(Un)Sentrifugal || 3

857 59 4
                                    

Selamat Membaca

Reno

Gue keluar dari hiu hitam kesayangan gue setelah berhenti di depan lobby RHD’Group, memberikan kuncinya ke valet parking yang sedang bertugas, gue melangkah memasuki gedung sembari melihat Rolex Daydate yang melingkar di tangan kiri, masih ada waktu beberapa menit sebelum gue naik ke atas, jadi nggak masalah kalau gue belok dulu ke coffee shop yang ada dilantai dasar ini. At least, satu cup kopi bisa mengkonstruksi otak gue agar bisa berkonsentrasi penuh di hari Senin ini. Gue lihat para karyawan RHD’Group mulai berdatangan dan begitu melihat gue, mereka langsung memasang senyum terbaik dan menganggukan kepala. Yang tentunya gue balas dengan senyum tipis. Terlihat arrogant memang, tapi bagaimana lagi, gue malas berbasa-basi.

Setelah menghabiskan waktu lima belas menit di coffee shop, gue langsung melangkah menuju lift khusus direksi. Di RHD’Group ini gue menjadi salah satu bagian dari petinggi direksi, tepatnya jadi wakil pimpinan kerajaan bisnis keluarga Rihardhi. Lebih tepatnya lagi menjabat sebagai wakil Om gue, Narinto Rihardhi.

Jangan kalian pikir, gue semudah itu berada di posisi saat ini. Gue sama seperti staff lainnya, yang berjuang dari nol. Merintis karir dari staff biasa hingga perlahan naik jabatan. Sampai akhirnya gue di titik ini. Jabatan dan uang seolah dua kata yang melekat dalam diri seperti magnet, yang membuat perempuan di luar sana rela memberikan tubuhnya buat gue. Kasarnya, gue tinggal nunjuk perempuan mana yang gue mau, maka perempuan itu akan jadi milik gue.

Dulu zaman sekolah hingga kuliah, gue biasain nabung uang yang gue punya, jadi setelah uangnya terkumpul, uangnya gue putar jadiin modal. Waktu itu gue buka usaha kecil-kecil bersama sahabat-sahabat gue, berupa bisnis clothing-an. Hasilnya lumayan, gue nggak nyusahin bokap-nyokap kalau buat sekedar nongkrong. Lalu sejak gue bergabung dengan RHD’Goup, gue aktif ikut investasi, mulai dari investasi jam tangan, reksadana, hinggga properti. Alhasil, diusia tiga puluh dua tahun ini, uang bukan lagi masalah buat gue. Bisa dikatakan kondisi finansial gue berada dalam kategori aman. Ya, kalau hanya sekedar bolak-balik Singapura buat numpang tidur di Singapore Hyatt Hotels saja, gue mampu. Bukan maksud gue mau sombong, gue hanya mau pamer. Tapi balik lagi, goals gue bukan itu. Goals gue adalah kalau suatu hari nanti gue married, gue nggak ngajak anak orang buat hidup susah.

Kasihan, Man!

Orangtuanya udah ngerawat dia dari kecil, berusaha buat hidupnya enak. Dan lo ngajak dia hidup susah?

Fuck.

Balik lagi, goals gue tetap seperti itu walaupun saat ini gue nggak tahu kapan gue nikah. Sebetulnya, gue nggak berniat buat nikah. Ralat, belum niat. Udah gue bilang diawal, gue nggak percaya lagi dengan komitmen. Bisa dibilang gue trauma. Kata trauma mungkin terdengar sedikit lebay bagi laki-laki dewasa kayak gue. However, that’s the reality. Ya walaupun, akhir-akhir ini Mama terus-terusan neror gue dengan pertanyaan seputar kapan nikah. Misalnya sabtu kemarin, Mama nggak henti-hentinya nyinggung kapan gue nikah, mulai dari gue bangun tidur hingga saat belanja di supermarket pun Mama masih punya celah nyuruh gue nikah.

Suara ketukan pintu menyelamatkan pikiran gue yang mulai melantur kemana-mana. Gue beranjak dari tempat gue berdiri. Sudah jadi kebiasaan gue tiap pagi, berdiri beberapa menit di depan kaca besar di belakang meja kerja, memperhatikan kota Jakarta yang gue rasa semakin hari semakin padat. Saat gue sudah duduk di kursi, gue lihat Dea–sekretaris gue masuk sambil membawa map di tangan. Perempuan itu mengenakan rok pensil selutut warna abu dengan blouse warna pink lembut. Wajahnya dirias tidak terlalu berlebihan. Secara keseluruhan Dea menarik dan cantik. Tapi gue nggak berani flirting ke dia, karena udah ada sesuatu yang melingkar di jari manisnya. Gue emang berengsek, tapi nggak cukup berengsek buat gangguin hubungan orang lain.

(Un)SentrifugalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang