Bab 5

2K 70 3
                                    

"Gimana?" tanya Mayna seraya melipat tabloid Islami yang barusan dibacanya untuk mengisi waktu luang.

"Sakit, May," jawab Shena sambil menekan-nekan luka bekas tusukan jarum suntik pengisap darah. Wajah baby face-nya meringis. "Hasilnya nanti, sekitar satu jam lagi."

"Ya udah, tidak apa-apa." Mayna malah sumringah. Membuka kembali lembar tabloid yang barusan dilipatnya. Sok serius. Shena jadi curiga. Tak biasanya sepupu bandelnya ini berminat pada tabloid berisi wawasan Islami. Biasanya dia ngomik. Gadis imut ini lalu mengendap seperti kucing mengincar tikus. Tabloid disibak mendadak.

"Wah, sudah kuduga! Kelakuan kamu sejak esempe nggak pernah berubah, ya!" tegur Shena sewot dengan mata membelalak.

"Sst! Kau ini, nggak suka lihat sepupu senang, ya?" Mayna memasang telunjuk di depan bibir sambil nyengir usil.

Shena melipat tangan di atas dada.

"Nggak usah ditutup-tutupin! Kalo baca komik, ya, baca aja!"

"Hi, malu kalo ketahuan sama Kak Zain." Dagu Mayna bergerak ke satu arah. Pemuda bening yang tampak duduk tenang dengan untaian tasbih di tangan.

Oh, jadi namanya Zain? Shena menekan laju lidahnya yang ingin bertanya. Ia tak mau jadi sasaran olok-olok Mayna, anak tunggal uwak Niah yang usilnya minta ampun itu. Gadis lincah yang memilih berkarir sebagai tukang warung ketimbang kuliah.

"Duduk sini," ajak Mayna sambil menepuk-nepuk bangku di sampingnya. Lalu melanjutkan kekhusukannya baca komik manga di balik tabloid Islami.

Shena geleng-geleng kepala. Baru saja ia duduk, terdengar nama Zainuddin dipanggil. Pemuda di depannya berdiri. Mayna menurunkan tabloidnya, nyengir sedikit. Pemuda itu tampak tersenyum geli sebelum memasuki ruang administrasi laboratorium untuk mengambil hasil pemeriksaan. Tak berapa lama kemudian, ia keluar menenteng selembar kertas.

Shena sedang asyik dengan gawainya tatkala tahu-tahu pemuda itu sudah berdiri di depan dirinya dan Mayna.

"May, kakak duluan, ya."

"Eh, eh, iya, iya, Kak Zain, silakan." Mayna tergagap-gagap saking kagetnya. Komik manganya sampai jatuh.

Zain melirik sekilas komik yang sudah terkapar di lantai. Lantas berlalu tanpa komentar apapun.

Shena membeku di tempatnya. Ah, serasa terlempar ke tempat yang asing saat sosok tadi berada tepat di depannya. Wangi apelnya mengusik pernapasan Shena.

"Shena, namamu dipanggil tuh! Bengong aja! Gara-gara ketemu Kak Zain, ya?" ledek Mayna, asal-asalan.

Shena gelagapan. Bergegas berdiri mengambil hasil pemeriksaannya. Kertas berisi hasil pemeriksaan darahnya itu lalu diserahkan ke dokter poli umum untuk dibaca.

"Tes DBD, Malaria dan Tipes negatif semua. Jadi mungkin demam kamu karena flu. Memang kadang ada jenis flu yang mengakibatkan panas lebih dari dua hari. Saya tidak memberikan antibiotik, ya. Obat penurun demam dan vitamin sudah cukup. Kamu makan buah dan minum air putih yang banyak," saran Dokter Yudi dengan ramah.

"Terimakasih, Dok," sahut Shena lega. Gadis manis berkerudung coklat dan gamis tosca ini lantas meninggalkan ruangan poli umum dengan perasaan lebih longgar.

"Syukurlah bukan DBD." Mayna ikut lega.

Mereka kemudian melangkah ke tempat parkir. Mata Mayna berbinar menyaksikan keramaian pasar di depan puskesmas kecamatan.

"Kamu mau ke pasar?" tegur Shena.

"Pengen sekali. Tapi kamu 'kan lagi sakit." Raut muka Mayna tampak agak kecewa.

"Udah agak baikan, kok." Shena tersenyum, meski sebenarnya tubuhnya masih agak meriang. Ia tak ingin mengecewakan Mayna. Pasar kecamatan hanya berlangsung seminggu sekali. Lagipula mereka jarang ke kecamatan, karena letaknya cukup jauh dengan kampung mereka.

"Beneran?" Mata bulat Mayna berputar-putar lucu.

Shena mengangguk. Tanpa bertanya dua kali, Mayna langsung menggaet lengan Shena, dan diseret ke pasar sambil tertawa-tawa.

Diam-diam Shena melempar pandangan ke tempat parkir. Sosok yang ingin dilihatnya, ternyata tak ada di sana. Mungkin sudah pulang. Ah, kenapa terasa ada yang hilang? Seolah-olah ia telah lama mengenal pemuda itu. Apakah ia pernah berjumpa dengannya di masa lalu? Apakah mereka pernah berteman sebelumnya?

***

Matahari mendaki semakin tinggi. Hampir menggapai puncak langit. Hawa panas menyungkup pasar mingguan di ibu kota kecamatan siang itu.

Shena agak lemas karena terpaksa mengiringi Mayna yang tampaknya lupa kalau sepupunya belum sembuh total. Gadis lincah itu kalap mengelilingi seisi pasar. Bahkan tak sekedar melihat-lihat. Setiap bertemu teman, ia berhenti lalu ngobrol tak jelas ke sana ke mari. Membiarkan Shena yang mulai keringatan, lelah dan gelisah.

"Shena, kerudung yang ini cakep, ya. Aku mau! Kamu mau juga? Yuk, kita beli!" ajak Mayna antusias. Namun saat ia menarik tangan Shena, dirasakannya tubuh sepupunya bergeming. Ketika ia menengok, ia menyaksikan paras bening itu memucat. Tangan Shena juga dingin.

"Shena, kamu tidak apa-apa?"

Shena hanya membisu. Kepalanya terasa berputar. Perut mual. Pandangannya menguning. Berkunang-kunang. Kabur. Lalu gelap. Gelap menghantu. Suasana di sekelilingnya mendadak sunyi. Ia tak mendengar lagi suara teriakan orang-orang tatkala menyaksikan tubuhnya roboh ke belakang. Jatuh terkulai menimpa pemuda yang lewat tepat di belakangnya.

***

Cerita ini sudah tamat di KBM App.

Versi Pdf only 55K

Istri Boneka (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang