R 1

563 22 6
                                    

Rendy mempercepat langkahnya begitu dia melihat remaja wanita yang menggunakan gaun merah terbuka sedang berbicara dengan ibunya.

"Stella, ikut gue." kata Rendy saat dirinya sudah berada tepat di belakang remaja dengan gaun merah terbuka itu.

Utami mengerutkan keningnya. "Kenapa, Ren? Mama baru saja bertemu Stella. Kami sedang membicarakan tentang sekolah kalian di sini."

"Penting, ma. Aku ada urusan sama Stella."

"Yaudah tante, aku sama Rendy dulu ya?" Stella dan Rendy pergi setelah Utami mengangguk memperbolehkan mereka pergi.

Rendy mengarahkan langkahnya ke arah taman rumahnya, karena hanya taman yang selalu sepi saat pertemuan keluarga seperti saat ini.

"Wow! Lo mainnya ke tempat sepi ya sekarang, Ren." Stella tidak bisa menahan senyumnya.

"Lo ngomong apa aja sama Agatha?"

"Apa?"

"Gue yakin telinga lo masih berfungsi dengan baik, Stell."

Stella memutar badannya, melihat dekorasi taman rumah Rendy yang selalu membuat orang-orang nyaman berada di sana. "Ngomong apa yang perlu cewek itu tau." jawab Stella tidak peduli.

"Apa yang perlu Agatha tau?"

Stella mengendikkan bahunya. Semakin lama Stella menjawab, maka semakin lama waktu berduannya dengan Rendy.

"Stella Rosyadi." geram Rendy.

"Lo jadi seperti Papa gue tau, Ren. Kalian semakin cocok."

"Jawab gue."

"Stell."

"Jawab atau gue akan membuat lo jauh dari gue, Stell."

Stella menghela napasnya berat. "Yang perlu cewek itu tau ya tentang batasan dia."

"Batas apa?" potong Rendy sebelum Stella selesai dengan kata-katanya.

"Batas dia sama lo." jawab Stella kesal. "Kalian sudah terlalu jauh untuk dikatakan teman, Ren. Gue sebagai istri lo di masa depan nggak terima itu!"

"Lo ngomong apa? Jangan bilang lo serius dengan perjodohan itu?"

"Karena perjodohan itu akan tetap dilaksanakan, Ren."

"Bullshit! Kita masih SMA, nggak mungkin lo mau nikah waktu lulus nanti."

"With you? Sekarang pun aku siap."

Rendy menjambak Rambutnya. Percuma saja bicara dengan orang sepeti Stella.

Stella membalikkan badannya menghadap Rendy. "Ren, sadar. Dia yang buat jarak di antara kita. Aku nggak mau kita jadi seperti ini. Untuk perjodohan itu, seharusnya kita sudah saling mengenal dari sekarang."

"Kita sudah saling mengenal dari kecil, Stell." potong Rendy.

"Pengenalan yang berbeda. Bukan sebagai sahabat, tapi lebih. Kamu akan tahu bagaimana jika dua keluarga, Rosyadi dan Rahardian bersatu. Kita harus mewujudkan itu, Ren." kata Stella penuh ambisi.

"I don't care!"

"But, i care!"

"Stell, itu semua keinginan orang tua kita. Keinginan papa lo dan mama gue. Bukan keinginan kita. Kita masih terlalu kecil, Stell."

"Sebegitu nggak pentingnya perjodohan ini buat lo, Ren?" Stella terlihat kecewa.

"Bukan nggak penting, tapi perjodohan ini omong kosong. Nggak ada perjodohan. Orang tua kita hanya membuang waktu mereka, Stell. Bisa lo mengerti ini?"

"Dan setelah gue mengerti ini, lo dan Agatha akan apa?"

"Ini bukan tentang Agatha."

"This conversation is started with her name."

"So?"

"Ren, lo adalah laki-laki paling ngeselin."

"Gue bicara fakta, Stell. Gue nggak mau lo sakit hati hanya karena kebodohan orang tua kita."

"Ren."

"Lo terlalu berharap."

Rendy sudah akan meninggalkan Stella sendirian sampai wanita itu berkata.

"Agatha bikin kita jadi selalu marahan, Ren. Tapi lo nggak sadar."

"Agatha yang menyadarkan gue, Stell. Dia menyadarkan gue dari semua permainan orang tua kita."

"Pembohong. Gue tau hati lo masih di gue. Sahabat kecil lo."

Rendy tersenyum kepada Stella. "Dan tetap jaga persahabatan kita tanpa ada perasaan di dalamnya."

Stella tersenyum sinis. "Omong kosong anak SMP. Gue mabuk lem waktu bilang itu."

"Ren, gue yang selalu ada buat lo, masih ingat waktu kita selalu berdua cari tempat sepi hanya untuk makan cokelat dulu? Masih ingat waktu lo kasih semua yang lo suka ke gue waktu itu?"

"Indah, Ren. Sampai seseorang menarik lo menjauh dari gue."

"It's hurt."

"Lo nggak akan tahu rasanya, Ren, karena lo yang menjadi tokoh utama disini. Tokoh utama yang sedang diperebutkan."

"Lo seharusnya tau ini semua."

"Tau kalau ini sakit."

Stella meninggalkan Rendy yang hanya diam.

"Rendy." sebuah suara dari belakangnya membuat Rendy terkejut.

"Papa."

"Ya, papa mendengar semuanya. Kamu tahu kalau perjodohan kamu dan Stella bukan omong kosong, dan kamu tau kalau apa yang mamu lakukan kepada Stella menyakiti hatinya."

"Ya, Rendy tau, Pa."

"Bagus. Kalian masih terlalu muda, tapi ini waktu yang tepat."

"Untuk?" tanya Rendy bingung.

"Untuk memutuskan yang terbaik bagi kalian."

Rendy tersenyum. "Terimakasih, Pa."

Seandainya Stella tau kalau bukan dia yang pertama hadir di hidup Rendy, seandainya Stella tau kalau mereka memang hanya akan menjadi sahabat. Bahkan Rendy tidak ingat kapan tepatnya mereka bersahabat.



AgathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang