4. Tragikomedi

46 15 0
                                    

Fidza melihat pantulan dirinya sendiri di cermin besar sebuah ruangan gedung pertunjukan Lenggogeni. Hari ini akan menjadi hari yang cukup melelahkan. Jadwalnya tidak terlalu padat, tapi cukup untuk menguras tenaga. Dirinya mengalungkan name tag di leher dan berkumpul bersama panitia lain yang sedang mengadakan briefing.

Terpilih menjadi seorang ketua panitia sebuah pertunjukan seni, menjadikannya sebuah kebanggaan. Bertemu dengan pelukis senior nasional, aktor drama bak oppa Korea, serta bersiap dengan beribu pertanyaan rumit dari pengunjung pameran saat dirinya melakukan presentasi.

Selain menjadi ketua panitia, Fidza juga mengirimkan beberapa karya lukis nya yang dipajang di gedung pertunjukkan. Kemahirannya dalam bidang seni dan teknik membuatnya menjadi seseorang yang dapat diandalkan.

Bagian foyer gedung sudah penuh sesak oleh lautan manusia yang sedang registrasi. Stand makanan sudah berjejer di area food court. Berbagai macam karya seni terpajang rapi. Fidza merapikan kemeja yang dipakainya, lalu berjalan menuju prosenium. Melihat para panitia yang sibuk hilir mudik mempersiapkan acara agar berlangsung tanpa hambatan. Dirinya sibuk menghafal bahan-bahan presentasi dan menyambut pembukaan yang akan dilaksanakan beberapa menit lagi.

Terdengar suara pengumuman dari sound system yang disimpan disetiap ujung gedung. Agar suara si pembicara terdengar jelas di mikrofon ke segala penjuru arah.

"Kepada para pengunjung dipersilahkan untuk memasuki ruangan. Pengumuman ini juga diperuntukkan kepada Hafidza Khaira Lubna selaku ketua panitia, untuk memberikan sambutan pembukaan. Waktu dan tempat dipersilahkan."

Dengan mengucap bismillah, Fidza melangkah menuju area presentasi dengan yakin. Mulutnya komat-kamit membaca do'a agar acaranya dilancarkan.

Selama dua puluh menit dirinya berada dihadapan ribuan orang, kakinya pegal memakai sepatu ber-hak tinggi. Fidza harus segera beranjak ke bagian auditorium untuk menonton sebuah pertunjukkan drama bergenre tragikomedi.

Riuh tepuk tangan menggema di seluruh penjuru arena, kala sang aktor drama memerankan perannya dengan sangat baik. Mereka membawakan drama yang berjudul "The Merchant of Venice" karya dramawan Perancis, William Shakespeare.

Semua penonton terasa dipermainkan dalam drama ini. Haru, sedih, bahagia, semua bercampur menjadi satu. Tak terkecuali dengan Fidza yang ikut dibuat kesal oleh pemeran utama. Tak ayal semua pemeran dalam drama ini sungguh tampil dengan penuh totalitas.

Sebuah kisah pada masa renaissance. Drama yang berlandaskan pada suatu peristiwa sejarah yang nyata. Salah satu drama komedi karya William Shakespeare yang diciptakan pada abad penuh prasangka terhadap semua ras dan agama diluar ras Aria dan agama Nasrani.

Menceritakan tentang seorang rentenir Yahudi yang anti Kristus. Kebenciannya terhadap orang yang menganut agama Kristen sudah mendarah daging dalam dirinya.

Tanpa sadar Fidza meneteskan air mata. Karena adegan-adegan yang ditunjukkan cukup menguras emosi. Sungguh ekspresif, semua penonton berdiri memberikan tepuk tangan yang meriah. Seketika Lenggogeni terasa begitu ramai dari biasanya.

Drama komedi ini tampak seperti rangkaian lukisan renaissance yang penuh warna merah dan roh dipenuhi kabut dan kekelaman. Topi, jubah, dan topeng khas Venesia. Serta gemerlap birunya air sungai yang senantiasa tak pernah meninggalkan elemen puitik itu.

Fidza merasa dirinya hidup pada masa perang dunia II dimana terjadinya kasus Holocaust. Acara yang diselenggarakan olehnya sukses besar. Tidak sia-sia dirinya meminta bantuan pada Evan untuk drama yang ditampilkan di acara pameran yang ia pimpin.

Fidza merogoh saku rok nya dan mengambil benda tipis berbentuk persegi panjang. Lalu menghubungi Evan untuk mengucapkan beribu terimakasih. Fidza tak menyangka jika acara nya akan sesukses ini. Dia tidak mengelak bahwa dirinya terinspirasi untuk tampil lebih beda dari seorang Evander.

MualafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang