Mentari kala itu sedang menyengat terik. Maklum, negeri yang sebagian besar wilayahnya merupakan padang pasir itu memiliki suhu 45° celsius. Udara yang cukup panas untuk membakar tubuh dan membuat kulit menjadi kecoklatan.
Sudah berjam-jam dirinya menunggu jam terbang maskapai Egypt Air di bandara Cairo International Airport. Sambil menunggu kedatangan maskapainya, wanita berjilbab syar'i itu membuka kitab suci yang selalu ia bawa, lalu membacanya dengan suara syahdu bak alunan melodi indah yang menenangkan hati.
Ketika dirinya sedang khusyuk membaca kitab suci Al-Qur'an, dia merasa ada seseorang yang mendekatinya. Dia menolehkan kepalanya ke samping, terlihat jelas seorang laki-laki berperawakan tinggi, dada bidang, kulit sawo matang, mata yang tajam, dan alis yang tebal duduk disampingnya sedang memandangnya membaca Al-Qur'an.
Dia balik memandangnya dengan tatapan kagum. Saat laki-laki itu tersenyum manis ke arahnya. Dia buru-buru memalingkan wajahnya dan mengucapkan istighfar berkali-kali.
Hatinya bergetar hebat, kala melihat tatapan lelaki itu. Ada sebuah perasaan tenang dalam hatinya. Namun segera ia lenyapkan begitu saja. Dia begitu ceroboh kali ini dalam urusan menjaga pandangannya.
Hafidza Khaira Lubna, seorang gadis asal Bukittinggi. Menempuh pendidikan S2 di Al-Azhar University, mengambil jurusan fakultas teknik. Berencana kembali ke tanah air, untuk meneruskan pendidikannya di Indonesia.
Dilihatnya jam pada pergelangan tangan kirinya. Waktu menunjukkan sudah pukul 02.00 dini hari. Suara pengumuman dari speaker sudah terdengar. Para penumpang melangkahkan kakinya menuju lorong untuk masuk ke pesawat, begitu pula dengan Fidza dan laki-laki yang tadi duduk bersamanya.
Fidza mencari tempat duduknya, tepat di samping jendela. Dia meletakkan tas nya di atas kabin. Saat menoleh ada sepasang tangan yang juga sedang menyimpan tas nya.
Fidza terhenyak karena disampingnya adalah seorang laki-laki yang tadi duduk bersamanya. Dia mengucap istighfar berulang kali karena terkejut. Laki-laki itu memandang Fidza aneh, lalu tersenyum simpul.
Fidza yang merasa ditatap oleh lelaki itu pun segera duduk. Dan mengalihkan pandangannya ke jendela menikmati keindahan langit negara Piramida itu.
Sang lelaki pun mengikuti arah pandang Fidza ke jendela. Menikmati suasana hening diantara gemerlapnya bintang yang berhamburan di atas langit gelap.
"Alsama'jamila." Ucap laki-laki itu.
"Hal tatahadath maei?" Tanya Fidza dengan sopan.
"Thuma mae min akhir 'iin lam yakun maeak." Balas laki-laki itu.
" 'iina khaliqat Allah jamilatan balfel."
"Aismi Evander Chloe."
"Aism saeb jiddaan." Fidza mengucapkannya dengan seulas senyum tipis.
"Faqat 'atasil bi Evan." Evan membalas nya juga dengan senyuman yang tulus.
" 'ana Hafidza. yumkinuk alaitisal bi Fidza."Percakapan mereka hanya sebatas memperkenalkan diri masing-masing, tanpa keduanya tahu bahwa hati mereka menginginkan untuk berbicara lebih. Deru mesin pesawat dan angin malam menjadi saksi untuk kisah mereka nanti. Hanya Tuhan yang tahu, apakah akan bertemu kembali atau hanya sebatas teman berbincang dalam perjalanan pulang.
Tak terasa perjalanan panjang yang begitu melelahkan akhirnya usai. Fidza berjalan berdampingan dengan Evan menuju tempat pengambilan koper. Keduanya saling bercengkrama diselingi dengan canda tawa.
"Saya kira kamu bukan asli Indonesia." Ucap Evan
"Saya asli Indonesia, tepatnya daerah Bukittinggi, Van." Sahut Fidza
"Perjalanan mu ternyata lebih jauh dari yang saya kira."
"Memang nya kamu pulang kemana?"
"Rumah." Sahutnya singkat.
"Saya tau maksudnya dimana?"
"Rumahku ditinggal. Terlalu berat kalau harus dibawa." Serunya sambil tergelak.
"Tidak saya hanya bercanda. Saya tinggal di Bandung. Oh ya, ini kartu namaku. Lain waktu mungkin kita bisa bertemu? Mobil jemputan sudah sampai. Saya duluan."Mereka berpisah di ruang tunggu bandara, setelah saling menukar kontak. Evan bergegas menuju mobil jemputan nya dan Fidza mencari keberadaan keluarganya yang ternyata sudah menunggu beberapa meter darinya.
Fidza melambaikan tangannya, memeluk anggota keluarganya satu persatu. Lalu meninggalkan area bandara dengan menggunakan mobil yang keluarganya pakai.
Perpisahannya dengan laki-laki dewasa itu membuatnya sedikit tak ikhlas. Ingin rasanya bertemu kembali lalu saling berbagi cerita. Hatinya sudah nyaman, namun diri menahan demi ketaatannya pada Tuhan.
Dalam hatinya Fidza berharap dan berdoa, bahwa kelak Tuhan akan mempertemukan mereka kembali. Begitupun dengan apa yang dilakukan oleh Evan. Tanpa mereka tahu perasaan nya saling terbalaskan.
---
Assalamualaikum wr.wb
Apa kabar semuanya?
Ini cerita pertama yang saya tulis di wattpad.
Jadi, maaf kalau ceritanya agak absurd :v
Update nya gak tentu ya, karena keadaan jam sekolah yang mendesak disertai tugas menumpuk.
(Maklum author anak SMK):v
Sekian dulu dari author, semoga suka💕
Jangan lupa vote dan comment nya ya:v
Wassalamu'alaikum💗💗
KAMU SEDANG MEMBACA
Mualaf
Teen FictionBeda keyakinan, kepercayaan. Lantas tidak membuat mereka jengah untuk berjuang. Benteng kokoh yang menjulang tinggi sudah siap memisahkan mereka. Akankah kisah mereka berlanjut atau berakhir dengan kata perpisahan?