Aroma asing menyengat hidungnya. Bau alkohol bercampur bau obat yang sangat dibencinya. Shena mengernyitkan keningnya. Refleks kepalanya berpaling untuk menyingkir dari bau tidak nyaman itu. Matanya dibuka perlahan. Masih kabur. Kepalanya seakan berputar-putar. Tubuh terasa berbaring di atas gelombang yang terayun naik turun.
"Shena, kamu sudah sadar?" Suara cemas Mayna mengusiknya.
Gadis imut itu mengangguk lemah. Perlahan, pandangannya menjadi terang. Sinar matanya bertabrakan dengan dinding putih. Lalu langit-langit ruangan yang juga putih.
"Aku di mana?" bisiknya khawatir.
"Di ruang instalasi gawat darurat puskesmas, Shena. Kamu tadi mendadak pingsan di tengah pasar. Maafkan aku, ya," ungkap Mayna dengan rasa bersalah.
"Hah, apa? Gawat darurat?" Shena melonjak duduk. Nyeri sekonyong-konyong menusuk-nusuk kepala. Mulutnya sontak meringis.
Seorang perawat dengan sigap membantunya berbaring kembali. Lalu menyuntikkan cairan obat penahan nyeri melalui selang infus yang terpasang di tangan kiri Shena.
Rasa sakit kepala Shena berangsur-angsur berkurang.
"May, aku mau pulang sekarang."
"Kata dokter, kamu harus istirahat dulu, Shen. Sampai tekanan darahmu normal. Tadi tensi darahmu drop sekali. Makanya jadi pingsan."
"Aku tidak apa-apa." Shena tampak gugup. Keringat dingin menetes di dahinya.
"Tadi waktu mau kuajak ke pasar, kamu bilang baik-baik aja, tidak taunya pingsan. Sudahlah, Shen, kalo sakit, ya, sakit aja, jangan sok kuat. Turuti kata dokter!"
Terdengar langkah kaki mendekat. Shena menoleh. Deg. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Pemuda itu?
"Minum teh manis dulu." Pemuda itu menyodorkan secangkir teh hangat dan sebungkus nasi. "Sudah siang, mungkin Shena drop karena belum makan siang. Ini sudah hampir jam tiga sore."
Dia tau namaku? Batin Shena. Pasti Mayna yang ngasih tau.
"Ah, sudah jam tiga? Aku belum sholat Zuhur. Aku mau pulang saja!" Shena bersikeras.
"Minum dulu dan makan sebentar, Shen!" cegah Mayna.
"Tolong lepaskan infusnya, Bu!" Shena melirik perawat.
"Habiskan dulu satu botol infus, ya, Dek," sahut si perawat, ramah. "Ini instruksi dokter."
"Tapi saya mau pulang sekarang, Bu Suster," protes kecil meluncur dari bibir mungil Shena. "Saya ingin istirahat di rumah saja!" tegasnya.
Mayna tampak saling pandang dengan Zain. Putri Uwak Niah itu lalu mengedikkan bahunya. Ia paham, Shena paling tak suka berurusan dengan tempat bernama puskesmas atau rumah sakit.
"Bu, saya kakaknya. Mohon dilepas saja infusnya. Adik saya sudah sadar, jadi biar istirahat dan minum obat di rumah saja." Zain berkata dengan sopan.
Shena menatap Zain, agak keberatan. Adik? Bisa-bisanya pemuda ini mengaku-ngaku sebagai kakaknya.
Perawat terlihat ragu sebentar.
"Saya sampaikan ke dokter dulu, ya. Berarti nanti kalian harus menandatangani surat pernyataan pulang atas permintaan sendiri. Kalau ada apa-apa setelah keluar dari sini, berarti di luar tanggung jawab kami."
"Baik, Bu," sahut Zain.
Perawat berlalu.
Shena berpaling cepat saat tiba-tiba Zain menatapnya.
"Saya akan memanggilkan becak motor. Nanti motor Shena, biar dibawa Mayna. Shena pulang naik bentor, ya," katanya dengan nada tak bisa dibantah. Kemudian ia meninggalkan ruangan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Boneka (TAMAT)
RomanceRE-PUBLISH "Aku belum pernah menemukan seseorang yang bisa membuatku mencintai senekat ini." Zain melanjutkan kisahnya dengan napas lebih longgar. Rasanya lega setelah mengungkapkan isi hatinya secara terbuka. "Karena itulah ... aku tak sanggup mema...