TheOne - 12

574 47 10
                                    

Tertikung

Ali mengusap wajahnya kasar. Dia sedang merasa tertekan dan bingung atas situasi tidak menyenangkan yang harus ia hadapi kini. Memilih antara sahabat atau pacar. Di satu sisi, ia takut jika dijauhi Varrel, sahabatnya sejak kecil. Dan di sisi lain, ia juga tidak ingin membuat gadis cantik yang menyandang gelar sebagai kekasihnya itu bersedih. Namun, ia harus memilih sebuah keputusan agar situasi yang tidak mengenakkan ini segera berakhir.

Ali mengembuskan napasnya dengan kasar. Ia melirik sekilas seorang gadis yang duduk di sampingnya sedang bercerita banyak hal, yang sama sekali tidak disimak dengan baik oleh kekasihnya.

“Ehem….” Ali sengaja berdehem agak keras membuat Prilly, kekasihnya itu langsung menoleh dan menghentikan cerocosannya. Prilly pun menyengir melihat ekspresi Ali yang sedikit tidak enak untuk dilihat, ya walaupun bagi gadis itu, Ali tetap dan akan selalu mempesona setiap saat.

“Sudah selesai ‘kan ceramahnya?” tanya Ali basa-basi dengan ketus. Sontak hal itu membuat Prilly langsung menutup mulutnya dengan rapat dan mengangguk. Memang akhir-akhir ini Prilly merasa bahwa sikap kekasihnya itu agak berubah. Meskipun, dari dulu memang Ali itu orang yang pendiam, cuek, dingin, tegas, tetapi tidak pernah bersikap jutek terhadapnya. Tidak seperti beberapa minggu ini. Ali selalu bersikap mengabaikan keberadaannya, bertutur kata dengan nada ketus, dan sepertinya berusaha menghindarinya. Namun, Prilly selalu berusaha untuk berpikir positif. Mungkin dia sedang lelah. Mungkin dia sedang ada masalah. Duga Prilly meyakinkan diri dan juga hatinya.

“Prill… Aku… Aku…. Minta maaf sebelumnya,” ucap Ali dengan parau sekaligus gugup. Prilly menoleh, menatap Ali dengan lekat. Seketika suasana hatinya merasa tak enak. Apakah firasatnya selama ini benar? Namun, dengan sabar dia menunggu Ali melanjutkan ucapannya.

“Kita putus ya?” Prilly membulatkan matanya dan mulutnya menganga, terkejut sekaligus tak percaya dengan apa yang baru saja Ali lontarkan.

“Ap… apa?” tanya Prilly terbata.

“Huft….” Ali membuang napasnya kasar. “Aku sudah tidak nyaman menjalani hubungan ini,” tuturnya.
Runtuh sudah pertahan Prilly. Matanya pun terasa memanas dan berkaca-kaca. Hilang sudah harapan-harapan indah yang ia pupuk selama ini.

“Tapi, apa salahku?” tanyanya lirih. Prilly menggigit bibir bawahnya dengan kuat agar isak tangisnya tak terdengar.

“Kamu tidak ada salah. Aku saja yang merasa bosan,” Ali melirik gadis di sampingnya yang menunduk. Ia tersenyum getir pada dirinya sendiri, telah melukai hati gadis yang mencintainya dengan tulus. Namun, ia siap menanggung resiko atas keputusannya ini.

Suasana pun menjadi hening.

“Kalau begitu katakan apa yang harus aku lakukan agar kamu tidak merasa bosan padaku?” tanya Prilly memecah keheningan. Ia akan melakukan apa saja yang Ali perintahkan asal hubungan mereka masih bisa dipertahankan.

Ali menggeleng lemah. “Tidak ada.”

“Aku… Aku janji akan melakukan apa pun. Aku… Aku akan jadi seperti yang kamu inginkan. Aku---”

Ali langsung memotong ucapan Prilly dengan cepat. “Aku mencintai yang lain,” teriaknya.
Prilly menggelengkan kepalanya. Tak menyangka jika Ali akan berpaling darinya.

“Jadi, benar feelingku selama ini?” gumamnya lirih namun masih dapat didengar oleh Ali.

“Apa dia Wilona?” tanya Prilly hati-hati. Ali menganggukkan kepalanya dengan mantap.
Ternyata benar dugaannya. Akhir-akhir ini memang Ali tiba-tiba terlihat akrab dengan Wilona. Bahkan tak jarang Ali berkunjung ke kelasnya hanya untuk mencari Wilona dengan berbagai alasan. Pinjam catatan, tanya tugas, dan lainnya. Bahkan, tak pernah menyapa Prilly yang duduk di belakang Wilona.

Prilly menghela napasnya untuk mengurangi rasa sesak dalam dadanya. Kemudian menatap Ali dengan senyum manisnya. Ali mengernyitkan dahinya saat melihat uluran tangan Prilly. Ia pun menyambutnya dengan malas. “Selamat ya. Semoga langgeng.” Berusaha tegar dan terlihat kuat di depan mantan kekasihnya, Prilly memberi ucapan selamat sebelum pergi dengan membawa luka. Menyisakan Ali yang menatapnya dengan penuh sesal.

Prok… prok… prok…

Suara tepuk tangan itu mampu mengalihkan pandangan Ali dari bayangan sosok mantan kekasihnya yang baru saja berlalu.

“Good job bro,” Varrel menepuk pundak Ali pelan. Ali hanya tersenyum simpul menanggapinya. “Ini baru setia kawan,” ucap Varrel merangkul sahabatnya sejak kecil, kemudian mengajaknya pergi ke suatu tempat yang sudah dijanjikan sebelumnya. Menyusul Wilona, Ersya, Geby dan teman-teman yang lain untuk hang out bersama.
***

Semenjak putus hubungan, Ali dan Prilly bagaikan orang yang tidak pernah saling kenal. Tak ada yang menyapa terlebih dulu ketika berpapasan. Prilly hanya menundukkan kepalanya atau bahkan memutar arah agar tak bertatap muka. Sedang Ali selalu buang muka, berpura-pura seolah tidak melihat mantan kekasihnya saat tidak sengaja bertemu.

Kedekatan Ali dan Wilona pun tak luput dari pengamatan para siswa lainnya. Bagaimana tidak? Wilona yang notabenenya adalah sahabat karib Prilly, menggunakan kesempatan dalam kesempitan untuk menggaet Ali agar jatuh dalam pesonanya. Dengan bersandiwara menjadi teman curhat Prilly yang setia mendengarkan keluh kesahnya. Wilona justru mencari cara mengadu domba dan menggunakan kelemahan teman masa kecilnya itu untuk menarik simpati Ali.

Kemesraan Ali dan Wilona yang sempat diumbar dan menjadi konsumsi penghuni sekolah, lambat laun memudar dengan sendirinya karena kesibukan Ali akhir-akhir ini. Ali sedang sibuk berlatih untuk mengikuti lomba melukis tingkat kabupaten. Hal itu membuatnya tidak bisa meluangkan waktunya untuk Wilona. Namun, ia tetap menjalaninya dengan santai, toh Wilona juga tidak bawel meminta perhatian darinya.

Hingga suatu hari, Ali melihat Wilona diantar pulang oleh Varrel, justru ia berterina kasih pada sahabatnya itu karena mau menolongnya untuk mengantarkan Wilona pulang. Ali juga meminta Varrel untuk menjagakan Wilona untuknya selama ia sibuk. Bahkan, ia sangat percaya bahwa gebetan barunya itu adalah orang yang pengertian. Buktinya, di saat ia sibuk berlatih, Wilona tak pernah mengganggunya sedetikpun.

Hampir satu bulan waktu yang ditempuh Ali untuk mempersiapkan diri mengikuti ajang lomba tingkat kabupaten itu. Hingga komunikasinya dengan Wilona pun sudah tidak sesering dulu. Jarang bertemu, jarang berkirim pesan, dan hampir tidak pernah lagi menghabiskan waktu bersama.
Dan sebuah pengorbanan memang tidak akan pernah ada yang sia-sia. Ali pulang dengan senyum yang sumringah usai diumumkan bahwa ia memperoleh juara 2 lomba melukis tingkat kabupaten.

Usai membersihkan diri, Ali berniat untuk bertandang ke rumah Wilona. Ingin membagi kabar gembiranya sekaligus melepas rasa rindunya pada gadis berparas manis yang sudah menyita perhatiannya hampir dua bulan ini. Ia menenteng satu bungkus plastik kecil yang berisi dua bungkus es krim, dua batang cokelat dan beberapa bungkus makanan ringan. Berjalan dengan tergesa tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Namun, langkahnya harus terhenti di ambang pintu ketika ia menyaksikan pemandangan yang tidak mengenakkan baginya, bagi hatinya lebih tepatnya. Di mana sang gadis pujaan sedang dirangkul dan dicium mesra oleh sahabatnya sendiri, Varrel.

Ali pun melangkah mundur dengan perasaan hancur. Tak menyangka jika orang yang selalu ia anggap sebagai sahabat terbaiknya tega menikungnya. Bahkan, ia rela mengakhiri hubungannya dengan Prilly -cinta pertamanya- hanya karena merasa tak enak hati dengan sahabatnya itu, yang tidak terima jika salah satu dari mereka mempunyai kekasih. Karena janji mereka dulu, tak ada yang boleh berpacaran sebelum lulus sekolah. Janji yang mereka ikrarkan demi sebuah rasa kesetiakawanan.

Ali mengakui dan menyadari bahwa ia telah salah langkah. Keputusan yang ia ambil karena ego, kini menghukumnya. Membelenggunya dalam rasa bersalah dan penyesalan yang teramat dalam. Menyia-nyiakan orang yang begitu tulus mencintai dirinya apa adanya. Bahkan kini sosok itu tak mungkin dapat ia gapai lagi. Mengingat betapa besar luka yang telah ia torehkan pada gadis pemilik hatinya. Ali menyadari bahwa apa yang ia rasakan  pada Wilona hanya sebatas rasa kagum semata atas kecerdasan yang dimiliki gadis itu. Nyambung saat diajak diskusi tentang hal apa pun, membuatnya terobsesi untuk menjalin kedekatan. Berbeda dengan Prilly yang harus ia ajari atau beri penjelasan terlebih dahulu saat berdiskusi.

Namun, kini, Ali berrtekad dalam hati, ia akan menebus satu kesalahan fatalnya itu suatu saat nanti.
***

“Prilly ….” jerit beberapa anak. Ali yang sedang berada di depan gerbang sekolah bersiap untuk pulang pun menoleh. Ia pun bergegas turun dari sepeda motornya tanpa mematikannya terlebih dahulu. Ali berlari menghampiri Prilly yang sedang meringkuk di atas aspal. Ia segera merengkuh tubuh Prilly, membantunya berdiri.

“Kamu nggak apa-apa 'kan?” tanya Ali setelah menstandarkan sepeda motor Prilly. Prilly hanya terbengong, mungkin masih syok efek dia tergelincir dan terjatuh dari sepeda motornya.

“Prilly ….”

“Eh, iya, nggak apa-apa. Makasih.” Prilly langsung menaiki sepeda motornya dan berlalu tanpa melihat ke arah Ali.

“Cieee Aliiii ….” sorak para siswa yang sedari tadi hanya terdiam menyaksikan, terbius dengan adegan yang baru saja tayang di depan matanya. Ali tak menghiraukan sorakan tersebut. Ia pun langsung melajukan sepeda motornya yang memang masih menyala, meninggalkan sekolah.

Ali mematikan mesin motornya di depan sebuah rumah, memperhatikan seseorang yang sedang memarkirkan sepeda motornya di halaman rumah itu.

“Makasih ya?”

Ali tersenyum dan mengangguk. Ia pun segera turun dan menghampiri orang tersebut.

“Aku khawatir, kamu tadi 'kan kelihatan syok banget. Naik motornya juga gemetaran gitu. Makanya Aku buntutin.”

“Iya, makasih ya, sudah nganterin Aku.” Ali mengangguk. Ia menatap lekat gadis yang ada di hadapannya tanpa kedip. Tidak ada yang berubah. Senyumnya masih mampu menggetarkan hati.

“Aku masuk dulu ya?” Prilly bergegas pamit memasuki rumahnya, namun Ali menahan pergelangan tangannya.

“Prill ….”

“Aku minta maaf. Maaf atas semua perilaku burukku juga kata-kataku yang menyakitimu. Aku---”

“Sudahlah, Li, lupakan.” Prilly berusaha tersenyum meski rasa sakit dan kecewa itu masih membekas.

“Nggak. Aku nggak akan bisa tenang sebelum mendapat maaf darimu.”

“Aku sudah memaafkanmu,” ucap Prilly pelan.

Melihat Prilly yang sedari tadi hanya menundukkan kepalanya, Ali pun meraih dagu Prilly, memaksakan agar Prilly mau menatapnya. “Hei, lihat Aku Prilly, lihat Aku.”

“Aku tahu bagaimana rasa sakit dan kecewamu, pasti tidak semudah itu kamu memaafkan perlakuanku. Kalau kamu ingin marah, marahi Aku, tampar Aku, atau apa pun itu. Lampiaskan semuanya padaku, akan Aku terima. Tapi, tolong jangan pura-pura kuat dan tegar di hadapanku---”

“Prill ….” panggilnya lrih. Ali yang baru saja menyadari jika gadis yang ada di hadapannya kini terisak dengan berlinang air mata yang membasahi kedua pipinya, pun menyekanya dengan lembut. Namun, hal itu justru semakin membuat Prilly menangis sesenggukan. Ali segera merengkuh tubuh mungil yang bergetar itu ke dalam pelukannya.

“Menangislah jika itu bisa mengurangi sedikit beban yang kamu pendam selama ini.” Ali mengusap-usap lengan tangan Prilly berulang kali, berusaha memberinya ketenangan. Sesekali ia mengecup puncak kepala Prilly yang bersandar dalam dekapannya, dengan penuh sayang dan segenap penyesalannya.

Setelah merasa sedikit tenang, Prilly melepaskan diri dari pelukan Ali. Ia pun mengusap sisa air matanya dengan kasar beserta ingusnya yang ikut keluar dari kedua lubang hidungnya. Sontak hal itu membuat Ali tak bisa menahan kekehannya.

“Iiihh … cantik-cantik jorok,” ejek Ali sambil mengulurkan sapu tangan yang ia ambil dari kantong saku celananya. Membantu Prilly membersihkan wajahnya yang terlihat cemang-cemong akibat sisa air mata dan ingus yang menempel. "Tapi, Aku sayang ...." Perlakuan Ali membuat Prilly tersipu malu.

“Masuk rumah, cuci muka terus bobo gih.” Ali mengacak rambut Prilly dengan sayang.

“Aku pulang dulu,” pamitnya seraya melangkah meninggalkan Prilly yang termangu atas perlakuan Ali barusan.

“Oh iya …” Baru beberapa langkah, Ali pun membalikkan badannya dan menghampiri Prilly kembali. Ia meraih tangan Prilly, kemudian menggenggamnya dengan erat. “biarkan aku menebus semua kesalahanku. Tak perlu heran apa pun yang akan kulakukan nanti. Tugasmu hanya satu, jangan melarangku berbuat apa pun demi mendapat maaf darimu.” Ali tersenyum dan mengacak kembali rambut Prilly yang terdiam membisu mencerna omongannya.

Sesaat setelah tersadar apa yang dimaksud Ali, Prilly pun membalikkan badannya. “Aku sudah memaafkanmu,” ucapnya sedikit berteriak karena Ali sudah berada di atas sepeda motornya. Mendengar ucapan Prilly, Ali pun kembali turun dari motornya dan menghampiri Prilly.

“Jangan … jangan maafkan Aku dulu.  Aku tidak mau mendapatkan maaf darimu secara cuma-cuma. Biarkan Aku berusaha terlebih dahulu untuk mendapatkannya. Tunggu Aku ya ….”

Cuuup ….

Ali mengecup kening Prilly singkat, lalu ia segera berlari dan melajukan sepeda motornya sebelum mendapat semprotan dari Prilly, yang masih bergeming di teras rumahnya.

***
Jateng, 011218

Cerita ini pernah diikutkan event tapi nama tokohnya bukan AliPrilly 😄






The OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang