Tetaplah Bersamaku
Kriiing … kriiing … kriiing ...
Ting … tong … ting ….
Seluruh pelajaran hari ini telah selesai. Sampai jumpa besok pagi dengan semangat belajar baru. All lessons have ending for today. See you tomorrow morning with a new learning spirit. Take care on the way home.
Suara bel berdentang, membuat suasana yang tadinya sunyi pun mendadak gaduh. Para siswa menyambutnya dengan suka cita. Khususnya bagi siswa kelas X dan XI. Mereka segera berhamburan meninggalkan kelas masing-masing. Berbeda dengan siswa kelas XII yang masih bertahan di dalam kelas untuk mengikuti kegiatan tambahan. Sudah beberapa bulan ini mereka menjalani kegiatan pelajaran tambahan atau yang sering disebut dengan les untuk mempersiapkan diri menghadapi Ujian Nasional yang tinggal menghitung hari.
Pengumuman ….
Bagi seluruh siswa kelas XII, kegiatan pelajaran tambahan hari ini ditiadakan ---
“Horeee ….” Sorak sorai menggema di seluruh penjuru kelas XII. Mereka sudah tidak menghiraukan lagi pengumuman yang terdengar. Yang jelas, mereka menyambutnya dengan antusias. Tak dapat digambarkan satu per satu bagaimana wajah ceria mereka tatkala mendengar pengumuman tersebut. Akhirnyaaa, bisa pulang lebih awal.
“Kita nongkrong dulu yuk? Udah lama nih nggak ngumpul,” ucap Baja, teman satu geng Ali.
“Boleh tuh. Gimana Li?” I’am pun menyetujui.
“Oke deh. Yuk, cabut!” Tanpa pikir panjang, Ali pun menyetujuinya. Lagian, mereka juga sudah jarang sekali ngumpul bareng. Paling-paling saat akhir pekan doang, itu pun nggak sering.
Baja menyikut Ali saat mereka tiba di ambang pintu kelas. “Eh, Li ….” Ia memberi kode pada Ali menggunakan dagunya, menunjuk seseorang yang duduk anteng pada bangku yang tersedia di depan ruangan kelas.
Ali pun segera menghampiri seseorang tersebut. “Gue mau pergi sama teman-teman. Lo pulang aja dulu,” ucapnya ketus yang diangguki patuh oleh orang yang diajaknya biacara.
“Eh, tunggu.” Ali mencegahnya saat seseorang itu hendak melangkah. Ia segera membuka tasnya, mengambil beberapa buku.
“Kerjain tugas-tugas gue. Cari aja bahannya di buku cetak atau internet,” ucap Ali menyodorkan buku-bukunya, kemudian berlalu tanpa pamit.
=>=>
“Enak banget ya lo, punya cewek penurut kaya gitu.” Baja memulai pembicaraan. Saat ini mereka sudah sampai di tempat tongkrongan yang biasa mereka sebut base camp. Tempat di mana mereka sering menghabiskan waktu usai jam pulang sekolah. Dulu, sebelum kegiatan pemadatan materi membelenggu kebebasan mereka.
“Itu pilihan nyokap gue, bukan pilihan gue,” jawab Ali cuek, sambil merebahkan badannya.
“Kalau lo nggak mau, buat gue aja deh,” timpal I'am, ikut berbaring.
“Ambil aja kalau dia mau sama lo,” jawab Ali remeh.
“Beneran nih?” I'am menoleh ke samping.
“Lo siap-siap aja, habis itu berhadapan sama nyokap gue.”
“Ah elah, bilang aja sebenarnya lo nggak rela ….” Ali hanya mencebikkan bibirnya tanpa berniat untuk menjawab.
“Eh, tapi beneran deh, gue iri sama lo.” Ali menaikkan salah satu alisnya, tak mengerti maksud ucapan Baja barusan.
“Udah cakep, penurut, mau bantuin ngerjain tugas pula. Beruntung banget lo,” lanjut Baja memberi penjelasan tanpa diminta.
“Nggak semuanya juga tugas gue dia yang ngerjain.” Baja menautkan kedua alisnya.
“Ya, lo tahu sendiri 'kan gimana kemampuan dia? Bisa berabe nanti kalau gue nyuruh dia ngerjain tugas Fisika, Kimia, dan Matematika.” Lanjut Ali menjelaskan, membuat Baja manggut-manggut, membenarkan.
“Emang tadi lo nyuruh dia ngerjain tugas apa?” I'am pun bertanya.
“Bahasa Indonesia. Malas banget gue nulis segitu banyaknya, mana besok dikumpulin lagi.”
“Waduh, iya nih, gue juga belum tuh bikin resume,” ucap Baja teringat akan tugasnya.
“Tenang aja, besok gue kasih contekan.”
“Contekan apaan? Tugas kita beda booorr ….” Ali terkekeh saat ia mendapat toyoran di pelipisnya.
Drrt … drrtt ….
Ali merogoh sakunya saat merasakn getaran dari hp yang ia kantongi.
Nola
Di mana yank?
Di base camp
Aku nyusul ya sama Dea dan Zuma
“Nola mau nyusul ke sini nih.” Ali merubah posisinya menjadi duduk, memberitahu kedua temannya.
“Nola belum tahu tentang Prilly?” Baja bertanya. Ali hanya menggelengkan kepalanya.
“Kenapa?”
“Ya, bego banget gue kalau sampai diputusin Nola cuma gara-gara cewek pendek itu,” ucapnya, sarat akan kebencian.
“Hati-hati lo, suatu saat kalang kabut nyariin Prilly,” celutuk Baja asal.
“Hahaha. Ya nggak mungkin lah. Lo ngaco deh Ja.” Ali menggeleng-gelengkan kepalanya, mengelak dengan apa yang diucapkan Baja karena menurutnya itu memang mustahil. Dia tidak pernah menyukai Prilly. Mana mungkin dia bakal mencari-cari Prilly?
“Ada-ada aja lo.” Ali terkekeh sendiri mencerna ucapan konyol Baja.
“Saayaaangg ….” Ali segera bangkit, keluar dari rumah pohon itu saat mendengar suara Nola yang melengking. Baja dan I'am saling pandang, dengan kompak pula mereka menghendikkam bahunya bersamaan, sebelum akhirnya menyusul Ali.
=>=>
Hari demi hari pun berlalu. Intensitas Ali dan Prilly bertemu pun semakin berkurang. Ali sudah tidak lagi mengantar-jemput Prilly dengan alasan ia ingin fokus dalam menghadapi Ujian Nasional, ditambah Ali pun tidak mau kelelahan karena jarak rumah mereka cukup jauh lagi pula tidak satu arah.
Hingga pelaksanaan ujian pun sudah berakhir. Siswa kelas XII hanya diberi jadwal masuk dua kali dalam satu minggu, yakni Hari Senin dan Kamis. Itu pun hanya diisi dengan kegiatan kunjungan dan sosialisai dari beberapa Perguruan Tinggi. Selebihnya, mereka hanya menghabiskan waktu bersama teman-teman seangkatan sebelum akhirnya benar-benar berpisah.
Dan hari ini adalah hari yang paling dinanti oleh para siswa kelas XII. Setelah mendengar instruksi untuk berkumpul di aula, mereka pun segera berbondong-bondong ke ruangan tersebut.
Tanpa harus menunggu lama, sang pembawa acara pun segera membuka acara. Setelah Kepala Sekolah memberikan sambutan dan mengucapkan selamat atas kelulusan 100% yang diraih oleh para siswa kelas XII, maka, pengumuman siapa saja siswa yang berhasil menempati peringkat tiga besar dari tiap jurusan pun segera dibacakan.
“Dan lulusan terbaik tahun ini diraih oleh Aliandra Yanuar, kelas XII MIPA 1 ….” Ali yang duduk pada barisan paling depan pun berdiri dengan bangga saat namanya disebut sebagai siswa dengan peringkat teratas nilai Ujian Nasional. Senyum manisnya yang menawan tersungging di wajahnya yang tampan. Tak ayal membuat para siswi pun berteriak histeris memujanya. Suara tepuk tangan yang sangat meriah menyambut kehadiran Ali di atas panggung.
“Selain meraih nilai tertinggi Ujian Nasional, Aliandra Yanuar pun mendapatkan beasiswa program S1 di Universitas Indonesia.” Lagi, ucapan sang pembawa acara disambut sorak sorai para siswa yang juga ikut merasa bangga dengan prestasi yang dicapai Ali.
“Selanjutnya, peringkat kedua diraih oleh ….” Suasana menjadi hening seketika. Para siswa pun menantikan dengan harap-harap cemas.
“Prilly Anindita .…” Raut wajah Ali yang semula sumringah mendadak berubah datar. Sedikit merasa shock mendengar nama gadis itu disebut oleh sang pembawa acara. Tak hanya Ali, siswa yang lain pun terlihat terkejut. Bagaimana tidak? Selama ini, mereka tak pernah mendengar nama Prilly menduduki peringkat 5 besar di kelasnya. Bagaimana bisa tiba-tiba namanya nangkring berada di urutan kedua nilai Ujian Nasional? Mereka pun saling adu pandang dan berbisik-bisik. Hingga beberapa menit Prilly belum juga menampakkan diri membuat suasana dalam ruangan menjadi riuh.
Tak lama, salah satu guru pun naik ke atas panggung dan membisikkan sesuatu pada pembawa acara.
“Maaf, Prilly berhalangan hadir karena saat ini dia sedang mengurus kepindahannya ke Yogyakarta.” Ali pun segera menoleh pada sang pembawa acara. “Perlu kalian ketahui bahwa Prilly juga mendapatkan beasiswa di Universitas Gajah Mada---”
Ucapan dari pembawa acara selanjutnya sudah tidak Ali hiraukan lagi. Rasanya tubuh Ali melemas saat menyadari bahwa dirinya memang belum melihat wajah sendu gadis itu hari ini. Retina hitam legam nan tajam itu memonitor ke seluruh penjuru ruangan. Ia berharap dapat menemukan sosok yang ia cari. Namun, nihil …. Gadis itu benar benar menghilang darinya. Bahkan sudah hampir satu bulan ini Ali jarang melihatnya. Parahnya, Ali baru saja menyadarinya saat ini. Gadis yang selalu ia perlakukan layaknya pembantu. Gadis yang selalu sabar menghadapi sikap dan tingkah laku kasarnya. Gadis yang tidak pernah ia akui kehadirannya selama ini.
Ali segera berlari meninggalkan aula setelah acara pengumuman kelulusan selesai. Ia tak menghiraukan teriakan teman-teman satu komplotannya. Bahkan Nola yang mengejarnya pun ia abaikan.
Yang ada dalam benaknya kini hanya nama Prilly dan Prilly. Ali hanya ingin bertemu gadisnya saat ini. Ingin menyuruhnya untuk tetap ada di dekatnya. Tak akan mengizinkannya pindah ke mana pun.
Ia memacu mobilnya dengan kencang. Hingga sampai di sebuah perempatan, Ali menepikan mobilnya. Perempatan di mana ia selalu menyuruh Prilly menunggu kedatangannya setiap pagi. Ali pun segera keluar. Mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru, berharap Prilly menampakkan diri di hadapannya seperti hari-hari sebelumnya. Ia mondar-mandir sambil sesekali melihat jam yang melingkar ditangannya.
“Bodoh lo Li, bodoh!” umpatnya pada diri sendiri.
Ia pun segera merogoh sakunya, mengambil hp, lalu mencoba menghubungi Prilly.
Maaf--- Terdengar suara operator menjawab sambungan telepon tersebut. Ali pun segera mematikannya. Ia pun memasuki mobilnya kembali.
“Aku harus cari kamu ke mana Prill?” tanya Ali frustrasi pada dirinya sendiri. “Bego banget ya aku? Selama ini nggak pernah mau mampir ke rumah kamu?” umpatnya merasa menyesal.
Ali mengacak rambutnya dengan putus asa. Ia pun membelokkan setirnya memasuki gang perumahannya. Kemudian, memarkirkan mobilnya sembarangan.
“Maa….” Ali memasuki rumahnya tergesa sambil berteriak memanggil mamanya.
“Ada apa sih? Datang bukannya mengucapkan salam malah teriak-teriak?” Ali tidak menghiraukan protesan mamanya.
“Mama tahu Prilly pindah ke Yogya?” tanyanya langsung pada intinya. Mama Ali mengangguk.
“Kenapa Mama nggak ngasih tahu Ali?”
“Salah siapa coba, semalam nggak mau ikut makan malam.”
“Mama nggak bilang---"
“Bukannya kamu yang nggak mau dengar penjelasan Mama?” potong Mama Ali cepat saat mendengar anaknya berusaha mengelak dan membela diri. Sudah berkali-kali Ali selalu menolak dengan berbagai alasan saat orang tuanya mengajak makan malam bersama keluarga Prilly.
“Terus dia sekarang di mana ma?” tanya Ali dengan lesu. Ia benar-benar frustrasi. Apalagi hp Prilly tidak bisa ia hubungi sejak tadi.
“Sudah sampai Yogya mungkin,” jawab Mama Ali sebelum melenggang kembali ke dapur.
Ali terduduk lemas pada sofa ruang keluarga mendengar jawaban mamanya. Ia sedikit meremas rambutnya yang mulai memanjang. Lalu, mengusap wajahnya dengan kasar.
Ya Tuhaaaaannnn …. Ingin rasanya Ali menjerit agar dapat meredakan rasa sesak yang tiba-tiba menyerang dalam dadanya.
Terlambat sudah.
Ali menggelengkan kepalanya pelan. Kemudian menghela napasnya dengan berat.
Gadisnya benar-benar sudah pergi meinggalkannya. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk sekedar mencegahnya pergi.
Hampa.
Rasanya, ada hilang dari sisi hatinya kini.
Ali pun mengayunkan langkahnya dengan lunglai menuju kamarnya. Satu yang ingin ia lakukan sekarang adalah menenangkan pikirannya.
Dengan malas ia memasuki kamar dan segera mengunci pintunya. Ia benar-benar tidak ingin diganggu oleh siapapun.
Ali pun membalikkan badannya. Namun, tubuhnya terasa kaku untuk beberapa saat, hingga ia menyadari sesuatu.
Ali mengerjapkan matanya berkali-kali berharap apa yang ia lihat kini bukanlah halusinasi. Ia memicingkan matanya untuk memperjelas penglihatannya. Kemudian melangkah perlahan mendekat ke jendela kamarnya.
Senyuman manis dari wajah ayu gadis mungil itu menyambutnya.
“Prilly….” gumam Ali lirih. Ia pun langsung mendekap erat tubuh mungil gadisnnya.
“Kumohon, jangan pergi!” ucap Ali parau semakin mempererat pelukannya.
“Maafkan aku … maaf ...,” lanjut Ali sambil terisak.
“Aku janji ... janji akan berubah. Aku akan memperlakukan kamu dengan baik. Asal kamu tidak pergi.” Prilly menggeleng melepaskan pelukannya. Tangannya terulur meraba wajah tampan kekasihnya. Ia tersenyum hangat.
“Aku pamit,” ucap Prilly lirih dengan mata berkaca-kaca. “Berbahagialah dengan gadis pilihanmu.” Prilly tersenyum. Meski terasa berat, ia harus mengambil langkah untuk hubungan mereka berdua. Mengalah dan menjauh adalah pilihan terbaik. Toh, selama ini kehadirannya pun tak pernah dianggap. Jangan anggap Prilly tidak mengetahui apa pun.
Ali menggeleng dengan kuat. Air matanya semakin deras menetes di kedua pipinya. “Nggak. Aku maunya kamu ….”
“Nanti kalau liburan aku pasti ke sini,” ucap Prilly berjanji.
Ali mengusap sisa air matanya dengan kasar. “Tidak perlu,” ucapnya dingin, membuat Prilly menundukkan kepalanya takut dan tubuhnya bergetar.
Ali menangkup wajah gadisnya yang sudah penuh deraian air mata. “Berjanjilah ... jika di sini …,” ucap Ali menunjuk dada Prilly. “Hanya ada nama Ali. Selamanya.”
Prilly pun segera mengangguk dengan sesenggukan. Matanya terpejam kala Ali menarik kepalanya menempelkan dahi mereka.
“Aku yang akan mengunjungimu tiap minggunya,” bisiknya.
“Apa?” tanya Prilly tak kalah lirih.
“Sudah, jangan protes!” Ali merengkuh tubuh mungil di hadapannya itu dan semakin mempersempit jarak keduanya.
“Hari ini kamu dan waktumu untukku.”
“Tapi, penerbangannya sebentar lagi.”
“Aku tidak peduli.”
“Tapi, Li ….”
“Batalkan.”
“Apa?”
“Aku yang mengantarmu besok.”
Ali pun mengangkat tubuh gadisnya itu lalu membaringkannya di atas ranjang. Ia pun ikut membaringkan tubuhnya di salah satu sisi kasur, kemudian memeluk tubuh mungil yang ada di sampingnya.
Cup ….
Ia pun mengecup kening Prilly lama. Berharap Prilly mengerti bahwa dibalik sikap arogannya, Ali sangat menyayanginya. “Tidurlah,” ucapnya, sebelum ia memejamkan mata.
Tok … tok … tok ….
“Li ….”
“Ali, buka pintu woei?”
“Gue hitung sampai tiga---“
Duuukk ….
Baja dan I'am pun terdiam. Mereka menoleh satu sama lain. Kemudian berjalan perlahan kembali ke ruang makan di mana kedua orang tua Ali sudah menunggu. Padahal, niat mereka membangunkan Ali 'kan untuk mengajaknya makan siang bersama.
-Tamat-
Jateng, 050119
KAMU SEDANG MEMBACA
The One
Short StoryKamulah satu-satunya. Satu-satunya yang aku sayang, aku rindu, aku cinta. Hanya kamu satu cintaku. Kumpulan cerpen yang suatu saat akan dibuat versi panjangnya) 😁