Rere POV
Saat gua tiba di rumah, Ibu, Kak Januar, dan Kayla sudah menyambut. Pasti Hilman nelepon ke rumah. Dia pasti khawatir tetapi gua masih kesal. Berani banget dia bilang gua ambis dan egois, dulu dia mana bisa bilang gitu. Giliran gua udah hamil anaknya dia bisa ngomong jahat. Rasanya gua ingin bilang ke seluruh dunia yang suka gembar -gembor nikah muda enak blah blah, mana ada enak doang ini yang gua rasain banyak nyeseknya. Jangan mikir pernikahan adalah akhir, justru itu awal. Awal gua tahu rentetan sikap buruk pasangan yang ga muncul pas pacaran karena pencitraan. Padahal gua sama Hilman pacaran lama banget, cicilan KPR aja bisa lunas. Tetep aja pas awal nikah berantem sampai gua kabur ke rumah Ibu.
"Malam gini pergi sendiri." Komentar Kak Januar.
"Udah jangan komentar kamu, ajakin Kayla ke kamarnya. Rere biar sama Ibu." Timpal Ibu.
Ibu melindungi gua. Udah ketebak sih kakak gua punya sudut pandang yang sama kaya Hilman. Dia pasti mau kometar gua kekanakan sampai kabur ke rumah. Walaupun sebenarnya dia juga khawatir, apalagi gua lagi hamil muda. Selain Hilman, Kak Januar adalah orang yang paling protektif soal kehamilan gua. Paham sih, dulu pas Kak Jen hamil Kayla kan baru dekat sama dia pas masuk trimester kedua.
"Tidur sama Ibu aja ya." Kata Ibu.
"Iya Bu, Rere kangen." Timpal Gua.
"Sama Ibu juga kangen sama si bungsu yang sebentar lagi mau jadi Ibu juga." Kata Ibu.
"Bu, nikah itu ga mudah ya." Ujar Gua.
Ibu tersenyum sebelum menimpali ucapan gua. "Ga ada yang mudah Re, kecuali dijalani dengan ikhlas dan karena Allah pasti mudah."
"Bu, Rere pengen kerja salah ga?" Tanya gua.
"Ga salah kok. Dulu pas awal nikah Ibu juga kerja, sedihnya Bapak kamu jauh. Ibu tuh pas ngidam sendirian Re. Makanya Ibu pilih ikut Bapak sampai ke pelosok juga." Jawab Ibu.
"Ibu ga menyesal resign?" Tanya gua.
"Nggalah, orang kerja itu capek. Kalau bisa aktulasisasi diri dengan hal lain kenapa ngga Re. Kecuali kerjaan kamu kaya Nina yang emang khusus aktualisasinya." Jawab Ibu.
"Bu aku keterlaluan dong marah sampai kabur." Kata gua menyesal.
"Ibu juga pernah berantem kaya gini. Awal nikah cekcok itu wajar. Namanya juga dua kepala, beda ide harus satu keputusan. Nanti akan ketemu ritmenya karena kalian udah saling memahami. Baiknya sih udah menyepi gini kamu segera baikan." Timpal Ibu.
"Hilman nelepon ibu ya?" Tanya gua malu - malu.
"Iya dia panik, nelepon Ibu juga sambil nyetir kayaknya. Dia ikutin kamu loh Re" Jawab Ibu.
"Tau ah, aku masih kesel sama omongan dia." Timpal gua.
"Makanya jangan bahas dulu, sekarang makan dulu kasian nanti bayi kamu lapar, terus ganti baju, tidur deh." Kata Ibu.
"Bu, padahal sebentar lagi aku bakal jadi ibu, kok aku rasanya masih kanak - kanak banget ya pas ibu bilang gitu." Timpal gua.
"Di mata orang tua, anak itu selalu jadi anak Re. Mau udah tua beruban kalau ibu masih ada kamu tetep ibu perlakukan gitu." Kata Ibu.
"Bisa ga ya aku kaya Ibu?" Tanya Rere.
"Kamu pasti bisa lebih baik dari Ibu. Masih banyak kekurangan Ibu dalam mendidik kamu dan kakak - kakak kamu Re." Jawab Ibu.
Gua memilih diam tak menggapi. Ibu selalu bersedih kalau ingat bagaimana jalan hidup dua anak laki - lakinya. Satu pernah menikah karena berbuntut duluan, kemudian gagal. Satunya memang gagal melaksanakan pernikahan. Mungkin hanya gua anak yang selama ini si penurut dan berprestasi. Bukan gua merendahkan kedua kakak gua, mereka ahli dalam bidangnya masing - masing. Hanya saja piala di rumah sumbangan gua paling banyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanya Takdir ✔
BeletriePerjalanan Renata yang harus rela menikah muda. Bukan karena Hilman nya tapi gua nya emang belum siap -Rere cover picture 📷 @1004y_