini mudah saja cukup keliling bundaran jalan hingga dua kali dan barusan kami melewati putaran pertama secara bersamaan, aku berkeringat dingin. Dia lawan yang cukup tangguh.

Semangatku berkobar karena ketakutan akan harga diriku yang diinjak, aku berhasil mendahuluinya tapi dia kembali mendahuluiku.

Kami melajukan motor maksimal, hingga pada akhirnya aku lah yang berhasil menyentuh garis finis terlebih dahulu.

Teman-temanku bersorak riang akan kemenanganku. Aku membuka helm dan tersenyum sengak.

Dendy membuka helmnya, terlihat dia tersenyum lembut. Teman-temanku memeluk, mengacak rambutku bahkan mengungsungku karena saking senangnya dimerdekakan kembali.

"Lu emang gak ada tandingannya, Nathan woo.." teriak Anto penuh kebanggaan. Antara anggota genk-ku Anto dan Bagaslah sahabat terdekatku karena kami satu kelas dan memiliki nasib yang sama yaitu anak yang broken home.

Bagas juga menjotos dadaku pelan, "Kami bangga sama lo.." ucapnya dengan senyum kebanggaan.

Dendy masih tersenyum, kaki langsingnya melangkah mendekatiku hingga suasana jadi hening. Teman-teman yang lain memundurkan langkah, sedangkan aku berdiri gagah, tangan terlipat di dada, dagu naik dengan wajah songong.

"Ok... Aku akui mulut besar anak anak buahmu bisa direalisalikan. Aku mengaku kalah.." ucapnya dengan nada tenang.

Teman-teman langsung bersorak girang. Dendy pun ikutan tertawa.

"Kau keren sekali.." desis Dendy, dia mengusap rahangku. Aku berkeringat dingin, anak ini kenapa sih? Aku heran kenapa dia memberikan kode-kode ketertarikan padaku dengan gaya yang sangat nakal. Apa dia tidak waras hah?

Dia mengusap pipiku gemas, aku mengernyitkan kening. Dan aku shock berat saat dia berjinjit, mengalungkan tangan di leherku kemudian melumat bibirku penuh nafsu.

Tak sampai dua detik bibir kami bersatu aku langsung mendorongnya kasar, "Woi! Lu gak waras hah? Cuiihh!!" bentakku sambil meludah. Aku mengusap bibirku, tak ikhlas aku harus berciuman dengan laki-laki. Aku bergidik, perutku mual, kepalaku serasa berputar hingga akhirnya aku muntah hebat di pinggir semak-semak.

Teman-teman menatap Dendy dengan melecehkan, berbisik-bisik dan memandang jijik.

Dendy santai saja, dia berdiri berusaha mendekatiku tapi dihadang anak-anak, "Eh homo, jangan deketin Nathan deh, liat apa yang lo perbuat sama dia!" Dendy didorong kasar sama teman-temanku.

"Hei bukan urusan lu! Suka-suka gue dong kalau gue suka sama dia!"

"Hah? Lo suka Nathan, mending lo mundur deh.. Lo mau kami bantai hah.. Nathan itu cowok normal, eh bocah gue jamin hidup lo gak bakal tenang, lo bakal dibully kalau masih disini.."

Dendy masih memasang wajah santai walau tak ada yang memihaknya. Hingga akhirnya aku bangkit, cewek-cewek sexy disisiku memberikan sapu tangan dan air minum untuk aku konsumsi.

Aku menatap Dendy ngeri kemudian aku mengacuhkannya.

"POLISI POLISI!! KABUUURR!!" teriak seorang teman di kejauhan dan lewat begitu saja dengan motornya. Aku panik, tak mungkin kan aku masuk kantor polisi dua kali.

Dan yang benar saja, motorku kembali mogok.. Kenapa selalu dimoment begini!! Lu minta dibuang ya motor?!!

Aku menendang-nendang motorku kesal sedangkan tempat ini mulai sepi karena anak-anak berlarian, "Woi ngapain diam.. Ayo kabur.." teriak Dendy.

Aku acuhkan dia, aku tak mau menatapnya dan tetap mengengkol motorku, "Motormu mogok? Naik ke motorku cepat!" Teriaknya. Aku hanya diam, tapi dia menarik jaketku, "Keras kepala. Bego cepetan naik, liat polisinya sudah dekat!!" teriaknya.

Aku tak punya pilihan lain, sengeri apapun Dendy lebih mengerikan lagi polisi. Aku langsung naik ke motornya dan memeluk pinggangnya, dengan cepat Dendy melajukan motornya.

"Hahaha kamu punya hutang denganku Nathan.." ucap Dendy dengan nada memuakkan.

"Bakal gue bayar, gak usah khawatir.." ucapku dingin.

"Rumahmu dimana, Nathan?"

"Di xxx, jalan xxx."

"Wah komplek perumahan elit tuh.." ucapnya basa basi, aku hanya diam. Tak minat untuk dekat dengannya, kalau bukan karena darurat aku tak sudi melihatnya lagi apalagi mengobrol dengannya.

"Hei apa hobimu?" tanya Dendy dengan sesekali menengokku.

Aku hanya diam, males banget sih dekat sama homo kaya gini, aku risih. Sekarang saja aku kembali mual, Ya Tuhan.. Apa tujuanmu mengirimkan Dendy?

"Bisa lebih cepat gak?" ucapku dingin karena semakin jauh dari polisi kecepatannya melambat saja.

"Santai saja, Nathan. Aku masih mau mengobrol banyak denganmu.."

Aku kembali diam, ni anak keras kepala. Kenapa aku sih yang dia incar? Aku gak suka cowok, meskipun yang fisiknya bening seperti Dendy.

Dendy mengusap tanganku yang memeluk perutnya, aku langsung melepaskan pelukanku, "Hei... Kau mau jatuh hah?"

Dendy menggas motornya mendadak nyaris membuatku terjungkal ke belakang, aku kembali memeluk pinggangnya, dia terkekeh. Aku menjauhkan tanganku, hanya memegang pinggir jaketnya. Cowok sialan.

"Lu sengaja ya mainin gue? Turunin gue sekarang!" teriakku kesal.

"Yakin mau ditinggalin disini? Sepi nih.. Gimana kalau ada rampok, pembunuh atau pemerkosa? Haha.." dia malah mengejekku.

Aku hanya diam, kulihat sudah mulai dekat rumah, "Cepetan dikit!! Di depan tuh rumah gue.."

"Kamu orang kaya ya?" tanya Dendy. Aku kembali diam, gak penting. Anak yang memuakkan, banyak omong aarggh.. Stress, aku stress Tuhan!

"Stop!" ucapku.

Dendy menghentikan motor, dia membuka helmnya dan tersenyum manis, "Mau dong mampir.." ucapnya ngarep.

Aku meraih sesuatu di dalam jaketku dan memberikannya dua gepok uang, "Nih ambil, hutang gue lunas kan? Gak ada acara mampir."

Dendy menatapku dingin, "Apa maksudmu?"

Aku mendelik, "Lu kan udah nyelamatin gue nah sekarang gue bayar budi lu.. Gue anggap ini lunas.."

Dendy turun dari motornya, dia menatapku dingin, mempertipis jarak hingga aku terbentur dengan pagar, "Aku memang suka uang, tapi dengan ini belum berarti hutangmu lunas.. Nyawa dibayar nyawa." Dendy mengambil uangnya, mencium uangnya dengan senyuman sinis kemudian melajukan motornya menjauh. Sebenarnya siapa sih tu anak?

-----

Akhir-akhir ini pikiranku cuma terfokus pada si tukang bakso itu, dia sangat aneh tapi menarik, tapi aku tak tau namanya. Ada dorongan ingin segera menjumpainya hingga siang itu, sehabis pulang sekolah aku langsung menghentikan mobilku di pinggir jalan.

Senyumku mengembang menatap gerobak birunya yang ditempeli stiker warna-warni dengan tulisan 'BAKSO NANO-NANO' yang membuat dagangannya berbeda dari yang lain. Ditambah lagi penampilannya yang memikat para remaja untuk berdatangan, termasuk aku. Ah aku? Hah.. Aneh.. Bukan begitu maksudku.. Umm lupakan.

Aku mendekatinya, berdiri di sampingnya, "Eh bakso satu.." ucapku sambil menatapnya tanpa berkedip, tapi dia hanya menatap mangkok tanpa melirikku.

"Budayakan antri.. Duduk aja dulu.." ucapnya datar.

"Enak aja.. Gue maunya sekarang! Nih gue bayar seratus ribu.. Cepetan bikinin gue.."

Tangannya masih cekatan memasukkan bahan-bahan ke mangkok, "Simpan uangmu, baksoku hanya sepuluh ribu. Aku tak menerima sogok, kalau kamu datangnya telat maka dapatnya juga telat. Tapi jangan khawatir, aku tak lelet.."

Aku mendelik, menyebalkan sekali nih tukang bakso. Capek juga manggil dia tulang bakso terus, "Eh lo punya nama gak?" tanyaku.

"Apalah artinya sebuah nama.."

"Ah rese lo. Pelanggan itu adalah raja.. Jadi lu musti jawab pertanyaan gue!"

"Hmm aku Munif."

Aku mengangguk, nama yang terdengar indah. "Nama yang bagus buat jadi doa. artinya kedudukan yang tinggi atau orang yang menonjol. Wah lu kayanya sih punya potensi berkedudukan tinggi, sayangnya lu cuma tukang bakso.."

Munif mendelik, membuatku terdiam dengan mata shock.

"Amin.." desisnya yang kembali fokus. Aku mengusap dada, nyaris saja dia meledak karena kata-kataku yang kurang dijaga.

"Eh lu gak minat apa mengetahui nama gue?" tanyaku hati-hati.

"Siapa namamu?"

"Gue Jonathan tapi lo cukup panggil gue Nathan..." ucapku sambil nyengir dan menggaruk kepalaku yang tak gatal. Terdengar dia hanya bergumam pelan.

"Lu tinggal dimana Nif?" tanyaku lagi sambil berdiri di sampingnya.

"Kenapa sih banyak tanya? Kau mau melamarku hm?"

Aku terhenyak akan pertanyaan bodohnya, "Hahaha gila lu.. Apa salahnya coba gue mau kenal lu.."

"Aneh.." ucapnya datar.

Wah kayanya musti ekstra usaha buat kenal Munif lebih mendalam, kayanya dia tertutup gitu.

"Eh gue bantu deh nyajiinnya biar cepet kelar pesanannya.." ucapku sambil meraih mangkok.

"Gak usah.." desis Munif datar.

"Gapapa gue mau bantuin lu doang! Aah.."

"Aku bilang gak usah!!" Munif membentakku kali ini tapi aku tetap nekat. Saat aku berusaha meraih mie, Munif mencegah tanganku, tangan kami bergenggaman.

Deg...

Wajahku langsung memanas, sial! Ada apa denganku, cuma tersentuh tanpa sengaja kan? Sama tukang bakso pula, cowok pula! Apa specialnya! Kenapa aku melayang oh Tuhaaan..

Munif menatapku datar, "Bantu aku mengantar mangkok-mangkok ini ke pelanggan jika kau ingin membantuku.." ucapnya.

Aku langsung melebarkan senyuman, memamerkan barisan gigi putihku, "Siap komandan!!"

Aku membawa empat mangkok bakso menggunakan nampan ke arah rombongan cewek-cewek mahasiswa sepertinya. Mereka tersenyum girang melirikku, "Permisi ya mbak, ini pesanannya.." ucapku dengan senyuman seramah mungkin.

"Wah so cute! Boleh cubit pipinya ya.." para cewek-cewek itu berebutan mencubiti pipiku, aku berusaha melarikan diri dengan sopan hingga sampai di samping Munif aku bermuka masam. Munif sendiri mengulum senyuman seolah menahan tawa.

"Cewek-cewek itu memang mengerikan makanya gue gak mau punya cewek.." ucapku ketus sambil mengerucutkan bibir.

"Hah gak mau punya cewek? Kau homo ya?" tanya Munif sambil menaikkan satu alisnya.

"Gak lah! Apaan sih lu.." teriakku ketus. Aku tak pernah terpikirkan tentang gay sebelumnya. Apa-apaan.. Aku memang belum pernah jatuh cinta doang sama cewek.

"Gak pernah punya pacar?" tanya Munif melirikku sekilas.

"Gak.." jawabku lesu. "Gue gak tertarik, kayanya punya pacar dan jatuh cinta itu cara cepat ngerusak diri."

Munif membalikkan tubuh dan mentapku serius, "Suatu saat, cinta itu akan datang tanpa kau undang.." ucapnya serius.

Aku menggeleng keras, "Gak ah.. Ngapain jatuh cinta, gue punya banyak teman, kegiatan dan komunitas. Mending gue menghabiskan waktu bareng mereka dari pada sama pacar.."

"Lalu, buat apa kau mendatangiku dari pada teman-temanmu yang banyak itu?" tanya Munif sambil melirikku dari ujung kaki hingga kepala.

Aku menelan liur, kenapa? Iya aku juga heran apa yang membuatku datang kemari? Munif kah? Gila.. "Gu-gue.. Gue cuma kangen bakso lu doang.." jawabku asal.

"Kangen baksoku atau kangen aku?" tanya Munif dengan senyuman sinis.

Aku shock berat dengan pertanyaannya, apa-apaan! Mustahil! Tapi mukaku rasanya memanas, kenapa ini!, "Gila lu.. Gak mungkin lah gue kangenin lu.. Jangan geer deh lu.." ucapku mengelak.

"Hmm.. Nih anterin lagi pesanan."

Aku akhirnya kembali bolak-balik mengantarkan pesanan, rela digoda para pelanggan bahkan dianiaya *?*. Asli, tega nih Munif ngerjain aku di siang yang terik begini. Dan herannya lagi aku mau saja dia suruh-suruh. Atas dasar apa?

Aku Lihat munif yang duduk di trotoar melambai ke arahku, aku pun duduk di sisinya.

Dia menyerahkan mangkuk yang dia pangku, "Gratis buatmu.." ucapnya.

"Gratis mulu.. Bisa bangkrut lu.. Gak ah.. Nih simpen, pokoknya lu harus terima! Awas kalau gak!" ancamku sambil menyodorkan uang seratus ribu tadi.

Dia menatapku dingin, aku yang takut langsung menatap mangkok dan memakan baksonya perlahan. Sumpah demi apa aku tak pernah makan di pinggir jalan sebelumnya. Gara-gara Munif doang nih..

Tapi setelah dirasa-rasa makanan pinggir jalan tak begitu buruk, bakso buatan Munif sangat luar biasa dan juga lezat, apalagi dia yang duduk di sampingku atmosfernya langsung terasa beda.

Saat kuah bakso itu tercecer di daguku, Munif menyeka daguku. Shit.. Dadaku berdebar semakin kencang, kenapa? Kenapa denganku?

"Pelan-pelan makannya.." ucapnya lembut.

Aku tertunduk dalam sambil terus memakan baksoku.

"Bagaimana hubunganmu sama ortu?" tanya Munif mencairkan suasana.

"Oh iya haha itu salah satu tujuan gue buat datang dimari juga, gue mau bilang terimakasih banyak sob udah nasehati gue kemarin. Sekarang gue dan ortu gue damai.."

"Baguslah.. Aku seneng dengernya.."

"Eh ortu gue ngajak lu makan malam tuh, lu datang ya?"

Munif terlihat bimbang, matanya kesana-kemari, "Gak ah.. Aku gak pantas.."

"Siapa bilang? Awas ya kalau lu gak datang! Lu tuh udah jadi bagian hidup gue.."

"Bagian hidupmu?" tanya Munif.

Munif menaikkan keningnya, "Eng.. Itu maksud gue.. Lu kan udah jadi sohib gue.. Jadi lu musti datang.."

Munif tersenyum lembut dan mengangguk akhirnya.

BERSAMBUNG

koment ya..



cerita ini udah gue ketik sampe tamat dan gue janji bakal rajin update, jadi kalian gak rugi subscribe okay?

Bakso Nano NanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang