Bab 4

2.2K 80 5
                                    

Matahari melayang ke seperempat langit. Sinar hangatnya menimpa daun-daun di pohon jambu depan sebuah puskesmas kecamatan. Sesekali angin berembus membelai tirai-tirai ruangan di puskesmas itu. Cukup menyejukkan kulit, meresap hingga ke hati Shena yang berdiri gugup menanti panggilan pemeriksaan di depan ruangan laboratorium.

Sebenarnya, dari dulu ia paling anti berobat ke bangunan serba putih bernama puskesmas atau rumah sakit. Segala yang berbau obat dan suntikan, selalu membuatnya kernyitkan kening dan menutup hidung untuk menekan mual. Perasaan ini sama seperti seseorang yang enggan naik mobil karena suka mabuk di perjalanan. Jangankan menaiki mobil, melihat mobilnya saja sudah mau muntah.

Akan tetapi hari ini, ia terpaksa, terpaksa sekali. Kalau bukan karena demam tinggi dua hari terakhir, ditambah desakan Mantri Saberan karena banyaknya korban jatuh akibat serangan demam berdarah di kampungnya, maka takkan ia sudi menginjak puskesmas ini.

Mantri Saberan memvonisnya terkena gejala penyakit menyedihkan itu, sehingga untuk memastikan, Shena harus menjalani pemeriksaan darah di laboratorium. Saran itu tak bisa ditawar-tawar lagi. Uwak Niah yang telah mengasuhnya sejak berusia enam tahun, sampai panik dan mengancam-ngancam jika Shena berkeras tak mau periksa.

Sungguh liburan yang menyedihkan.

Namun, ya, sudahlah. Siapa bisa menolak datangnya sakit? Harusnya ia bersyukur, sakit menimpa pas libur kuliah. Coba kalau bertepatan musim ujian? Susah 'kan? Sekarang ia harus ikhtiar berobat kalau ingin cepat sembuh dan menyempatkan menikmati liburan dengan badan sehat. Akan tetapi pertama-tama, ia harus pastikan dulu apa penyakitnya.

Maka Shena pun mengalah pada desakan uwaknya. Di sinilah dia sekarang.

Beruntung ia datang lebih pagi, sehingga berhasil menggondol urutan ketiga. Jadi tak menunggu terlalu lama.

Antrian mengular panjang di belakangnya menuju loket. Maklum saja, hari ini hari pasar kecamatan. Angkot pedesaan hanya beroperasi pada momen ini, menuju pelosok-pelosok. Kesempatan bagi orang desa menuju ibukota kecamatan untuk berbagai keperluan. Termasuk berjual beli di pasar.

Tiba-tiba, satu sosok dengan wangi apel yang menyenangkan, melintas di samping Shena. Menunduk dan lewat dengan cepat begitu saja. Gadis berkerudung coklat itu hanya sempat menangkap sekilas cahaya wajahnya yang bersih.

Tangkapan impuls indra penglihat spontan terkirim ke syaraf otot jantung Shena, hingga ritmenya meningkat di luar kuasa.

Gadis ini tertegun, memegangi dadanya. Biasanya dia berdebar jika sedang ketakutan saat mati lampu mendadak di tengah malam buta. Debar yang sama ketika menghadapi ujian sidang proposal skripsi di tengah todongan pertanyaan dosen pembimbing. Atau tatkala pertama kali menginteraksikan tentang ide Islam Kaffah kepada ibu dosen Ilmu Psikologinya yang galak tapi selalu berpenampilan Islami.

Aneh sekali kalau sekarang dia berdebar hanya karena melihat paras pemuda itu. Sama sekali tidak ada sesuatu yang harus ditakuti. Atau membuatnya tegang. Lagipula, Shena sama sekali tidak mengenalnya. Jadi mengapa ia berdebar?

Ini adalah satu jenis perasaan yang belum pernah dimiliki seorang Shena. Si kutu buku yang hobi nulis, suka belajar dan jarang absen dari depan laptop kecuali untuk makan, minum, sholat, kuliah dan kegiatan LDK di kampusnya.

"Shena, namamu sudah dipanggil dua kali, tuh! Mikirin apa, sih?" Mayna, sepupu Shena, menyikut lengannya perlahan.

Shena tersentak. Pipi kemerahan. Bergegas memasuki ruang laboratorium.

Istri Boneka (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang