Secangkir kopi hitam tanpa gula ditenggaknya sampai tandas hanya tersisa ampas kopi yang mengendap dibawah cangkir. Asap dari air panasnya masih terlihat mengepul, saling beradu dengan asap yang keluar dari kepalanya. Emosi dan kalut bercampur menjadi satu. Hatinya sedang bermuram durja.
Parasit itu selalu membuat hari-hari nya kacau. Waktu kian berlalu, tak ada yang berubah selama parasit itu terus berada di sisinya. Gairah hidupnya mendadak hilang, pergi entah kemana. Seperti angin yang membawa kenyamanan lalu berhembus pelan, pergi tanpa pamit.
Andaikan waktu bisa berputar, perjodohan ini tak akan ia terima. Dirinya tidak hidup pada zaman Siti Nurbaya. Hati dan otaknya berontak, ingin lepas dari semua kekangan. Betapa bodoh dirinya waktu itu, demi perusahaan, sang ayah rela mengorbankan anaknya untuk bersama wanita yang sama sekali tidak dicintainya.
Pintu ruangannya terbuka begitu saja, menampilkan sesosok wanita berparas ayu mengenakan dress ketat berwarna abu diatas lutut menampilkan betis bening mulusnya, kaki jenjangnya dibalut dengan sepatu ber-hak tinggi, ditambah riasan pada wajah anggun nya. Pakaian yang tidak sopan serta tamu yang tidak sopan pula.
Dengan gerakan refleks, Evan membanting cangkir kopi hingga pecah menimbulkan suara nyaring di ruangannya. Membuat sang wanita terhenyak kaget. Matanya menatap pada si wanita dengan tatapan nyalang serta bengis. Tangannya terangkat tinggi, hendak memukul sang wanita yang sedang menahan air matanya, bibirnya bergetar ketakutan kala Evan ingin melayangkan sebuah tamparan di pipi mulusnya.
Tangannya terulur menggenggam sang wanita. Tak tega melihatnya ketakutan, Evan merentangkan kedua tangannya hendak memeluk si wanita. Dituntunnya wanita itu ke sebuah sofa panjang yang tersedia di ruangannya. Si wanita menangis sesenggukan dalam dekapan dada nya. Rasa bersalah kembali menyeruak dihatinya.
Athena Zephyr. Wanita yang dijodohkan dengan Evan. Anak konglomerat pemilik salah satu perusahaan tambang di Indonesia. Sifatnya bertolak belakang dengan Evan. Manja, pecicilan, beringas, tak tahu malu. Mungkin hanya fisiknya saja yang bisa dipuji terutama oleh kaum Adam.
Evan harus menenangkan Athena, walaupun wanita itu bagai benalu di hidupnya. Tapi, dia juga seorang wanita yang patut ia lindungi. Teringat kata-kata mendiang ibunya. Dengan lembut Evan mengelus puncak kepala Athena, menyalurkan kehangatan serta permintaan maaf.
"Maaf atas perlakuan saya tadi."
"Tidak apa-apa. Sudah kubilang kan waktu itu kalau kamu semakin hari semakin jahat? Tapi aku tetap mencintaimu."
"Lalu, kenapa memakai pakaian yang tidak sopan seperti ini? Tidak biasanya pula memakai baju berwarna abu seperti ini?"
"Sengaja. Dikantormu kan banyak laki-laki, kalau mereka melihatku maka mereka akan terpana dan kamu cemburu karena banyak yang tersipu menatapku."
"Perempuan bodoh. Otakmu pasti kau simpan dan tak pernah kau pakai. Hanya dijadikan pajangan. Pertanyaan satu lagi belum kamu jawab!"
"Aku pakai warna abu menyesuaikan saja. Aku tahu kamu kebingungan. Sekarang lihat langit diatas sana, entah hitam atau putih yang pasti warnanya abu, terlihat kalut dan susah ditebak. Sama seperti kamu susah ditebak. Dan karena sikapmu aku terlihat kalut. Maaf aku terlalu memaksakan diri untuk mendapatkan mu, jangan paksakan hati untuk mencintai jika tak ada arti. Jangan beri aku harapan jika tidak diinginkan."
"Saya mencintai seseorang yang lain, bukan dirimu. Jangan paksakan hatiku untuk mencintaimu, karena sampai kapanpun hatiku bukan untukmu. Lebih baik kita berpisah, sudah tak ada celah untuk kamu masuk di hati saya."
"Eres malvado hazlo a la deriva y luego lanza tan profundo."Athena pergi berurai air mata hatinya perih mendengar pengakuan dari seorang Evander. Bingung, sudah berkali-kali Evan menyakitinya dengan kata-kata pedas, menganggap nya sebagai benalu. Tapi, hatinya selalu berusaha bertahan untuk tetap mencintainya.
Evan memandang Athena dengan senyum tipisnya, tanpa ada niat untuk mengejarnya lalu mengucapkan maaf.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mualaf
Teen FictionBeda keyakinan, kepercayaan. Lantas tidak membuat mereka jengah untuk berjuang. Benteng kokoh yang menjulang tinggi sudah siap memisahkan mereka. Akankah kisah mereka berlanjut atau berakhir dengan kata perpisahan?