8 | Someone like you

139 31 2
                                    


Kita adalah sepasang rindu dan kehilangan yang ditakdirkan untuk tidak pernah saling menemukan. Kita adalah sepasang rindu dan kehilangan yang seakan tak tahu arah kembali pulang. ~Dilora

"Abang kamu itu keterlaluan ya! gimana bisa kamu ninggalin adik kamu sendirian disekolah ?" Nadia meletakkan sendok dan garpunya kembali ke piring, memulai obrolan di ruang makan yang tampak hening sedari tadi .

Padahal ibu dua anak itu, serta suami dan anaknya Dilan sudah menempati meja makan tersebut sejak beberapa waktu yang lalu, tapi mereka tampak enggan untuk mengucapkan sepatah dua patah katapun. Deny yang tampak sibuk dengan pikirannya sendiri dan Dilan yang tampak sedang membalas chat dari seseorang.

"Males Bun, lagian tadi Abang pulang duluan."

"Males kamu bilang? Sheina itu adik kamu Dilan," Nadia menggeram marah. Sedangkan Dilan, dia sadar jika bundanya sudah memanggil namanya seperti itu berarti bundanya sedang marah, tapi dia tidak peduli baginya Sheina bukanlah siapa-siapa.

"Dia bukan adik aku, adik aku DI LO RA," jawab Dilan sambil menekankan setiap suku kata nama adiknya.

"Adik kamu Dilora udah nggak ada Nak, sekarang Sheina yang adik kamu, mau berapa kali lagi Bunda bilang kamu harus lebih peduli lagi sama dia, jagain dia!"

Deny menghentakkan gelas nya diatas meja. Rahangnya mengeras, dia tidak suka bila ada orang yang membahas bahwa putri nya sudah tidak ada, termasuk anggota keluarganya sekalipun. Tapi dia tak ingin memperpanjang masalah ini. Keharmonisan keluarganya bisa terancam jika dia tidak menahan emosinya saat ini. Dengan cepat dia meninggalkan meja makan dengan ekspresi marah yang ia tahan disusul oleh Dilan yang turut beranjak dari kursi nya meninggalkan Nadia yang hanya bisa mendesah berat melihat kepergian kedua orang terpenting dalam hidupnya itu.

******

"Mama beliin Rara baju itu donk, Rara suka desain nya! yah yah yah."

"Jangan ya sayang, baju itu nggak ada lengannya, jelek kalau anak mama yang cantik ini pakai baju yang kayak gitu," ujar Mira sambil menggadeng tangan Dilora menjauh dari toko baju yang menjual baju yang diinginkan anak gadisnya itu.

"Aduh mama ku sayang kecantikan anak mu ini begitu paripurna tidak akan memudar begitu saja hanya dengan memakai baju sejelek apapun itu bentukannya, mama pokok nya beliin ya, ya ma, mama mau baju yang tadi, pokok nya mau yang tadi!" rengek Dilora yang mengundang perhatian beberapa pengunjung mal .

"Ih malu-maluin ih kamu, pokoknya enggak, sekali mama bilang enggak, tetep enggak, lagian itu baju seksi buat ukuran badan kamu, tuh gak cocok sama kulit kamu, lengan kamu kan belang, nanti kamu nya yang malu sayang kalau diliatin orang apalagi sama cowok, bisa ilfeel mereka sama kamu."

"Ih mama ngomongnya jangan keras-keras! aku malu, entar orang-orang pada tahu," ucap Dilora dengan memelankan suaranya dan kini dia sendiri yang menggandeng ibunya semakin menjauh dari toko yang menjual baju yang ia sukai tadi.

Dilora tersenyum miris mengingat kenangan terakhirnya bersama almarhumah mamanya di mal yang sedang ia pijaki saat ini. di hari saat mamanya mengajak nya untuk berbelanja bersama di mal ini, di hari yang sama pula Dilora mengetahui penyakit mematikan yang selama ini diam-diam diderita oleh mamanya. Pasalnya setelah selesai berbelanja yang menghabiskan waktu berjam-jam, Mira tiba-tiba pingsan saat mereka hendak memesan taksi.

Dilora panik seketika saat itu apalagi saat melihat darah yang keluar dari hidung mamanya. Hari itu,ya di hari itulah Dilora mengetahui semuanya, semua beban yang selama ini ditanggung oleh mamanya seorang diri, tanpa seorang pendamping tentunya.

Sejak hari itu Dilora menemani mamanya di rumah sakit hingga hari saat mamanya mengembuskan napasnya untuk yang terakhir kali.

Ayah? bahkan sampai sekarang Dilora tidak tahu seperti apa wujud ayahnya. Entah memiliki wujud atau tidak, tapi rasanya tidak mungkinkan jika mamanya berhubungan dengan makhluk yang berbeda dimensi dengan manusia, kan? ah entahlah yang jelas Dilora rindu ayahnya meski dia tidak pernah tahu bagaimana rupa sang ayah.

"Ra ayo masuk , ngapain Lo diem-diem bae disini. Ngelamun apaan hah?" seru Amanda yang mengalihkan lamunan Dilora.

"Nothing Nyet, yuk ah masuk."

"Nothing-Nothing, plis deh gausah sok baik-baik aja disaat fakta menunjukkan kalau mata lo menangis itu apa? kita balik aja apa?"

"Balik-balik gundul mu, enak aja lo, lo kan harus traktir gue sekarang, mata gue cuma berkeringat doang kok, yuk ah masuk." Dilora melangkahkan kakinya memasuki mal meninggalkan Amanda yang kini cengo di tempat.

"Mata berkeringat? emang iya ya? bener gak sih? kok gue baru tau mata bisa berkeringat, eh wanjeer yang berkeringat itu kan, kulit mana bisa mata, yang ada mata tu menangis, mengeluarkan air mata bukannya berkeringat.

Dilora bangke lo!"

*****

"Ra mau kemana lagi? jangan cepet-cepet jalannya capek tau, ni perut gue masih penuh susah bawanya, ntar kalo gue muntah gimana?" keluh Amanda menyusul Dilora yang entah tak tau mau kemana lagi gadis satu itu hendak pergi. Padahal mereka baru saja selesai makan di salah satu restaurant cepat saji di mal itu.

"Ribet amat sih lo kayak orang hamil, siapa yang ngehamin lo, Razan?"

"Enak aja lo, cowok gue tu alim ga mungkin lah dia ngerusak gue"

Dilora menyentuh bahu Amanda "Alim? Anak liar malam maksud lo?" atau jangan-jangan lo hamil anak setan?"

"Lo... lambe lo memang sialan ya! pengen gue santet sumpah."

"Mana mempan lo nyantet gue, gue kan rajin ibadah."

"Orang ibadah kok lambenya bermaksiat, sama aja enggak"

"Oh gapapa, ibadah gue rajin-maksiat gue jalan teros, jadi seimbang. Itu kata guru spiritual gue sih."

"Guru spiritual? Dago maksud Lo? anjir emang sesat lu berdua."


Setelah beberapa lama adu cek-cok tibalah dua gadis remaja itu di sebuah gramedia yang ada di mall . Memasuki area gramedia sudah menjadi tradisi bagi Dilora bila berkunjung ke mal ini.

Sebenarnya Dilora memang hendak membeli beberapa novel yang sudah ia idam-idamkan sejak lama dan dengan tanda promo yang terpampang di gramedia tersebut tentu tidak akan dia sia-siakan begitu saja apalagi kedatangannya bersama Amanda, sang donatur.

Amanda tidak akan menolak, menyenangkan hati sepupunya itu sudah seperti hobinya. Apalagi sebenarnya dia juga menyukai novel, dia bisa membacanya setelah Dilora bukan? Betapa beruntungnya mereka sudah saudara seperpupuan, berteman akrab, memiliki hobi yang sama, satu selera , hanya kalau masalah pacar saja mereka tidak akan berbagi.

Enak saja- dikasi hati minta empedu~Kamu pikir aku mau?

Setelah memilih beberapa novel Dilora dan Amanda berjalan menuju kasir, tapi sebelum itu mereka melirik kearah gadis yang kini sedang berjalan dan tersenyum kearah mereka , bukan tipe senyum yang ramah tentunya.

"Hai, kamu Dilora kan? yang ehm telat pas hari mos pertama, dan kamu juga, ehm siapa namanya maaf aku lupa hahaha." tawa nya terdengar hambar dan tak bersahabat bagi pendengaran kedua gadis itu

"Amanda" jawab Amanda cepat

Sheina mengulurkan tangannya pada Dilora. "Kenalin aku Sheina, aku juga siswi baru di SMANURI."

***To be continue***

DILAN AND DILORA   -Dear Sibling-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang