Merajut Cinta yang Belum Kelar
“KITA PUTUS.”
Deg…
Tidak mungkin! Aku menggelengkan kepalaku.
Jantungku rasanya berhenti berdetak mendengar penuturannya. Tubuhku lemah dan gemertar serasa kehilangan tenaga.
Aku tidak salah dengar kan? Ini pasti telingaku yang bermasalah.
“Ka…Kamu bercanda kan?” Ah iya, aku yakin dia pasti bercanda. Dia hanya berniat mengerjaiku.
“Aku serius.” Kuperhatikan ekspresi wajahnya memang terlihat serius.
“Aku tahu kamu pasti bercanda. Kamu hanya ingin mengerjaiku saja kan?” tanyaku lagi. Dia hanya diam dan wajahnya terlihat dingin. Sorot matanya pun tajam menusuk membuat nyaliku menciut.
Tanpa berucap apa pun dia pergi meninggalkanku yang masih termangu. Mendadak pikiranku tak dapat berpikir jernih untuk mencerna maksud dua kata mutiara yang baru saja ia lontarkan.
Hingga beberapa menit aku masih terdiam. Rasa sesak dalam dada menghampiri. Aku menghela napasku dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan.
Ah, sudahlah. Ini pasti hanya akal-akalan dia saja. Besok juga pasti sudah cengengesan lagi kalau bertemu. Ucapku dalam hati. Masih berharap bahwa ini hanya sebagian sekanrio yang ia jalankan untuk mengerjaiku. Aku melangkahkan kaki dengan gontai. Memutuskan untuk kembali pulang ke kost.
Sudah sejak dua jam lalu aku membaringkan tubuhku di atas kasur, namun rasanya mataku masih enggan terpejam. Dua kata mutiara yang terlontar darinya masih saja terus terngiang dalam benakku. Ekspresi datar dan dinginnya pun masih terus terbayang dalam ingatan.
°°°Alarm dari jam yang aku letakkan di atas meja terus saja berdering menggangggu tidur lelapku. Rasanya mataku masih lengket, susah untuk dibuka. “Hoaam....” Aku mengangkat tanganku untuk menutup mulut saat aku menguap. Rasa kantuk masih mendominasi, namun cahaya silau matahari yang masuk melalui celah-celah jendela kamar tak mau berkompromi. Dengan malas, akhirnya aku bangun dari tidurku.
Krek…Krek..
Aku merenggangkan otot-otot leher dan tangan untuk memghilangkan sedikit rasa pegal pada tubuhku. Aku meraih jam weker yang masih saja tak berhenti berdering, lalu mematikan alarm. Aku menghembuskan napasku dengan kasar. Ternyata sudah hampir jam 7. Aku segera mandi dan bersiap-siap untuk berangkat kerja.
Mataku tak henti-hentinya memonitor layar ponsel yang tergeletak di atas meja kerjaku. Hampir tiap menit aku meliriknya, berharap ponsel itu bergetar dan di layarnya tertera sebuah nama yang sudah seharian ini hilang tanpa kabar. Padahal, biasanya selalu tak pernah lupa mengabsenku berkali-kali pagi, siang, sore, dan malam.
Huft….
Aku menghembuskan napasku. Sabar, mungkin dia sibuk. Pikirku. Aku mencoba untuk selalu berpikir positif tentangnya. Namun, lambat laun usahaku untuk berpikir positif padanya pun menguap begitu saja.
Tak terasa waktu bergulir cepat. Walaupun, aku sendiri merasa hari-hariku berjalan dengan lambat. Sudah beberapa bulan dia tidak pernah lagi muncul di hadapanku. Sejak itu, dia menghilang tanpa jejak. Tak pernah memberiku kabar. Bahkan ia susah untuk dihubungi. Aku pernah mencoba menghubunginya satu bulan lalu tetapi, nomor hpnya pun sudah tidak aktif.
Aku tersenyum miris. Ternyata, apa yang ia ucapkan malam itu bukanlah sebuah lelucon. Mengapa?! Mengapa dia tiba-tiba memutuskan hubungan kami? Mengapa dia tidak memberiku alasan apa pun sampai dia meminta untuk putus? Mengapa dia tidak menegur dan menasihatiku seperti biasanya jika aku melakukan kesalahan? Apa kesalahanku fatal dan tidak bisa dimaafkan, lalu dia memutuskanku? Apa sebenarnya salahku? Bahkan berminggu-minggu malam yang kulalui hanya aku habiskan untuk memikirkan hal itu. Introspeksi diri. Jika memang aku melakukan kesalahan, aku akan segera meminta maaf dan menebusnya agar bisa dimaafkan. Dan hingga kini, aku tidak bisa menemukan satu jawaban pun atas semua tanyaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The One
Short StoryKamulah satu-satunya. Satu-satunya yang aku sayang, aku rindu, aku cinta. Hanya kamu satu cintaku. Kumpulan cerpen yang suatu saat akan dibuat versi panjangnya) 😁