14. Lupakan, Bodoh!

34 2 2
                                    

Selagi baca, aku ada rekomendasi lagu yang cocok nemenin kalian baca chapter kali ini

🎵Camila Cabello – All These Years🎵

🎵Camila Cabello – Consequences🎵

🎵The Vamps – Million Words🎵

🎵Tori Kelly – All In My Head🎵

🎵Tori Kelly – Paper Hearts🎵

🎵BTS – The Truth Untold🎵

🎵Rizky Febian ft. Mikha Tambayong – Berpisah Itu Mudah🎵

🎵Nirina Zubir – Hari Ini Esok Dan Seterusnya🎵

~Happy Reading~

Hari ini aku bertemu dengannya. Tak sampai sepuluh menit aku melihat punggung jangkungnya. Dibalut dengan kemeja biru dan celana jeans berwarna senada. Ia berjalan menuju meja nomor lima yang berada di ujung kafe. Dengan bersandar ia mengeluarkan ponsel lalu melirik jendela, mungkin lebih tepatnya jalanan yang sore itu terlihat padat.

Ia mengangkat sebelah tangan, memanggil pegawai kafe untuk memesan minuman. Ku tebak ia memesan mochalatte dengan sepotong waffle sebagai camilannya. Seingatku dia selalu memesan itu. Aku tersenyum geli. Sudah bertahun-tahun yang lalu tetapi mengapa aku tak bisa melupakannya? Jahat. Jika dipikir sekali lagi, itu bukanlah kesalahannya. Akulah yang terlalu berlebihan yang beranggapan jika dia memikirkanku juga. Hobi banget bohongin diri sendiri.

Di kafe ini, kurang lebih lima tahun yang lalu saat aku masih kelas 2 SMA, ia kerap kali mengajakku ke sini. Entah saat pulang sekolah, malam minggu, liburan pun kami sering ke sini untuk bertemu. Kami biasa duduk di sana. Meja nomor lima yang berdampingan dengan kaca jendela. Tak berangsur lama aku mencoba mengingat lagi. Dahulu ia selalu menatapku dengan iris coklatnya, tersenyum manis lalu saat ku tanya mengapa ia menatapku seperti itu ia hanya menggelengkan kepala lalu mengalihkan pandangan ke jendela. Namun, sesaat setelah itu ia berbisik padaku, "kamu cantik, aku nggak tahan kalau nggak lihat kamu."

Aku tersenyum kembali, mencoba untuk memendam rasa yang kian membuncah ketika kenangan itu mendesak keluar dari kotak yang sudah ku timbun di dalam lubuk hati yang terdalam. Aku kembali berkutat dengan laptop lalu mengetik lembaran demi lembaran tugas akhirku. Sesekali aku melirik ke sana. Rupanya mochalatte yang ia pesan sudah datang. Ku lihat ia meminumnya sedikit lalu menikmati rasa kopi yang menyapa lidahnya. Ia mengatupkan bibir hingga lesung di kedua pipinya tercipta. Aku sangat suka melihat ia menampakkan lesung pipi yang menawan itu. Dari jarak sekian meter dari tempatku duduk, ku lihat ia tidak banyak berubah. Kedua mata teduhnya tetap indah dipandang, anak rambutnya sedikit menutupi daun telinga, dan tak lupa kebiasannya mengetukkan jari dan menggerakkan kaki saat sedang menunggu. Ya, dia sedang menunggu. Seorang wanitakah yang ia tunggu? Aku mencoba untuk tidak memikirkannya, namun sulit. Ia begitu mengganggu pikiranku. Ku alihkan untuk mengetik kembali.

Sempat terpikir ekspetasi untuk menyapanya, mengobrol perihal kabarnya hanya sekadar basa-basi, lalu berbagi cerita tentang keseharian akhir-akhir ini. Biar ku perjelas, itu hanya ekspetasi. Realitanya aku hanya duduk diam sesekali meliriknya lantas berdoa agar ia tak mengetahuiku. Biarkan aku saja yang mencuri pandang. Aku tak ingin ia tahu lalu mengubah suasana ini menjadi canggung. Aku tidak mau.

Aku dulu sering memergokinya sedang melihatku ketika aku makan di kantin bersama teman-temanku semasa SMA. Ia sering kali gagal fokus saat aku melewati podium yang berhadapan langsung dengan lapangan basket. Aku juga sering menemukannya di depan kelas saat kami baru jadian. Ya, itu dulu. Sekarang aku merasakan apa yang ia lakukan dulu. Selalu ingin memandangnya meski harus sembunyi. Ia sudah berjuang untuk mendapatkanku, kini perjuangannya telah menjadi kenangan.

My DIARYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang