15 Oktober 2017

22 2 0
                                    

Selamat pagi, teman-teman. Perkenalkan, nama saya Esa Kuasa Saraswati. Kalian bisa panggil saya Esa, Asa, atau Saras; jangan Wati. Itu nama ibu saya. Ia sudah mati. Ia mati bersama ratusan orang lainnya dan menjadi tiang tak kasat mata yang menegakkan kota ini. Ya, kota kebanggaan kalian. Tidak bagiku. Kota ini terlalu amis untuk kubanggakan. Rumahku berada di kompleks ujung kota ini. Sebut saja kompleks air mata; karena di sana selalu saja basah oleh tangisan.

Saya tinggal sendiri di rumah. Ayah? Saya cuma tahu kalau dia masih hidup. Selain itu, tak tahu. Juga tak mau menahu. Pun, bagiku, dia bukan seorang ayah. Ia lebih tepat disebut bajingan. Pemerkosa. Dan aku adalah hasilnya. Aku adalah hasil pemerkosaan. Ibuku dibunuh seminggu setelah aku lahir dua dekade lalu. Untungnya, sebelum ibuku dibunuh, ia masih sempat memberikan aku nama. Kalau tidak, mungkin sekarang kalian akan memanggilku hei atau anu. Ya, anu. Kata yang mungkin tak terdefinisi.

Teman-teman, yang semoga baik dan berbudi luhur. Apa kalian pernah bertanya: siapa Tuhan kita? Apakah kita hanya bisa menjumpainya dalam kitab-kitab atau patung-patung saja? Mengapa Tuhan menciptakan kita tanpa mau menampakkan rupa-Nya? Apa Tuhan kita pemalu? Teman-teman, itu hanya sekelumit tanya yang menyumbul dari kerumitan-kerumitan yang beberapa tahun ini saya temui dalam kesepian. Semoga, dengan kenalnya saya pada kalian, bisa mengakrabkan saya dengan-Nya.

Saya rasa, di sini saja saya cukupi perkenalan diri saya kepada kalian. Saya tidak perlu menyebutkan hobi ataupun tetek-bengek lainnya yang tidak perlu. Terima kasih, mari saling mengakrabi.

Buku Harian EsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang