Bagian 21

392 22 5
                                    

Bakso Nano-Nano 21

by: Yanz


---------

"Nif.. Tangan Dendy gerak.." ucap Linda sambil membangunkan Munif yang tertidur, Linda dan Munif lah yang merawat Dendy siang malam. Kadang bergantian walau Munif sangat sulit disuruh pulang. Dia hanya pulang untuk mandi dan mengganti pakaian.

Munif langsung meraih tangan Dendy, "Dek... Bisa dengar kaka?"

Mata Dendy terbuka perlahan, berkedip pelan dan menatap sayu untuk beberapa lama dia terdiam seperti orang bingung kadang tatapannya kosong hingga akhirnya dia pun bersuara, "K-ka..." desis suaranya yang terbata dan sangat kecil.

"Iya dek? Adek butuh sesuatu?" Munif mengecup jari-jari adiknya itu.

"Ke-kertas.. To-tolong engh..." Dendy menggerang kecil karena susah berbicara.

"Linda tolong carikan kertas sama pulpen.." pinta Munif. "Iya dek pasti butuh alat tulis kan? Diapain sayang?" tanya Munif. Linda pun menyerahkan alat tulis yang ia dapatkan dari laci tadi.

"To-tolong.. Buat.. Aah.. Su-surat.. Untukh.. Uhuk.. Na-Nathan kak.."

Ruangan itu langsung hening.

-Nathan POV-

Aku terbaring di atas kasur dengan air mata berlinangan dalam diam. Aku memencet HPku, mengupdate setiap kegalauanku di jejaring sosial, meminta saran atas kebimbanganku dan banyaknya saran berbeda pendapat membuatku semakin bingung dalam mengambil langkah.

Aku menghela nafas berat, berusaha berpikir. Mana yang benar? Aku harus apa?

Saat aku menutup aplikasi facebookku terpampanglah wallpaper Iphoneku yang menggambarkan diriku, Dendy dan Heru yang sangat bahagia hari itu. Dendy... Aku kangen sebenarnya, tapi aku... Entah kata apa yang cocok untuk menggambarkan perasaanku..

Gengsi?

Tuhan, tenggelamkan gengsi ini dalam-dalam! Aku tak mau menyesal nanti. Aku pun lekas bangkit, berlari ke arah pintu tapi begitu memegang gagang aku kembali ragu. Aku memutar arah tubuh dan tersendar di balik pintu.

Berat!! Langkahku begitu berat..

Buukk.. Buuukkk..

Aku terkejut saat kamarku ada yang mengetuk bringas, "Woi sabar woi... Apaan sih, dikata pintu gue sansak tinju apa!"

Begitu aku membuka pintu, aku sangat shock karena ada yang membekap mulutku. Anto, Bagas, Putra dan Restu buat apa disini?!

Anto yang memegang tanganku ke belakang memberikan perintah, "Ikat kakinya cepat, terus bekap mulutnya!" aku bisa merasakan dia mengikat tanganku di belakang, Putra mengikat kakiku erat, Restu melakban mulutku sedangkan Bagas mengangkat badanku. Mereka berempat mengangkatku ala bridal style sedangkan aku menggeliat untuk memberontak.

"Tante maaf ya kami culik dulu Nathannya..." ucap Bagas meminta izin pada mama yang duduk di ruang tamu.

"Iya nak.. Salam ya buat Dendy semoga cepat sembuh..."

Tceh.. Rupanya mama juga bersekongkol dengan mereka yang menculikku, aku kembali menggerang, menggeliat-geliat kesal.

Buuk..

Aku terpekik karena kepalaku terpentok pintu mobil, mereka menjejal badanku dengan bringas ke dalam mobil, Restu membenarkan posisi dudukku dan tersenyum lembut. Aku langsung mendelik kesal. Bagas dan Anto duduk di depan sedangkan di belakang aku berdua dengan si kembar.

"Hei gue terpaksa balik dari Hongkong gara-gara lu.. Lu bikin Dendy sekarat bro?" desis Bagas dingin.

Aku langsung memalingkan muka, ck.. Tau apa mereka.

"Entah apa yang bisa nyadarin lu.. Kami terpaksa maksa elu gini karena lu udah gak bisa ngaktifin hati lu lagi.." desis Anto.

Restu diam menatapku takut sedangkan Putra yang tak mau menatapku mulai mendesis dingin, "Aku akan membunuhmu jika Dendyku kenapa-kenapa."

Dendy'ku' katanya? Yang benar saja.. Hell..

----------

"Kak Munif maaf lama.." ucap Anto sambil menyeret aku ke ruangan Dendy.

Terlihat tubuh mungilnya yang dipenuhi peralatan penyangga kehidupan, Munif menatapku sekilas, mengusap air mata yang ada disisi matanya.

"Thanks sudah bantu bawa Nathan.." ucap Munif tersenyum lembut.

Munif berjalan ke arahku, diraihnya bahuku dan mendorongku menuju bangku di dekat Dendy. "Bicaralah.. Kami akan meninggalkan kalian berdua."

Mereka semua melangkah keluar dan menutup pintunya.

Aku menatap Dendy dengan hati gusar, tatapanku kosong awalnya.

Aku mulai meraih tangan Dendy, dingin... Apa yang sudah aku lakukan?

Aku benar-benar merasa menjadi manusia paling jahat di dunia sekarang.. Flashback itu berputar di kepalaku, entah berapa kali aku menyakiti Dendy hingga membuatnya terkapar di rumah sakit.

Kugenggam dan kecup tangannya yang semakin kurus itu, sial.. Hatiku benar-benar luluh sekarang.. Semua rasa ego dan gengsi itu luntur melihat kondisinya sekarang. Yang ada hanya harapan untuk kesembuhannya.

Kulirik wajah Dendy, bibir putih pucat, mata terpejam dengan warna kehitaman di kantung mata dan kelopaknya, pipi yang mengurus.. Dia terlihat seperti mayat hidup saja. Dadaku rasanya nyeri.

Menatap tangan memar-memarnya tangisku langsung pecah, aku cowok 17 tahun yang tega menyiksa kekasihnya sendiri? Aku tak percaya setan apa yang ada di dalam diriku.

Kenapa aku begitu tega... Aku menyesal, sungguh. Ini terlalu kejam.. Kenapa kau lakukan ini Nathan! Rasanya aku mau berteriak, rasa sesal itu benar-benar menghentak perasaanku.

Aku mencoba membenarkan posisi kursi agar mendekati wajahnya, kukecup kening Dendy, "Hei.. Bisa dengar aku? Aku kembali.." ucapku dengan mendekatkan bibir ke kupingnya.

"Aku gak tau harus bilang apa... Kata penyesalan mungkin terlalu basi buatmu. Yang pasti, aku menunggumu. Cepatlah kembali, masuklah dalam ragamu. Jangan terlalu lama-lama berkeliaran di luar sana."

Aku mengelap hidungku yang basah karena ingus, aku mencoba menarik nafas dalam-dalam dan kembali mendekatkan bibir, "Kalau kau kembali, kita bakal ke taman... Kita ajak Heru sekalian, main lagi.. Aku bakal genggam tanganmu tanpa canggung, tak perduli apa kata dunia aku tak akan menyembunyikan perasaanku lagi. Kita bakal traveling, kelilingi Indonesia, melihat pesona alam.. Bintang-bintang, menyelam bermain dengan ikan.. Hei banyak hal yang harus kita lakukan bersama! Yang kita perlukan cuma kesembuhanmu. Dengar aku, aku membutuhkanmu.." kutarik perlahan kepala Dendy mengarah dadaku dan memeluknya.

Aku mencoba menahan isakan, tersenyum sambil memeluknya. Aku percaya dia bisa melihatku. Tuhan, aku sadar aku hanyalah manusia pendosa yang tak layak menuntut apapun darimu, namun berikanlah makhluk kecil ini kesempatan sekali lagi untuk bangkit.

-----

Jujur, aku lelah dengan atmosfer kesedihan seperti sekarang. Dengan dikelilingi para manusia yang hatinya sedih dengan wajah-wajah suram. Air mataku juga mulai mengering namun tak ada perkembangan sedikit pun dari fisik Dendy.

Aku masih duduk di sampingnya sedangkan Munif dan teman-teman yang lain duduk di sofa. Tadi mama papa sempat menjenguk sebentar namun pekerjaan juga yang memaksa mereka kembali.

Aku menggenggam tangan yang semakin dingin itu, membuat perasaanku semakin khawatir.

Dokter dan susternya masuk ke dalam, memeriksa kondisi Dendy. Wajahnya yang terlihat suram memanggil Munif dan berbisik. Wajah Munif terlihat khawatir, "Tak ada cara lain dok?"

"Maaf, hanya itu kemampuan kami. Keputusan ada di tangan anda."

Munif kembali menghempaskan tubuhnya ke sofa, matanya yang tadi sempat kering mulai berkaca-kaca kembali. Dia menunduk, mengusap wajahnya gusar.

Munif kembali mengangkat wajahnya sambil tersenyum lembut, "Sudah waktunya sholat dzuhur.. Adakah yang muslim? Ayo kita sholat berjamaah di mushola sambil mendoakan Dendy juga." ucap Munif ceria.

Mereka semua bangkit kecuali Bagas, "Aku jagain Dendy kalau gitu.." ucapnya.

"Than, gak ikut?" tanya Munif.

Aku tertunduk, entah berapa lama aku tidak melakukan ibadah. Rasanya hatiku bergetar, mungkin karena dosaku yang terlalu banyak.

Aku mengangguk dan mengikuti langkah mereka berempat, Munif, Anto dan si kembar.

Pikiranku belum bisa fokus, saat mengambil air wudhu mataku basah dan menjatuhkan butiran bening itu lagi walau tersamarkan dengan tetesan air.

Aku berusaha fokus pada Tuhan sekuat mungkin walau sangat susah karena Dendy masih mengusik pikiranku. Aku masih sholat dengan setengah hati. Setelah mengucap salam aku mendongak, memandang bangunan indah mushola kecil itu.

Rasanya terharu dan kesedihan bercampur aduk. Tanpa kesedihan ini mungkin hatiku tak tergerak ke tempat ini.

Aku manusia yang tak tau diri Tuhan, aku melakukan apa yang aku suka tanpa memikirkan sekitar.

Kami mengangkat tangan, berdoa yang kembali dipimpin Munif.

Aku mau semua kembali seperti dulu, hari-hari penuh keceriaan dan senyuman pemuda manis itu kembali mewarnai hidupku, suara cerianya yang berisik walau menganggu tapi sudah menjadi hal biasa buatku dan terasa aneh jika hilang.

Aku cengeng, benar-benar cengeng sekarang. Titik dimana kelemahanku tak bisa aku sembunyikan, sesakit ini kah mencintai seseorang.. Ternyata Dendy sangat berarti buatku, Tuhan.. Bisakah mengerti kegundahan hambamu ini yang menunggu sebuah ketidak pastian?

Sembuhkan Dendy.

Aku dan yang lain mengusap tangan ke muka sebagai tanda doa telah berakhir. Munif berbalik ke arah kami.

"Ada kabar yang kurang menyenangkan yang harus aku sampaikan.." desis Munif.

Tubuhku menegang, mataku membesar namun aku hanya terdiam, "Apa itu kak?" tanya Restu.

"Fungsi tubuh Dendy sudah mati, hanya keajaiban yang bisa menyembuhkannya. Dia bertahan hanya karena alat-alat rumah sakit.. Jadi.." Munif menahan ucapannya.

"Gak! Gue gak mau denger.. Jangan bilang lu mau lepasin peralatannya... Gila lu!" teriakku histeris. Anto menangkap tubuhku yang berusaha bangun.

"Dengarkan aku, Than.. Dendy akan lebih kesakitan jika kita paksa bertahan..."

"Gak Nif!!! Gue gak mau denger.. Lu ngerti kan gue butuh Dendy!!!"

Air mata Munif terjatuh, "Aku ngerti, sangat mengerti. Aku pun sedih Than, aku kakak kandungnya yang hidup belasan tahun dengannya, sempat kehilangan dia dan baru bertemu tapi kenyataannya begini."

"Nif.. Tolong.." suaraku tercekat. "Dendy pasti kuat.. Dia pasti bertahan."

"Kalau kamu sayang dia.. Ikhlasin dia.." Munif mencoba mengusap kepalaku.

Aku menepis kasar tangannya, "Gak!!!"

"Dengar, Dendy kesakitan jika harus ditahan dengan paksa.. Cobalah mengerti dia. Dia ingin tenang, buktikan cintamu dengan sebuah keikhlasan.."

Tubuhku bergetar hebat, tangisku pecah... Ikhlas? Tuhan, betapa beratnya merasakan sesuatu yang tak pasti ini. Aku menarik nafasku dalam-dalam.. Mencoba belajar ikhlas namun bayangan senyuman Dendy membuatku kembali histeris... Aku gak sanggup.

Sakit.. Susah, aku masih belum siap.. Tolong aku... Bagaimana bisa aku melewati kondisi seperti sekarang.

Munif memelukku erat, menepuk bahuku dengan sabar dan mengusap kepalaku, "Ikhlaskan.. Itu hadiah terbaik baginya.."

Aku meremas bahu Munif, kuatkan aku.. Aku mencoba ikhlas jika itu jalan yang terbaik buat Dendy.

Bukk.. Bukk.. Bukk..

Suara lari terdengar dari luar, terlihat seseorang lari melewati pintu namun berbalik sambil memelototi kami dengan wajah panik, "Akhirnya musholanya ketemu juga.. Dendy!!" ucap Bagas panik.

"Iya Dendy kenapa?" tanya Munif sambil berlari ke arah Bagas.

"Ayo kak, lihat sendiri." Bagas mengarahkan kami. Kami semua berjalan dengan langkah cepat.

Aku meremas tanganku yang dingin, dari sorot mata Bagas ini bukanlah kabar baik dan benar saja...

Aku melihat beberapa suster dan seorang dokter berdiri di samping ranjang yang telah menutupi penuh sebuah tubuh dengan kain putih.

Munif berlari dan membuka kain itu, "Inna lillahi wa inna ilahi rojiun.."

Lututku bergetar, rasanya detik itu juga oksigen lenyap di ruangan itu, pandanganku kabur karena digenangi air mata, aku jatuh berlutut.

"GAAAK!!!" teriakku histeris sambil menggigit bibir geram.

Anto dan Bagas memegang bahuku, aku memaksakan kakiku yang mendadak lumpuh untuk merangkak ke arah ranjang walau aku jatuh berkali-kali, dua temanku itu berusaha merangkulku untuk berjalan mendekati Dendy.

Kusentuh lengannya, benar-benar dingin, "Bangun.. Kumohon.." lirihku dengan suara samar.

"DOKTER!! GAK BECUS JADI DOKTER!! KENAPA NYEMBUHIN SATU ORANG SAJA GAK BISA!!" teriakku kesal ke arah dokter tadi.

"Maaf nak, saya bukan Tuhan.. Permisi.." ucap dokter itu sambil berlalu dengan para susternya.

Plakkk!!

Sebuah tamparan panas dari Munif menempel di pipiku, "Jangan bertindak bodoh.. Inilah hidup, ada kehidupan ada pula kematian. Kita harus sabar menghadapi kenyataan.."

Aku hanya terdiam, tangisku kembali pecah menatap wajah orang yang aku cintai telah kaku, terpejam dan tak akan pernah terbuka lagi. Bodoh.. Aku manusia paling bodoh di dunia ini...

Aku membuatnya menderita di akhir hidupnya, dan yang paling aku sesalkan adalah kata cinta yang gak pernah aku ungkapin sekali pun dengannya, "Aku mencintaimu Dendy.. Aku mencintaimu.. Dengar? Kalimat yang kau dambakan sudah aku ucapkan.. Tolong.. Bangun.." lirihku sambil memeluknya. Aku menggerang dan merasakan sesak luar biasa, ini cuma mimpi buruk kan? Aku pasti terbangun kan? Tuhan hanya memberikan aku peringatan pasti agar aku sadar dan kembali bersikap baik pada Dendy. Aku yakin itu.

Tolong aku Tuhan... Ini terlalu menyakitkan.

Bersambung

Bakso Nano NanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang