Bab 3

2.7K 88 1
                                    

Kilas balik 14 tahun silam.

Walaupun selalu tampil kumal dan dekil, paras Shena yang menakjubkan tak bisa disembunyikan. Usianya saat itu baru enam tahun, tapi tanda-tanda bahwa kelak ia akan menjelma menjadi seorang gadis yang sangat cantik, begitu menonjol terlihat. Bibir merah mungil, kulit putih dan mata sipit dengan iris kelamnya sangat oriental, khas Asia Timur. Banyak yang mengira kalau anak ini keturunan Tionghoa, Jepang atau Korea. Semua mata selalu tertarik pada anak itu, kemana pun ibunya membawa.

Keelokan rupa ini tak mengherankan, karena ibunya memang sangat menawan, tapi dengan garis yang berbeda dengan Shena, sehingga Shena tampak unik.

Shena tinggal berdua saja dengan ibunya di salah satu petak rumah dinas yang dihibahkan pambakal (kepala) desa. Petak rumah mereka bersebelahan dengan petak rumah Uwak Masniah, kakak dari ibu Shena. Sekat antar petak hanya dibatasi dinding triplek tipis. Akibatnya, suara meninggi atau keras sedikit saja langsung terdengar. Khas rumah petak.

Anak itu berkawan akrab dengan Mayna, putri tunggal Masniah yang terpaksa yatim di usia lima tahun.

Jika ibu Shena pergi untuk bekerja membantu-bantu orang di warung, maka Shena akan bermain-main sendirian sampai Mayna pulang sekolah. Terkadang Sarinah, ibu Shena, pulang menjelang senja.

Shena bercerita pada Masniah dan Mayna, bahwa ibunya pernah mengajaknya pergi naik pesawat yang bentuknya seperti burung raksasa. Lalu menumpang mobil besar, tapi masih kalah ukurannya dengan pesawat. Namanya bus. Perjalanannya lama sekali. Dari pagi, siang, sore, malam dan sampai ke pagi lagi.

Mata Mayna membulat. Ia belum pernah naik pesawat, apalagi bus. Ia takjub mendengar ada mobil yang saking besarnya, sampai-sampai bisa makan, tidur dan buang air di situ.

Shena melanjutkan ceritanya lagi. Setelah perjalanan yang sangat lama itu, mereka turun di terminal. Lalu naik ojek menempuh jalan setapak menanjak yang tidak bisa dilewati mobil. Mereka juga menyeberang jembatan yang tergantung di atas sungai berarus deras. Samar-samar Shena juga melihat bayangan air terjun. Itu pengalaman menakjubkan baginya.

Akhirnya mereka tiba di sebuah kampung yang sangat asing. Dikepung gunung dan hutan rimba. Di sepanjang jalan perkampungan, beberapa orang menyapa ibunya, menanyakan siapa Shena. Tapi ibunya diam saja. Malah berjalan lebih cepat sambil menyeret Shena. Tak peduli akan rengekan lelah putrinya.

Mereka tiba di sebuah rumah yang berkali lipat lebih besar dari tempat tinggalnya sekarang. Kata ibunya, ini namanya rumah balai.

Bukannya disambut dengan pelukan rindu atau sapaan ramah, ibunya malah dihujani dengan hardikan oleh penghuni rumah. Shena kaget dan ketakutan.

Orang yang tampak paling banyak rambut putihnya, menggampar muka ibunya hingga terjerembab.

Shena menjerit. Menangis. Apa salah ibunya, yang susah payah membawanya hingga ke tempat ini? Yang Shena tangkap, orang-orang itu menikamnya dengan kalimat dasar anak haram.

Seorang perempuan tua bersimpuh, meratap menyesali kesalahan ibunya.

"Harusnya tak kuizinkan ikam (kamu) merantau ke banua urang. Di sini, sesakit-sakitnya hidup, ikam tak akan mati kelaparan. Untuk apa mengikuti orang asing, kalau akhirnya begini."

Lalu kakek yang rambutnya putih semua, berteriak dengan mata melotot. Atas nama adat, Shena dan ibunya harus pergi. Itulah perjalanan jauh terakhir mereka sebelum akhirnya menemui Masniah yang kerap dipanggil Uwak Niah. Perempuan tua yang welas asih.

Awalnya Shena tak kenal siapa Uwak Niah. Lalu ibu memberitahu bahwa Uwak Niah adalah kakak dari ayah Shena. Kemudian gadis kecil itu diperlihatkan foto ayah oleh Uwak Niah, yang seumur-umur belum pernah diperkenalkan ibunya. Waktu itu, Shena mendongak, memandang ibu penuh tanya dengan mata beningnya yang polos.

Apakah orang yang selama ini bersama mereka, kemudian mereka tinggalkan, bukanlah ayah?

Ibunya hanya mengangguk meyakinkan dengan senyum kecut.

Lalu Mayna berkomentar.

"Shena, kau tidak mirip ayah atau ibumu."

Shena bingung. Apakah seorang anak harus mirip ayah atau ibunya? Shena ingin tahu. Ia memandang wajah Mayna dan Wak Niah berganti-ganti.

"Kau lebih cantik," hibur Uwak Niah, menindas rasa ingin tahunya.

Setelah terusir dari kampung halaman, Shena dan ibunya tinggal rumah petak kumuh bekas rumah dinas yang tak terpakai, tepat bersebelahan dengan petak rumah uwak. Dan ibunya tak pernah membawa Shena kemana pun lagi.

Shena pendiam dan pasif. Hanya sesekali mengucapkan sesuatu, itu pun tak dihiraukan orang. Pandangan sinis senantiasa terhunjam kepadanya. Cemoohan anak haram, sudah serupa musik harian di telinganya. Ibu-ibu di kampung ini melarang anak-anaknya bermain dengan Shena. Hanya Mayna yang mau berteman dengannya. Mungkin karena Mayna merasa senasib. Sama-sama tak punya ayah.

Suatu hari, ibunya pergi tanpa pamit. Tak kembali selama bertahun-tahun. Sejak saat itu, Shena seperti anak yatim piatu.

***

Bersambung

CERITA INI SUDAH TAMAT DI KBM APP

Istri Boneka (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang