Bab 1

3.7K 151 6
                                    


Shena, seperti biasa, hanya menatap dari jauh. Lewat sela-sela tirai kamarnya.

Pria itu, yang wajahnya selalu terlindung topi.

Pria yang senantiasa berkunjung ke rumahnya. Rutin seminggu sekali.

Awalnya Shena menganggapnya sekadar langganan biasa ibunya. Ia tak terlalu peduli siapa saja tamu ibunya.

Ya, semenjak tahu profesi sang ibu, ia berusaha membutakan mata dan menulikan telinga. Bukan urusannya.

Lagipula ibunya berulangkali menyampaikan harapan, agar Shena tak terjerumus seperti perempuan-perempuan di kampung mereka. Perkampungan khusus tempat persinggahan lelaki penjelmaan hewan buas yang tak pernah puas menyantap yang halal.

Sewaktu mondok di pesantren, kerap kupingnya memerah, hatinya sakit dan perutnya melilit setiap kali ustadz atau ustadzah menjelaskan tentang aturan pergaulan dalam agama dan betapa kejinya zina.

Bukan salahnya terlahir dari rahim kupu-kupu malam. Namun, gara-gara itulah ia berkali-kali menjadi korban bullying. Tak semua orang bisa menerima anak seorang wanita penghibur, bersekolah di pondok pesantren ternama, di kota yang terkenal dengan julukan kota santri. Bahkan segelintir ustadzahnya pun memandang miring. Tak ada santriwati yang berani berteman. Takut tertular. Najis.

Air mata dan kesepian adalah temannya. Ia terkucil dan berkembang introvert. Beruntung ada istri pimpinan ponpes, Ustadzah Naimah, yang tak bosan memotivasi dan memandang positif dirinya. Beliaulah tempatnya berlabuh mencurahkan hati.

Setelah lulus dari pesantren dengan nilai terbaik, ibunya memaksanya melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

"Ibu ingin menebus kesalahan di masa lalu," tutur ibunya sendu. "Ibu tak ingin kau menderita dan menjadi korban karena kebodohan seperti ibu."

Baiklah. Shena patuh dan akan selalu menuruti titah ibu tercinta. Asalkan ibu tidak pergi lagi. Asalkan ibu selalu bersamanya. Tugasnya hanya fokus kuliah sambil membantu pekerjaan di rumah.

Selama kuliah, ia berangkat pulang pergi sejauh 18 kilometer dari rumah ke kampusnya di Banjarmasin dengan matic yang dibelikan ibunya. Belajar tekun, hingga empat tahun berlalu.

Kini ia tengah mempersiapkan skripsi. Berharap bisa lulus sebelum tahun kelima dengan nilai yang membanggakan ibunya.

Dalam rentang waktu itu, hati nuraninya selalu menjerit dan berontak menyaksikan pekerjaan ibu dan kondisi kampungnya.

Namun, seperti saat di pesantren, Shena tak pernah mampu mengungkapkan. Ia memilih menanggungnya sendiri, sampai pada batas, ia kehilangan sensitivitas.

Perkara tabu dan perilaku menjijikkan dianggap wajar, dan menjadi kebiasaan masyarakat di kampungnya. Maka, kebiasaan itulah yang menjadi patokan kebenaran bagi mereka.

Shena lelah untuk menolak. Ia memilih bertahan tak terbawa arus. Berusaha untuk bahagia dengan caranya sendiri.

Akhir-akhir ini, Shena menghitung, sudah enam bulan, rumahnya relatif sepi. Padahal ibunya tergolong paling laris. Hanya lelaki itulah yang datang seminggu sekali.

Shena enggan bertanya. Ia menikmati kebebasannya dari suara berisik tamu-tamu ibunya yang selama ini mengganggu pikiran dan membuatnya muak.

Lelaki itu, setiap kali berkunjung, tak pernah masuk kamar seperti yang lain. Kedatangannya selalu membuat wajah ibu Shena berseri-seri dan matanya berbinar. Jika dia meninggalkan rumah, ibu Shena akan tersenyum-senyum ceria sepanjang hari. Kabut mendung yang menyelimuti mata ibunya sontak sirna.

Belum pernah Shena menemukan ibunya riang melebihi ini. Rumah jadi seolah semarak berbunga. Lalu, hari itu, Shena akan menikmati hidangan istimewa dengan cita rasa bukan khas banua, yang dibelikan lelaki itu khusus buatnya dengan pesan ini dari calon ayahmu.

Suatu hari, ibunya berkata serius.

"Shena, kali ini ibu benar-benar menemukan lelaki baik."

Shena hanya menatap malas dengan mata sipit orientalnya. Apakah ibunya ini tidak jera? Ini sudah yang keempat kalinya Shena mendengarkan hal yang sama.

"Dia berbeda dengan kekasih ibu yang dulu-dulu." Ibu Shena, Sarinah, memandang putri semata wayangnya itu dengan sungguh-sungguh.

Shena tercenung sejenak.

"Dia yang seminggu sekali ke sini, ya, Bu? Yang suka pake topi sampai mukanya ketutup?"

Sarinah mengangguk antusias.

Shena manggut-manggut. Tampaknya ibunya benar. Kekasih ibunya yang dulu-dulu, adalah mantan pelanggan yang kalau berkunjung pasti dapat servis masuk kamar. Beda dengan lelaki ini.

"Memang lebih muda dari ibu. Tapi kata teman-teman, kami serasi." Sinar mata Sarinah berbinar bahagia.

Perempuan itu, di usianya yang ketiga puluh enam, tubuhnya masih singset, kulit kencang kuning langsat dan berparas sangat menawan. Tak memperlihatkan tanda-tanda penuaan. Bahkan banyak yang menilai Sarinah dan putrinya seperti dua orang kakak beradik.

"Ibu sudah tiga kali kecewa. Aku tak tega melihat ibu bersedih untuk yang keempat kalinya." Shena memegang tangan ibunya. Prihatin. Perempuan itu telah banyak menderita. "Aku akan berjuang agar bisa cepat lulus, lalu bekerja yang halal dan mengajak Ibu pergi dari sini."

"Ibu tak ingin membebanimu, Nak. Sudah cukup kesalahanku padamu." Sarinah menatap sendu.

Sesaat, mereka dicekam keharuan.

"Dia ...," Sarinah tampak kembali bersemangat, "menyuruh ibu berhenti bekerja. Bahkan menasehati Ibu agar berpakaian muslimah yang benar. Kita akan keluar dari kampung ini. Kau tak usah kuatir kalau dia akan mengganggumu seperti mantan-mantan ibu yang dulu." Sampai di sini, Sarinah mengepal tinjunya.

Shena menguap bosan. Ia sudah menguasai silat aliran Setia Hati dan rajin latihan. Takkan ada yang berani macam-macam padanya.

"Dia alim, keturunan orang baik-baik dan pengusaha muda yang kaya. Dia juga berjanji akan membiayai kuliahmu setinggi-tingginya, dan kau tak usah pusing mencari kerja." Sang ibu berusaha meyakinkan putrinya.

Shena tak menentang meskipun ia sudah hapal kelakuan ibunya yang mudah terbawa perasaan. Ia sudah membentengi diri dari resiko apapun. Pengalaman pahit masa lalu, cukup menjadi pelajaran. Betapa cinta, pernah mengaburkan mata Sarinah, memutarbalikkan akal sehatnya dan merancukan naluri keibuannya.

Shena sudah kebal menyaksikan perilaku amoral serendah apapun. Hidup di perkampungan PSK, sudah cukup membuat orang normal berubah gila. Bertahan untuk tetap teguh memegang prinsip di tempat seperti ini, merupakan kemampuan istimewa yang melebihi prestasi akademik cum-laude.

"Shena, ibu tidak akan meninggalkanmu seperti dulu."

"Ibu sudah berkali-kali mengulangi itu." Shena tersenyum lembut. "Semua telah berlalu. Shena tidak apa-apa. Shena percaya ibu."

Ya, gadis yang mendewasa melebihi usianya itu benar-benar percaya bahwa ibunya bukan lagi ibu yang pernah tega meninggalkannya.
Bahkan, terlepas dari profesinya, Sarinah serupa harimau betina ganas yang siap menyerang siapapun yang mengincar anaknya, tanpa peduli tubuh sendiri tercabik-cabik.

Ungkapan putrinya menerbitkan kelegaan di hati Sarinah. Bening bola mata lentiknya berkaca-kaca.

"Jadi, kamu setuju?"

"Tentu, Ibu." Shena mengangguk, santai, setengah tak peduli. Ibu hanya butuh penguatan saja. Toh, meski ia tak setuju, seperti yang sudah-sudah, tetaplah semua keputusan di tangan Ibu. Ia juga tak tertarik ingin tahu, siapa si calon ayah yang bahkan bayangan wajahnya saja pun belum pernah melintas di depannya. Padahal, kekasih ibu hampir tiap minggu datang ke rumah.

Dunia tidak akan berubah hanya karena Shena mengenal calon suami ibunya. Gadis itu mengedikkan bahu, tanda tak peduli.

***

Bersambung

CERITA INI TAMAT di KBM APP

Istri Boneka (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang