Sayalah Esa; atau Asa; atau Saras. Gadis yang mungkin sudah digariskan untuk jadi pemurung sejak tangisan pertama. Bagaimana tidak? Ibuku saja bernama Samsara. Mana mungkin ada tawa bahagia yang lahir dari kesengsaraan? Saraswati, bagiku cuma sebatas tempelan. Sedang Esa, untukku adalah kepedihan. Terlahir di negeri air mata ini, aku mesti bertahan untuk tetap bernapas dengan kesendirian. Tak pernah terpikirkan olehku untuk menggantungkan hidup pada orang lain. Hidupku terlanjur asing. Kuasa? Aku sangat muak dengan nama tengahku ini. Mungkin, ibuku berharapan agar gadisnya ini mampu berkuasa: setidaknya atas dirinya sendiri. Sayangnya, jangankan berkuasa atas diri, mengatur otak saja aku tak bisa. Satu-satunya manfaat yang kudapat dari nama ini adalah aku punya panggilan; tidak dipanggil hei atau anu. Selain itu: nol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Harian Esa
أدب تاريخيBuku Catatan milik Esa Kuasa Saraswati: pelamun akut beriak muka murung. Anak Dewi Samsara Wati, seorang buruh yang mati dihajar suaminya yang bajingan. Cucu seorang seniman yang karya-karyanya dibuang sebelum dikenal.