Shena mematikan laptop karena pikirannya sudah tak konsentrasi lagi. Waktu sudah hampir lewat tengah hari. Ia ingin membantu Uwak Niah di dapur untuk menyiapkan makan siang. Selepas dzuhur, Mayna akan menutup warung di depan rumah dan ikut makan.
Namun, siang ini, Wak Niah tak ada di dapur. Di meja sudah tersaji makan siang. Cepat betul. Tak biasanya. Padahal uwak selalu memanggil Shena, jika Shena ada di rumah, untuk membantunya.
Kenapa Uwak Niah kali ini menyiapkan sendiri? Ah, mungkin karena tak ingin memberatkan Shena yang sedang sakit. Tetapi, jika benar begitu, setidaknya uwak mengajaknya makan siang bersama, bukan?
Shena menepis keheranannya. Lalu mengetuk pintu kamar uwaknya yang tertutup rapat.
Mayna membuka pintu. Matanya memerah seperti habis bangun tidur. Tapi Shena yakin, Mayna tidak tidur, karena tadi pagi gadis itu berjaga di warung. Tentunya ini baru pulang. Hanya saja Shena mungkin tak mendengarnya datang.
"Makanan sudah siap di meja. Kau makan saja sendiri." Suara gadis itu, yang biasanya ramah dan ceria, kini terdengar dingin di telinga Shena.
"Apakah uwak sakit?" tanya Shena cemas.
Mayna tak menyahut. Menyeka sudut matanya.
"Ada apa, May?" Shena mencoba menjenguk ke dalam kamar dengan hati tak enak.
"Hanya butuh ketenangan." Mayna agak sinis. Sikapnya seolah menganggap kedatangan Shena mengusik ketenangan mereka.
Shena berusaha menekan kebingungannya. Mayna menutupkan pintu dengan cuek. Membiarkan gadis sipit itu berdiri gamang.
Siang itu hening. Wak Niah maupun Mayna, tak keluar dari kamar. Sungguh tak biasa. Shena tak habis pikir. Mengapa dua orang itu hari ini kompak mendiamkannya. Seolah dirinya orang asing
Namun ia segan mengusik. Mungkin uwak dan kakak sepupunya itu butuh waktu menyendiri. Batinnya mencoba memahami.
Shena mulai mengevaluasi diri. Ia akui, semenjak kuliah, empat tahun terakhir ini, ia memang jarang berkunjung. Enam bulan sekali baru mudik ke rumah Uwak Niah. Sebab harus fokus pada kuliah supaya cepat lulus dan tak membebani ibunya.
Wajar saja jika Uwak Niah dan Mayna tak melibatkan dirinya lagi dalam persoalan keluarga. Mungkin mereka tak ingin mengganggu pikirannya. Ah, ia jadi merasa bersalah.
Gadis mungil yang senantiasa berhijab ini, kehilangan nafsu makannya. Memilih kembali menekuni literatur untuk skripsi di dalam kamarnya. Menekan rasa ingin tahu sekaligus rasa tak nyamannya. Mudah-mudahan persoalan keluarganya bisa reda sendiri.
Menjelang maghrib, ia berpapasan dengan Mayna di tempat wudhu.
"May ...."
Mayna melengos. Tak mengacuhkan Shena. Terus saja berwudhu, lalu masuk kamar lagi. Uwak Niah juga begitu. Membiarkan Shena terbengong-bengong.
Pelan-pelan, airmata gadis itu runtuh. Belum pernah ia diperlakukan seperti ini oleh dua orang terdekatnya. Rasanya sungguh menyedihkan.
Ia tumpahkan pilu gelisah di atas sajadah.
***
Selepas isya, terdengar suara derum mobil memecah keheningan kampung dan berhenti tepat di halaman depan rumah Wak Niah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Boneka (TAMAT)
RomanceRE-PUBLISH "Aku belum pernah menemukan seseorang yang bisa membuatku mencintai senekat ini." Zain melanjutkan kisahnya dengan napas lebih longgar. Rasanya lega setelah mengungkapkan isi hatinya secara terbuka. "Karena itulah ... aku tak sanggup mema...