Bab 8

1.3K 56 3
                                    

Malam itu, sepeninggal keluarga Julak Tukacil, rumah Wak Niah menggelap. Mati lampu.

Shena menekuri terjemah kitab suci Al Qur'an dengan penerangan lampu semprong. Barusan dihayatinya Surah Ar-Rum ayat 21.

Siapkah dirinya untuk menerima tanggung jawab lebih?

Jika ia mengaku belum siap, mampukah ia mengingkari desir indah yang malu-malu mengaliri bilik jantungnya? Perasaan aneh yang muncul saat menyebut nama atau membayangkan paras bening Zain.

Entah apa yang menggerakkan, di luar sadarnya, kepala indah gadis ini menggeleng.

Tahu-tahu bahunya ditepuk pelan. Shena tersentak.

"Maafkan, Uwak."

Bayangan Uwak Niah buram di tengah kelap-kelip api lampu semprong yang suram,  sesuram air mukanya.

"Uwak dan Mayna sempat sedih dan tersinggung karena mengira kamu tak mempercayai kami, tega merahasiakan hal sepenting ini. Padahal kami satu-satunya keluarga terdekatmu."

Serasa ada batu terangkat dari dada Shena. Terjawablah pertanyaan di hatinya, penyebab mengapa seharian tadi sikap uwak Niah dan Mayna berbeda.

"Iya, Wak. Saya sendiri benar-benar baru tahu. Ibu tak pernah cerita." Shena menunduk lemah.

"Kamu tidak suka, ya?"

"Sejujurnya saya khawatir, Wak. Bagi saya, pernikahan itu menakutkan."

"Itu karena kamu melihat kenyataan yang rusak." Wanita setengah baya itu terduduk muram.

Untuk sesaat, mereka membisu. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Dengar." Uwak Niah membuka kembali pembicaraan. Melembut dan murung. "Sebenarnya uwak pun kurang setuju kalau kamu cepat-cepat menikah. Karena kuliahmu belum lulus. Sayang sekali jika kamu berhenti kuliah di tengah jalan."

Shena mengangguk pelan. Ia sepakat dengan jalan pikiran uwaknya.

Perempuan setengah baya dengan rambut mulai memutih itu menghela napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Terlebih lagi, Uwak kurang begitu suka dengan keluarga itu."

Shena menegakkan kepalanya. Menatap ingin tahu.

"Julak Tukacil itu sepupu almarhum uwakmu, ayah Mayna. Dia yang paling keras mengusirku dari rumah keluarga besar setelah  ayah Mayna meninggal. Makanya aku heran, kenapa mereka tahu-tahu datang ke rumah ini. Bahkan menyatakan kalau ayahmu yang jelas-jelas adik Uwak, pernah menjanjikan ikatan jodoh dengan putra mereka. Ini sukar dipercaya. Bahkan, ayahmu itu belum pernah ....," Wak Niah menahan ucapannya.

Shena hampir tertahan napas.

"Ada apa dengan ayah, Wak? Belum pernah apa ...?"

Uwak Niah nampak gelengkan kepalanya. Wajahnya semakin gelap. Ia menelan lanjutan kalimatnya, mengubahnya ke masalah lain.

"Apakah kau sudah menelepon ibumu?"

"Sudah, Wak, tapi seharian ini tak tersambung. Ponsel ibu tidak aktif."

Uwak Niah menggelengkan kepala.

"Ibumu itu ...." kalimat perempuan tua itu menggantung. Kelihatan kecewa bercampur putus asa. "Entah kapan berubahnya."

"Ibu sudah berubah, Wak." Shena berusaha meyakinkan uwaknya. "Lebih sayang padaku dan tak pernah lagi meninggalkanku."

Uwak Niah menatap iba. Gadis polos ini, pikirnya. Terlalu memuja ibunya.

Sekilas bayangan ibunya Shena, berkelebat di benak Masniah. Sarinah memang memiliki kelebihan. Selain sangat cantik, dia ahli membuat orang jatuh kasihan dan mengabaikan kesalahannya.

Istri Boneka (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang