Bakso Nano-Nano 7
by yanz
-Munif POV-
"Bang?"
Aku menatap datar panci kuah dan mengaduk-aduk perlahan, pikiranku berkecamuk akan perasaanku akhir-akhir ini.
"Bang!"
Aku tak mau naluri masa lalu itu kembali datang, tapi kenapa? Nathan sampai terbawa mimpi segala, kupikir aku sudah sembuh.
Tapi Nathan.. Dia berbeda dari cowok lain, dia bisa memberikan atmosfer yang berbeda jika ada dia. Kadang aku merasa tercekek saking susahnya mengatur nafas jika di sampingnya, tapi aku selalu ingin dia ada. Aku merindukannya..
Sudah dua hari dia tidak mampir dan itu membuatku sangat kacau.
Apa aku melakukan kesalahan sewaktu menginap dengannya saat itu sehingga dia tak mau menemuiku? Atau dia malu kepergok ngompol saat tidur seranjang bersamaku? Ya saat bangun kemarin Nathan langsung tersentak, wajahnya memerah, dia gelabakan dan tak bersuara sedikit pun. Aku pun tak berkomentar.
Yang pasti, sudah tidak diragukan lagi, aku sangat merindukannya. Nathan, kau dimana?
"Bang!!! Kok ngelamun?" teriak seorang cewek yang ada di sampingku, aku shock rupanya aku tak sadar dari tadi ada pelanggan yang memanggilku.
"Maaf ya.. Hehe.." ucapku canggung, "Pesan berapa mbak? Dibungkus atau makan disini?"
"Sepuluh porsi dibungkus.."
Aku tersenyum lebar, baru buka lapak sudah dapat rezeki lumayan banyak. Dengan cepat aku meramu bahan-bahan ke dalam plastik di atas mangkuk.
Bakso buatanku selama ini dikenal sangat gurih dan beragam, kuahnya juga menjadi jagoan yang membuat orang-orang ketagihan dan kata para pelanggan yang membuat mereka betah disini adalah cara kerja tanganku yang begitu cepat sehingga para pelanggan tak perlu menunggu lama.
Aku tak mampu menahan senyuman saat melihat mobil hitam mengkilat itu berhenti di dekat gerobakku, tak salah lagi. Pasti Nathan.
Aku tetap memasang muka sok dingin dan tak menatapku saat dia turun dari mobilnya.
Dia berdiri di sampingku dan mengambil mangkuk, "Gue laper.. Kangen bakso lu.."
Dia mengambil mie dan baksonya dengan banyak, saat meliriknya ingin sekali aku melahap pipi itu, menggemaskan sekali melihat wajah cemberutnya sehingga memberi kesan sedikit tembem.
Tapi aku harus menahan diri, ini tempat umum lagi pula belum tentu dia sama sepertiku.
Aku menyerahkan sepuluh plastik bakso tadi ke pelanggan sedangkan Nathan mulai mengunyah baksonya setelah diberi kuah.
"Jorok banget sih lu keringatan Nif.. Gak biasanya lu keringatan.." ucap Nathan sambil menarik bahuku agar berhadapan dengannya. Dia mengelap keringatku dengan dasi sekolahnya, aku hanya tertegun menatap sosok itu, tampan dan manis, memiliki aroma yang menggoda. God.. Aku tak konsen buat berjualan hari ini.
Aku langsung memberesi peralatanku dan menyusun isi di gerobak, "Loh kenapa Nif?" tanya Nathan khawatir.
"Aku gak enak badan.. Mungkin perlu istirahat hari ini dari berjualan."
"Serius Nif? Lu sakit apa?" Nathan terlihat panik meletakkan tangannya di dahiku kemudian di leherku, aku langsung menggenggam tangannya yang menempel di leher dekat kupingku. Aku menatapnya dalam-dalam.. Shit.. Im falling in love with him!
Kenapa secepat ini! Aku tak yakin, bagaimana jika ini nafsu sesaat akan keelokan fisiknya? Aku harus mencari tau itu.
Tapi bagaimana caranya mengetahui jika benar-benar jatuh cinta? Mungkin aku harus segera browsing setelah pulang nanti.
"Munif, lu pucat banget.. Kayanya emang harus segera pulang. Gue antar ya? Masalah gerobak lu gue udah sms orang rumah buat anter nanti.." Nathan mengusap pipiku. Tapi aku menepisnya kasar.
"Gak usah.." ucapku dingin, berusaha menyembunyikan perasaan gugupku.
Tapi Nathan menyeretku paksa, aku tak punya pilihan lain. Dia memasangkan sabuk pengaman dan menatapku dalam sebelum akhirnya menyalakan mobilnya.
Kulihat ada sinar kebimbangan dari sorot matanya, apa dia merasakan hal yang sama denganku?
Dadaku semakin sesak, mungkin kalian sendiri pernah merasakan bagaimana dahsyatnya denyutan jantung ketika melihat seseorang yang kita cinta.
"Gue lagi galau, Munif.." desis Nathan dengan wajah suram.
"Kenapa? Berantem lagi dengan ortumu?"
Nathan menggeleng lemah, "Gak.. Ini masalah sekolah.. Ada anak baru yang suka sama gue.."
Jleb..
Rasanya aku ingin tuli saja, aku tak mau tau apa lanjutannya. Tapi sebagai teman yang baik aku menahan egoku sekuat mungkin, "Terus masalahnya apa?"
"Dia keras kepala Nif.. Gak ada matinya ngejar gue walau gue bully dan siksa habis-habisan.. Dan itu justru bikin gue ngerasa simpati.."
Aku menelan liur, walau rasanya seperti menelan duri, "Jangan disiksa juga kali.. Diamin aja sampai dia nyerah.. Ntar juga capek sendiri..."
"Tapi dia nyebelin, dia nekat! Kalau gak gue kerasin dia makin nekat.. Gue males, gue geli. Disisi lain, gue suka orang lain akhir-akhir ini.."
Deg..
"Si-siapa yang kamu suka?"
Nathan menoleh ke arahku sejenak, dia menelan air liur, "Ntah lah Nif.. Gue gak yakin.. Ini pertama kalinya gue rasain ini. Gue bingung.."
"Kenapa bingung? Ini cinta pertamamu?" tanyaku antusias.
Nathan menangguk lemas, entah mengapa pipiku memanas. Aku merasa sedikit terbuka kesempatan atau cuma kegeeran?
Ayolah Munif, katakan saja perasaanmu! Cinta diam-diam itu menyiksa.
Aku mengusap kepala Nathan lembut, "Jalani aja semuanya secara mengalir.. Ikuti hati kecilmu.."
"Bahkan gue gak tau mana ungkapan hati kecil gue.. Ini gak mungkin.."
Mata kami kembali bertemu tapi aku mendorong pipi Nathan agar fokus pada jalan.
Setelah sampai, Nathan membukakan pintu dengan cepat, dan berusaha merangkulku, "Gak usah Nathan, aku masih bisa jalan.."
"Gak.. Lu itu pucat banget, gue takut nanti lu oleng justru gue gak bisa angkat kalau sudah jatuh."
Nathan perhatian sekali.
Dia mengarahkanku ke kasur dengan ranjang kayu itu. Dia menyelimutiku, meletakkan tanganku di dada kemudian menepuk tanganku, "Tunggu disini ya.. Gue bikinin minuman hangat dulu.."
"Than, gak usah repot.." tapi sebelum kata-kataku selesai Nathan sudah menghilang dari hadapanku.
Aku terpaku menatap atap, kupegang dadaku, meletakkan jari di lubang dekat leherku untuk mengetahui detak jantungku. Cepat sekali detakannya, aku gelisah, aku menggigit selimut saking gemasnya. God.. Aku gak bisa menahan perasaan ini. Bagaimana?
"Aakhh..." aku terkejut mendengar Nathan yang berteriak dari arah dapur. Dengan cepat aku berlari, teriakan tadi terdengar sangat kesakitan.
Aku melihat Nathan mengepak-kepakan tangannya, "Kau kenapa Than?" tanyaku panik.
Nathan tersenyum pahit, "Gapapa.. Tadi gue mau bawa nih susu tapi begitu jalan kan airnya goyang jadi tumpah ke tangan gue. Gue kaget aja kepanasan."
Spontan aku meraih tangannya yang kepanasan itu dan menjilat tangannya, Nathan terdiam dengan wajah yang memerah seperti tomat, mulutnya terbuka dan menatapku takjub.
Aku tak tahan, bibir mungil itu bergetar seolah berkata, 'come to me.. Kiss me~"
Nathan menarik tangannya cepat, "Mu-Munif.. Lu.. Umm gue gak papa kok.." ucap Nathan tertunduk.
Aku masih menatapnya lekat tanpa berkedip, dia menengokku sesekali kemudian menunduk salting, "Munif, kenapa lu liatin gue kaya gitu?" tanyanya dengan nada canggung.
Aku menarik dagunya, mengusap rahangnya, meletakkan satu tanganku di pinggangnya. Wajahku sangat memanas sekarang, ingin kulahap segera bibir segar nan imut itu. Tapi aku langsung menggeleng. Gak.. Aku gak boleh lepas kontrol.
"Ehem.. Nathan, tanganmu gak melepuh kan?" tanyaku berusaha mengalihkan topik. Nathan hanya menggeleng lemah.
Setelah itu kami hanya terdiam dan melayang ke alam khayal kami masing-masing.
------
Hari ini, aku berjualan cukup pagi karena jadwal kuliahku siang sampai sore, pelangganku juga cukup tau jika hari kamis aku berjualan pagi sehingga mereka berdatangan cukup banyak pagi itu.
Dari arah depan terlihat mobil silver melambat, terbukalah kacanya, "Loh Nak Munif?" sapa seorang pria setengah baya.
Aku menatap berusaha mengutak-atik memoriku dan akhirnya aku ingat, papanya Nathan..
Om Franz langsung memundurkan mobilnya dan memarkir di tempar yang biasanya Nathan parkir, "Wah wah.. Pagi sekali nak.." ucap Om Franz sambil tersenyum lebar.
Aku langsung menyambar tangannya dan sungkem perlahan, "Ah iya Om, soalnya nanti siang ada jam kuliah hehe.. Mau ke kantor om?" tanyaku selembut mungkin.
"Iya nak, wah kebetulan sekali ketemu Nak Munif, biasanya kalau pagi tak ada disini.."
Aku langsung menyodorkan kursi dan membersihkannya sedikit, tanpa ragu Om Franz duduk di kursi dekil itu.
"Boleh dong Om nyobain baksonya.."
Aku tersenyum lebar, "Tentu boleh om! Wah.. Tapi apa om yakin mau makan di pinggir jalan begini?"
Om Franz tertawa, "Ah Nak Munif santai saja, memang ada ya aturan orang kantoran tak boleh makan di pinggir jalan?"
Aku tersenyum canggung dan segera membuatkan pesanan. Ternyata Om Franz juga orang kaya yang merakyat, tak seperti orang kaya kebanyakan yang merendahkan jajanan pinggir jalan, tapi aku pribadi juga membuktikan makanan pinggir jalan itu gak selalu jorok. Kebersihan tempat ini maupun pengolahannya selalu kujaga kebersihannya.
Aku menyerahkan mangkuk itu perlahan, terlihat Om Franz meniup baksonya sebelum memakannya, "Umm.. lezat sekali.. Luar biasa. Nak Munif mengolahnya sendiri atau menjualkan punya orang?" tanya Om Franz dengan mata berbinar.
"Bikin sendiri Om, gerobak ini dari almarhum ayah yang meninggal karena bencana alam itu. Nah waktu kecil suka perhatiin cara ayah mengolah jadinya mulai memperdalam setelah hidup tanpa orang tua."
"Salut Om sama Nak Munif, bagaimana kalau Om berinvestasi di bisnis Nak Munif ini dan kamu yang kelola nak? Om pernah punya rencana buka Cafe tapi gak juga buka, nah pake aja Cafe itu gak jauh dari sini. Nanti Om modalin juga buat bahan."
Aku terhenyak, gak mungkin kan? Aku cuma mimpi kan? "Om jangan, saya tak enak. Lagi pula kita baru kenal, jangan terlalu cepat percaya orang asing Om.."
Om Franz tersenyum lembut, "Nah kamu saja memperingatkan Om begini, kamu memang anak baik dan sangat hati-hati nak.. Om cuma sekedar mau balas budi. Semenjak ada Nak Munif, Nathan jadi sangat riang, selalu tersenyum dan lebih sopan kepada kami, dia juga lebih sering bermanja dengan kami, selalu Nak Munif yang dia ceritakan dengan antusias. Perubahan yang sangat memuaskan itu sudah selayaknya dibalas dengan semua ini. Jangan ragu, kesempatan tak datang dua kali.."
Aku tersenyum lebar, tak terasa pipiku basah karena menangis terharu, aku berlutut di kaki Om Franz saking berterimakasihnya.
Akhirnya, ada jalan menuju perubahan.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Bakso Nano Nano
RomanceNathan seorang remaja nakal dan susah diatur mulai menemukan jalan hidupnya setelah bertemu dengan tukang bakso yang muda dan tampan