Intensitas cahaya matahari sudah bertambah. Fidza terbangun dalam keadaan masih terbalut pakaian shalat.
Matanya mengerjap. Fidza segera merapikan mukena dan sajadah nya. Menatap dirinya didepan pantulan cermin besar yang menempel di dinding.
Dirinya harus segera mandi. Setidaknya itu yang sekarang berada dalam pikiran Fidza. Badannya lengket, muka nya terlihat kusut, matanya merah disertai lekukan garis hitam yang sangat kentara terlihat jelas.
Fidza membutuhkan air hangat untuk berendam, menenangkan diri dan pikirannya yang terus menerus diisi oleh sekumpulan rumus-rumus. Membuat otaknya sangat lelah.
Setidaknya air hangat dalam bath tub membuat tubuhnya menjadi lebih rileks. Wangi khas aromatherapy menguar dari badan Fidza.
Sekarang perutnya yang berulah. Cacing-cacing dalam tubuhnya demo meminta asupan makanan. Dengan langkah gontai menuju ke arah dapur. Fidza mencari sesuatu di dalam rak untuk mengisi perutnya yang keroncongan.
Nihil, tidak ada satupun diantara rak, stoples dan kulkas yang menyisakan sedikit cemilan untuk mengganjal perutnya.
Dengan muka tertekuk, Fidza kembali berbaring di sofa menyalakan televisi. Tayangan hari ini tidak ada yang seru, hanya film-film sinetron yang tidak jelas alur nya. Akhirnya pilihannya jatuh pada acara reality show yang membahas tentang politik di Indonesia.
Sungguh membosankan. Tidak ada sesuatu yang bisa ia lakukan. Terlintas dalam pikirannya, Fidza mencari keberadaan benda persegi dengan layar 14" inch.
Fidza menggerakkan kursor dan mulai mengetik sesuatu. Dia akan memulai menjadi seorang freelance sembari menunggu kuliahnya di universitas yang baru dimulai. Mungkin menjadi seorang desain grafis atau penulis lepas membuat waktunya lebih terisi.
Setelah satu jam lamanya Fidza mencari pekerjaan akhirnya dia menemukan lowongan freelance untuk menjadi seorang desain grafis sekaligus penulis lepas.
Untuk mengusir rasa bosan, Fidza membukan akun instagram miliknya. Ada notifikasi, Fidza membukanya. Sebuah akun tak dikenal mulai mengikuti akun miliknya. Ditelusuri nya pemilik akun tersebut. Bagai tersambar petir di siang bolong. Tak ada angin ataupun prediksi hujan terlebih lagi guncangan gempa yang mengakibatkan terjadinya tsunami oleh BMKG. Darimana laki-laki itu mengetahui akunnya.
Fidza mengikuti akun itu. Lalu tak lama kemudian sebuah notifikasi direct messege masuk ke laman instagram miliknya. Fidza merenung bukannya laki-laki itu sudah tahu nomor pribadi miliknya? Tetapi kenapa dia mengirimkan pesan melalui direct messege?
Kepalanya pening memikirkan tingkah naif seorang Evander. Tanpa basa-basi, bukannya membalas direct messege dari Evan, Fidza malah membuka aplikasi whatsapp miliknya. Mengetikkan suatu pesan pada Evan.
Mulutnya berdecak sebal. Apakah laki-laki itu tidak ingat jika mereka sudah saling menukar nomor? Mood- nya dibuat makin menurun. Mungkin otak dan hati nya butuh sinkronisasi. Fidza memilih kembali ke kamarnya, mengambil sebuah sketchbook yang berisi segudang antologi goresan tangan lihainya. Dimasukkannya seperangkat alat gambar lengkap ke dalam tas ransel miliknya.
Fidza meminta izin kepada sang ibu negara selaku pengawas kegiatan dalam dan luar rumah bagi anak-anak nya, tatkala sang suami sedang bertugas. Fidza memilih danau sebagai tempat nya untuk mencurahkan berbagai macam inspirasi yang tertumpuk di otak nya.
Danau Singkarak, masih sama seperti beberapa tahun silam saat dirinya meninggalkan kota yang dijuluki sebagai Parijs Van Sumatera pada zaman kolonial Belanda. Keindahannya masih murni, perbukitan hijaunya terlihat asri. Membuatnya bernostalgia dengan masa lalu. Entah apa yang membuat hati dan pikirannya kalut. Namun, keelokan alam yang Singkarak hidangkan membuatnya menjadi lebih tenang dan mampu mengendalikan pikiran.
Fidza memulai goresan pertamanya. Berawal dari rancangan yang terlihat abstrak, menjadi mahakarya yang memiliki estetika tinggi yang mampu memanjakan mata, seindah danau Singkarak yang ada dihadapannya. Fidza tersenyum puas dengan hasil karyanya. Hari sudah menjelang petang, Fidza memutuskan untuk kembali ke rumah. Khawatir sang ibu sudah menunggunya. Setidaknya Singkarak sudah mengembalikan keadaan pikiran dan hatinya yang kelabu menjadi lebih seru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mualaf
Teen FictionBeda keyakinan, kepercayaan. Lantas tidak membuat mereka jengah untuk berjuang. Benteng kokoh yang menjulang tinggi sudah siap memisahkan mereka. Akankah kisah mereka berlanjut atau berakhir dengan kata perpisahan?