15. Cause I Envy

39 2 1
                                    


Selagi baca, aku ada rekomendasi lagu yang sangat pas buat nemenin kalian baca chapter kali ini

🎵 Fourtwnty – Titik Jenuh 🎵

~Happy Reading~


Aku suka menulis. Entah sejak kapan pastinya. Aku hanya suka saja mengeluarkan pendapat dalam bentuk tulisan. Entah itu akan dibaca atau tidak. Rasanya lega saja saat aku sudah mengeluarkan semua uneg-uneg melalui tulisan.

Sekarang aku ingin bercerita tentang kisahku satu bulan terakhir ini. Pertama-tama aku akan bercerita awal mulanya.

Dulu aku punya sahabat dekat. Kami kemana-mana selalu bersama. Lalu suatu ketika ia pindah rumah dan kami berpisah. Cukup lama aku tidak melihatnya, komunikasi pun tidak kami lakukan karena kami sudah memiliki kesibukan sendiri-sendiri.

Suatu ketika saat aku mendaftar di suatu bimbingan belajar. Aku bertemu dengannya. Anggap saja namanya Tasya. Aku bertemu Tasya. Kami bertegur sapa dan sedikit mengobrol. Ternyata ia pindah rumah tidak jauh dari tempatku tinggal. Hanya beda kecamatan saja. Untuk ukuran anak SMA sih masih cukup dekat jika ingin berkunjung.

Tasya. Ia tumbuh menjadi gadis yang cantik. Kulitnya kuning langsat, gigi gingsulnya yang menonjol menambah kesan manis di wajahnya yang bulat dan kecil. Ia lebih tinggi dariku. 5 cm lebih tinggi kurasa. Ya, dari ciri-ciri yang aku sebutkan, dia adalah gadis yang cantik.

Kami mempunyai beberapa kesamaan. Dahulu kami mempunyai tinggi yang sama, lalu kami sama-sama menyukai es krim rasa strawberry, kami juga suka warna kuning, dan beberapa kesamaan yang lain. Aku suka selera kami yang sama, selain lebih asyik kalau mencari bersama, kami pun bisa berbagi. Kini, hanya ada satu kesamaan yang tidak aku sukai dan dalam hati kecilku, aku tidak ingin berbagi. Menolak berbagi lebih tapatnya.

“Vera, aku mau cerita deh sama kamu.”

“Cerita apa?” tanyaku.

“Aku tuh sebel sama cowok ini,” katanya sambil menyerahkan ponsel yang menampilkan foto cowok yang memakai seragam SMA yang tak asing di mataku.

Aku kenal cowok itu. Bahkan seminggu yang lalu kami sempat dekat. Ya, seminggu yang lalu dan jangan lupakan ‘sempat’.

Bagaimana aku tidak kenal, cowok itu adalah teman sekaligus cowok yang aku sukai sekarang. Meskipun cowok itu beda sekolah denganku, tapi kami masih berteman. Rumah kami dekat, orang tua kami pun saling mengenal. Aku hanya.. aku hanya tidak suka mendengar curhatan Tasya yang ‘katanya’ sebal dengan cowok itu. Karena aku merasa dia menunjukkan padaku kalau ia sedang dekat dengan cowok itu dan seperti dia juga suka dengan cowok itu. Entah aku sekarang sedang berprasangka buruk atau bukan yang jelas aku merasakan atmosfirnya.

“Emang kenapa?”

“Masa iya aku chatting-an sama dia, dianya lebih mentingin main game. Terus ya, kalau jawab tuh lamaa banget singkat-singkat lagi, kan sebel.”

Aku tersenyum. Masih untung dia punya waktu untuk merespon, sedangkan pesanku, dibaca saja tidak. Begini ya rasanya, cemburu tapi bukan siapa-siapa. Mau marah tapi dia nggak salah.

“Masih mendinglah chat kamu dibalas.”

“Iya sih, tapi aku masih sebel. Dia lebih memilih game dari pada aku,” ucapnya sambil menautukan kedua alisnya.

“Ya udah, nanti kalau dia chat lagi, bilang aja yang jujur kalau kamu nggak suka didiemin.”

“Nggak. Aku biarin aja, kemarin aku blokir nomernya terus tadi pagi baru aku buka dan sampai sekarang belum aku baca chatnya. Biar dia tahu rasanya didiemin kayak gimana.”

My DIARYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang