18 Oktober 2017

13 0 0
                                    

Asal kawan-kawan tahu, saya kerap memerah keringat ​dingin meski saya yakin pada waktu itu saya tak ingin. Riak muka pun memerah tak keruan. Saya terpojok di rumah sendiri sebab malu dan marah. Malu sebab punya ayah seorang binatang. Saya pun iri dengan kawan-kawan semua yang bisa bersendaria bersama ayah masing-masing; sedang saya dan ayah —pemerkosa ibuku— adalah asing. Selain malu dan iri, aku pun marah. Aku marah pada bajingan itu; mengapa ia bisa berlaku begitu, mengapa korbannya harus ibuku? Jika boleh memilih: aku lebih baik tak terlahir ketimbang dipontang-pantingkan darah dan tangisan.

Sebab kekeras-kasaran yang membudaya di rumah dan membikin saya selalu dalam muka yang merah dan mata yang selalu berkantung itu, saya jadi takut untuk bersitatap apalagi bertukar kata dengan orang lain. Pandangan saya terhadap dunia ini terlanjur buruk. Orang-orang yang tahu soal kisah saya mungkin juga berpandangan sama terhadap diri saya. Kebusukan-kebusukan yang berbenturan itulah yang semakin membuat saya yakin untuk tidak perlu bertegur sapa dengan dunia.

Lalu, mengapa saya bercakap dengan kalian? Sebab, pada mata kalianlah tak kutemui kejijikan —dan semoga memang tidak ada— terhadap saya. Saya berani berkata kepada kalian sebab kalian tak berkata-kata, melainkan kalianlah kata-kata itu. Jadilah kalian kawan saya: kata-kata.

Buku Harian EsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang