7. Alpha et Omega

40 4 0
                                    

Sudah satu minggu Fidza menjalani rutinitasnya sebagai freelance. Dia pikir bekerja sambilan seperti ini tidak terlalu sibuk, nyatanya banyak sekali notifikasi yang membutuhkan pekerjaan nya. Belum lagi agenda kumpul di organisasi seni yang ia ikuti. Memang mau bagaimana lagi, daripada nganggur Fidza memilih menyibukkan dirinya sendiri.

Berbagai tumpukan kertas berisi coretan gambar dan kata-kata tersebar di pojok ruangan kamarnya. Sebuah notifikasi masuk, Fidza menghela nafas. Satu kerjaan belum selesai sudah datang pekerjaan lain. Sebuah perusahaan kecil menawarkan jasa untuknya dengan tawaran harga yang menurutnya lumayan tinggi.

Fidza menimbang-nimbang apakah dirinya harus mengambil pekerjaan itu atau tidak? Akhirnya Fidza mengambil pekerjaan itu dan menyetujui persyaratan nya. List di daftar pelanggan nya bertambah. Fidza segera menyelesaikan order dari perusahaan kecil yang memproduksi makanan.

Dalam waktu 3 jam Fidza sudah menyelesaikan dua pekerjaannya untuk mendesain kemasan makanan dan banner toko. Bungkus cemilan berserakan dimana-mana, Fidza merasa gerah karena setumpuk pekerjaan es jeruknya ia teguk hingga tandas tak bersisa.

"Assalamu'alaikum. Bisa saya berbicara dengan Pak Vincent?" Ucap Fidza kala telponnya tersambung.

"Wa'alaikumsalam, iya dengan saya sendiri. Ada yang bisa dibantu?" Jawab sang klien di seberang telepon sana.

Fidza menyampaikan maksudnya menelpon kliennya tersebut, bahwa pesanannya sudah selesai dan akan segera dia kirim.

Fidza melihat kalender di atas nakas, hari ini ada agenda kumpul rutin mingguan di galeri bersama teman-teman komunitas nya. Jam sudah menunjukkan pukul 11, masih ada waktu satu jam untuk beristirahat sejenak.

Beberapa minggu lagi kesibukannya sebagai mahasiswi teknik juga akan bertambah. Fidza sudah mempersiapkan nya dengan matang tempo hari. Fidza menghela nafas panjang. Tanpa sadar teleponnya berdering, panggilan masuk dari teman komunitas nya untuk segera datang cepat ke galeri.

Fidza dengan secepat kilat mengganti pakaiannya dengan sweater abu dan celana katun coklat dipadukan kerudung motif deenay dan sandal swallow coklat. Fidza tidak suka baju yang terlalu ribet dan memakan waktu lama saat memakainya, wajahnya pun cukup dipolesi bedak bayi dan lipbalm sesuai warna bibir.

Fidza berpamitan pada orang tuanya, mengeluarkan motor matic Vario abu dari garasi dan memasang helm bogo berwarna kuning nyentrik dengan gambar kartun Minions di belakangnya.

Jalanan sangat macet, Fidza dan motornya terhimpit diantara mobil mewah milik konglomerat. Lampu merah menghambat laju kendaraan, tak lama lampu hijau kembali menyapa arah Utara jalanan membuat Fidza menyeka keringat. Suara klakson saling bersahutan, kendaraan saling mendahului, teriakan dan umpatan terdengar dari para pengendara pengguna jalan.

"Hufffttt, akhirnya sampai juga." Fidza mendengus dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam galeri. Disana teman-temannya sudah berkumpul, Azura sahabat kecilnya juga sudah tiba beberapa menit yang lalu.

"Fidza, alah tahukah waang tentang berita gadang ini? pihak galeri ka membuka pameran lagi." Semprot Zura saat Fidza baru saja mendapatkan bokong nya ke sofa.
[Fidza, sudah tahukah kamu tentang berita besar ini? Pihak galeri akan membuka pameran lagi.]

"Sudah, aku dengar dari yang lain. Yang penting aku bukan ketua panitia hehe." Fidza merasa lega karena ternyata bukan dirinya yang terpilih untuk menjadi ketua panitia. Lagi.

Azura memberinya segulung kain seperti fuya. Fidza mengernyit heran, yang ditatap hanya bisa nyengir kuda.

"Keren. Lukisan dalam kain, seperti georelief. Siapa?" Tanya Fidza dengan alis terangkat. Pasalnya tidak ada satupun seniman yang mengirim lukisan dalam bentuk kain seindah ini. Tidak ada nama, tanda tangan atau sekedar inisial dipojok lukisan kain itu.

"Ada deh, RAHASIA. Kemarin Pak Mirza datang ngasih ini buat dipajang di pameran tanpa kasih tau empu yang punya lukisan ini." Cerocos Zura menjelaskan pada Fidza sambil memakan es durian yang dibelinya di perempatan jalan menuju galeri.

"Udah ada informasi atau rapat buat panitianya? Yang aku tahu dari yang lain ketua-nya bukan orang dari kita."

"Kata Pak Mirza ketua-nya masih di rahasiakan. Kalau divisi lain sih udah di tentuin, wakil ketua tetep Arsa dan aku kebagian di divisi publikasi. Kamu harus jadi sekretaris fidz, bareng sama Dian. Soalnya kamu yang paling bisa diandalkan di sini." Ucapnya tak semangat karena harus satu tim bersama sang mantan terindah, membuat Azura harus mengerjakan tugas berdua.

Fidza mengangguk tanda menyetujui dirinya menjadi sekretaris di kepanitiaan kali ini. Toh tidak terlalu susah juga, dirinya sudah mahir membuat laporan. "Move on aja kali mbak. Aku pulang duluan ya, Bunda udah nyariin. Bilang sama Pak Mirza, pameran kali ini aku gak kirim lukisan banyak kerjaan. See you Zura."

***

Fidza menghempaskan tubuhnya ke kasur. Siapa kira-kira ketua pameran kali ini? Kenapa Pak Mirza harus menyembunyikan nya? Fidza mengusap wajahnya dan mendengus kasar.

Perutnya terasa lapar, Fidza beranjak membuka kulkas dan membawa semangkuk salad untuk mengganjal perut. Saat makan pun Fidza masih memikirkan itu.

Daripada penasaran, Fidza memilih membuka gawai nya dan mulai mengetik obrolan dengan Arsa.

Fidza.
Assalamualaikum, Sa.
Saya mau tanya tentang pameran.
Ketua kali ini siapa?

Arsa.
Waalaikumsalam, Fidz.
Pak Mirza belum kasih informasi.
Jangan lupa Minggu depan hadir ya, untuk rapat kepanitiaan. Bareng Pak Mirza juga :)).

Tidak membutuhkan waktu lama, Arsa membalas pesan dari Fidza. Sebenarnya Arsa sudah tahu siapa yang akan menjadi ketua. Tapi, Arsa memilih bungkam kepada Fidza.

Fidza hanya membaca pesan dari Arsa. Fidza merasa semua orang merahasiakan nya tentang ini. Entahlah tunggu saja nanti.

MualafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang