Kata orang reuni itu menyenangkan, bisa bernostalgia tentang masa lalu yang tak ada habis nya bersama orang terkasih. Tapi nyatanya tidak semenyenangkan itu.
Bahkan bagi Fidza reuni kali ini malah membangkitkan ketakutan masa lalu yang teramat sakit. Sungguh rasanya seperti mimpi bertemu lagi dengan 'dia'. Inginnya tidak untuk bertemu lagi, tapi sepertinya tuhan berkata lain.
"Assalamu'alaikum. Apa kabar?" Aqlan tersenyum bertanya kabar pada perempuan dihadapannya itu. Sungguh ia teramat rindu pada wanitanya. Menyesal jika mengingat masa lalu tentang kisah mereka berdua.
Fidza ingin sekali mencekik leher laki-laki dihadapannya. Dengan wajah tanpa dosa tersenyum dan menyapa tanpa tahu sakitnya masa lalu yang Fidza hadapi. Entahlah jika mengingat tentang masa itu hatinya sesak, matanya mulai berkaca-kaca ingin menangis meluapkan semuanya dan mencaci laki-laki dihadapannya.
Fidza segera menyeka air matanya, ia tak mau terlihat lemah di hadapan masa lalunya. Fidza menatap Aqlan, laki-laki itu masih sama seperti beberapa tahun yang lalu. Wajah nya masih teduh seperti air wudhu, tapi jika ingat lagi dan lagi pada masa itu citra baik seorang Aqlan hanyalah sia-sia.
"Wa'alaikumsalam. Alhamdulillah saya selalu dalam keadaan baik-baik saja. Terlebih lagi tidak ada kamu di kehidupan saya."
Aqlan yang mendengar jawaban Fidza hanya bisa tersenyum. Wajar saja jika Fidza bersikap seperti itu pada dirinya, kenangan masa lalu memang tak bisa memaafkan dirinya.
"Fidz, proposal sudah selesai kan? Saya mau liat." Aqlan menyodorkan tangannya tanda dia meminta proposal nya.
"Untuk apa? Apa kamu punya hak di pameran kali ini?" Fidza membalas dengan cueknya tanpa tahu Aqlan adalah seorang yang berpengaruh di pameran kali ini.
"Tentu saja saya punya hak Hafidza. Sekarang serahkan proposal itu agar bisa langsung saya serahkan ke pihak galeri." Aqlan berbicara dengan lancar dan jelas tanpa ada keraguan didalamnya, membuat Fidza tersentak dan mendelik malas.
Ternyata semua orang merahasiakan identitas ketua pameran kali ini. Karena, tak disangka curut satu ini lah penyebab nya. Semua anggota sudah mengetahui masa lalu Fidza dengan Aqlan, gara-gara Azura yang waktu itu keceplosan karena suara nya yang terlampau besar saat Fidza bercerita padanya. Maka dari itu, semua orang merahasiakan nya takut jika Fidza mengundurkan dirinya dari kepanitiaan ini.
Fidza menyerahkan proposal nya pada Aqlan. Matanya tak berani untuk menatap mata elang milik lelaki itu, nyatanya sampai detik ini pun ia terlalu lemah jika ditatap seperti itu oleh Aqlan. Lawannya yang menyadari tingkah laku Fidza sedari dulu, jika ditatap seperti itu akan salah tingkah tertawa geli membuat Hafidza malu.
Muka nya sudah merah padam entah malu atau marah. Aqlan memang tak pernah berubah, tak tahu jika perihal hatinya. Fidza menepis semua bayangan masa lalu nya. Kali ini ia harus berlaku profesional.
Fidza teringat sebuah lukisan yang sangat indah beberapa waktu lalu. Lukisan seperti georelief diatas kain lembut. Mungkinkah Aqlan juga yang mengirimkannya? Mengingat Aqlan memang sangat menyukai dunia seni.
Fidza menghela nafas nya berat. Mengapa masa lalu nya yang tak ia harapkan kembali kedatangan nya, sekarang menunjukkan muka dihadapan nya. Aqlan memang semenyebalkan itu. Tapi ketahuilah, Fidza juga merindukan hal yang sama.
"Fidz, kamu sehat? Daritadi melamun terus. Gak usah pikirin aku, karena aku juga gak pikirin kamu. Haha."
Memang sudah sifat dasarnya Azura yang seperti ini, rusuh dan periang. Fidza menatap tajam Azura, sedangkan yang ditatap hanya tersenyum tak berdosa menampilkan deretan gigi nya yang putih.
"Gak usah nyengir ada cabe tuh di sela-sela gigi."
Fidza membalas nya dengan kata-kata yang lumayan menusuk tepat di ulu hati."Ish, jahatnya. Dasar Mak Lampir!"
Azura merajuk membuat orang yang ia tuju menolehkan kepalanya dengan sorot mata yang tajam dan melempar sandal yang ia pakai tepat di punggung Azura, yang membuat mereka tertawa keras."Ehmm. Zura, kenapa kamu merahasiakan semuanya?"
Fidza menetralkan kembali suaranya seperti Fidza yang biasa, terlihat dingin. Azura yang ditanya seperti itu mematung, nafasnya serasa tercekat. Tidak, Azura belum mau mati karena pertanyaan sepele seperti ini.
"Tuhan, tolong Azura belum mau mati. Masih ada kan jatah Azura untuk hidup di dunia fana ini."
Azura bermonolog dalam hatinya seakan tahu apa yang dimaksud dari pertanyaan Fidza, jantungnya sudah berpacu hebat, keringat dingin mulai mengucur di dahi nya. Azura menampilkan sederet giginya bukan untuk tertawa melainkan meringis. Takut jika Fidza akan marah padanya, walaupun ini bukan salah Azura sendiri.
"Aku tidak bermaksud untuk merahasiakannya Fidz. Pak Mirza sudah tahu kan tentang masalahmu dulu dengan Aqlan. Kita cuma gak mau kamu mengundurkan diri dari kepanitiaan jika tahu ketua pameran kali ini adalah Aqlan."
"Tapi tidak usah seperti ini Azura. Kamu seolah-olah tidak tahu apapun, nyatanya? Kamu tahu semuanya."
"Aku tidak tahu kenapa harus Aqlan, Fidz. Semua sudah diatur oleh Pak Mirza. Jadi tanyakan saja pada beliau. Karena aku juga tidak tahu apa-apa dan hanya sebatas tahu tentang ketua kali ini."
Telah terjadi perdebatan sengit antara dua sahabat itu. Aqlan melihatnya dari jauh, ia menyenderkan badannya dibalik tembok masih mendengarkan perdebatan dua wanita disana sembari memejamkan matanya. Ini semua karena salahnya.
Suara perdebatan itu masih berlanjut. Aqlan memilih keluar dari persembunyiannya. Fidza terdiam saat melihat orang yang menjadi bahan perdebatan muncul dan menatap tepat kearahnya, membuatnya langsung bungkam.
Azura yang melihat gelagat Fidza ikut menolehkan kepala nya ke belakang. Azura tak berkutik, hanya bisa menunduk. Aqlan berjalan dengan santainya dan tersenyum menatap Fidza.
"Azura tidak salah, Hafidza. Pak Mirza sendiri yang meminta saya untuk menjadi ketua dan merahasiakannya. Maaf."
Hafidza menangis, tak kuasa untuk menahan air matanya. Kenapa harus Aqlan? Yang jelas-jelas tak mau ia temui lagi. Air matanya tumpah, sekarang Fidza kalah. Dia tidak bisa untuk selalu berusaha kuat di depan masa lalunya.
Hingga akhirnya Azura memeluknya dan ikut menangis, berkali-kali mengucapkan kata maaf dengan lirih. Azura tahu, bahkan sangat tahu apa yang di lalui sahabatnya begitu perih. Aqlan memilih untuk pergi, menunggu Fidza sampai bisa menerimanya kembali. Dan perihal hatinya? Biarlah itu urusannya. Yang diperlukan Aqlan hanyalah ikut menenangkan hati dan pikirannya.
🌹🌹🌹
Assalamualaikum wr.wb🍃
Akhirnya part yang ke-11 ini bisa di update juga:*
Maaf-maaf aja kalau ceritanya gak se-seru yang kalian bayangkan😇
Ini hanyalah sekedar imajinasi dari author sendiri:)
...
Jangan lupa???
VOTE DAN COMMENT nya Zheyenk❣️
KAMU SEDANG MEMBACA
Mualaf
Teen FictionBeda keyakinan, kepercayaan. Lantas tidak membuat mereka jengah untuk berjuang. Benteng kokoh yang menjulang tinggi sudah siap memisahkan mereka. Akankah kisah mereka berlanjut atau berakhir dengan kata perpisahan?