Bab 2

3.1K 94 2
                                    

Pada hari berikutnya, sebuah mobil sedan termewah yang pernah dilihat Shena, meluncur memasuki perkampungan. Lalu parkir persis di depan halaman rumahnya.

Shena mengagumi kilau metalic sedan tersebut. Namun hanya sebatas itu. Tanpa minat untuk mengetahui siapa penumpangnya. Paling-paling itu tamu biasa. Pelanggan ibu yang mengejar kenikmatan terlarang.Demikian mahasiswi FKIP jurusan Biologi ini berpikir.

Kali ini, model mobilnya tampak keluaran terbaru. Mungkin tamu yang datang ini pejabat teras atau pengusaha bonafid. Apapun status tamu itu, penampilannya pasti tak jauh-jauh dari sosok om-om kaya berperut buncit dengan parfum menyengat, dandanan perlente dan sok kemuda-mudaan.

Shena yakin, setelah tamu itu pulang, besoknya ibu akan memamerkan isi tabungan yang bertambah beberapa digit ke kawan-kawannya.

Tak dinyana, dugaannya meleset.

Orang yang keluar dari mobil keren itu ternyata sama sekali bukan lelaki apalagi om berperut buncit. Melainkan seorang wanita dewasa yang menawan. Membuka pintu mobil dengan anggun. Langkah tertata feminim. Mengenakan kerudung sutra terjulur hingga lutut, dihiasi manik-manik perak. Gamisnya berbahan sifon lavender elegan. Cincin emas berbatu mulia yang menghiasi jari jemarinya, berkilau-kilauan memantulkan cahaya matahari sore. Pergelangan tangannya dilingkari gelang emas setebal gelang hiyang yang pernah dilihat Shena di tangan balian batandik, sewaktu ia KKN di Loksado.

Sarinah, ibu Shena, menyalami sampai terbungkuk-bungkuk saking hormatnya pada wanita itu.

Shena, hanya mengintip sedikit dari balik tirai jendela kamarnya yang menghadap ke pekarangan rumah. Lalu, acuh tak acuh, menutupkan kembali tirai itu. Tak penasaran. Meski tamu wanita seperti ini tergolong langka, bahkan bisa dibilang, belum pernah muncul sebelumnya di kampung ini. Bukan urusannya. Sikap ini sudah lama ia tanamkan pada diri, demi kenyamanan hati.

Belasan perempuan di perkampungan yang seprofesi dengan Sarinah, berdesakan masuk ke halaman rumah. Menampakkan wajah takjub dan kepo.

Wanita itu jelas golongan kelas atas. Sejenis sosialita. Raut wajahnya yang cantik walau telah mengalami proses penuaan, sekilas jijik dan tak bersahabat. Sekelebat, tatapannya dingin, sinis, merendahkan.

"Silakan masuk, Bu." Sarinah, ibu Shena berusaha luwes dan menampilkan keramahan. Menyembunyikan desir gugup di jantungnya.

Wanita elegan itu terdiam sejenak, agak ragu. Tapi kemudian kakinya dilangkahkan memasuki rumah. Gerakannya luwes dan anggun. Kilat enggan melintas di mata bagusnya. Kentara sekali ia berusaha mengendalikan suasana hati dan menjaga sikapnya.

Sarinah mempersilakannya untuk duduk di sofa. Kemudian menyibak sedikit gorden pembatas ke ruang tengah. Menyuruh Shena membuat minuman untuk tamu.

Saat duduk di sofa ruang tamu, sikap wanita anggun itu berubah. Senyum yang ditebarnya nampak ramah.

"Kudengar, putraku sering berkunjung kemari." Suara merdu aristokrat mengalun lembut.

Ibu Shena, Sarinah, tersipu campur gugup. Pipinya merona merah, membuatnya tampak kian bersinar.

Kecantikan itu menambah dingin tatapan tamunya.

Sarinah menekan ketegangan yang meremangkan bulu kuduknya.

Saya tutup dulu pintunya, ya, Bu, katanya untuk meredam hasrat teman-temannya yang berjejalan di luar, ingin ikut masuk.

Mereka serempak ber "huu" karena merasa kehilangan sumber gosip hangat demi sensasi.

"Saya Sarah, ibunya Zen,ungkap tamu wanita itu memperkenalkan diri. Lemah lembut.

Sarinah sudah pernah melihat foto ibu Zen. Namun setitik pun tak terbersit di hatinya kalau ibu dari kekasihnya akan berkunjung kemari. Zen memang sering bercerita tentang Sarah, dan menyampaikan bahwa sewaktu-waktu ibunya akan berkunjung. Akan tetapi Sarinah tak pernah ingin mempercayainya. Tak berani pula berharap. Sebab, walaupun Zen mengungkapkan keseriusan setinggi langit, belum tentu keluarga Zen menerimanya.

Oleh karena itu, Sarinah surprise juga menerima kedatangan ibu Zen sore ini. Diam-diam sedikit menggerutu dalam hati. Mengapa Zen tak memberinya kabar terlebih dulu, supaya dia sempat bersiap-siap. Minimal menyiapkan mental.

Wanita itu, Sarah, sedikit mengangguk dengan tatapan sedih.

"Anak tunggalku itu belum pernah kelihatan tertarik pada seseorang. Padahal usianya sudah matang, tuturnya. Jadi, aku sangat terkejut mendengar kabar ini," ungkapnya, dengan ekspresi tak berdaya.

Serasa ada angin dingin menyapu tengkuk Sarinah. Ia sadar, cepat atau lambat akan berhadapan dengan kondisi seperti ini.

Tepat pada saat itu, Shena keluar untuk menghidangkan minuman dan makanan penganan. Kepalanya menunduk saja ketika meletakkan cemilan dan menata gelas di atas meja.

Ketika tanpa sengaja mengangkat muka, ia menjadi risih oleh tatapan penuh selidik. Tamu wanita itu mengamatinya dengan ketertarikan yang tak disembunyikan. Memindai dari atas sampai ke bawah. Seolah-olah ia barang langka yang sedang ditaksir harganya.

Shena jadi agak minder dan kurang nyaman. Apakah ada yang salah dengan penampilannya? Ia memang hanya berkerudung dan gamis abu-abu sederhana. Tak ber-make-up seperti ibunya. Polos apa adanya.

Ini putri saya.Sarinah memperkenalkan dengan dada mendesir tak enak. Kuliah di keguruan, sebentar lagi skripsi. Nilai-nilainya selalu yang terbaik, lanjutnya, sedikit membanggakan, sekaligus ingin menunjukkan, bahwa meskipun kehidupannya dinista, putrinya sangat berharga. Seorang kupu-kupu malam tak mustahil memiliki putri yang berprestasi.

Sarah memajukan sedikit posisi tubuhnya.

"Jadi, ... ini gadisnya?" Wanita itu berkomentar antusias.

Sarinah tersentak. Hampir tak berani bernapas. Paras cantiknya memucat dan ekspresinya memburuk.

Shena hanya memandang tamu ibunya dengan tatapan lugu sambil membenahi sedikit letak kerudungnya.

Sarah mengulurkan tangannya pada Shena untuk bersalaman dengan tatapan tak percaya. Gadis berusia dua puluh tahun itu menyambut dengan takzim lalu mencium tangannya sebagai tanda penghormatan kepada yang lebih tua.

Sekali-kali, berkunjunglah ke rumah kami. Sarah melempar senyum manis pada Shena. Ekspresinya ramah dan tulus. Kontras dengan awal kedatangannya.

Hati Sarinah tergigit. Perasaan yang tak diinginkan hadir begitu saja. Bercampur dengan kebanggaan seorang ibu terhadap putrinya.

Sedangkan Shena, untuk sesaat, jantungnya serasa dicengkeram kengerian yang tak dimengerti.

"Saya pamit pulang." Sarah tiba-tiba beranjak bangkit. Seolah-olah pantatnya baru saja tertusuk duri. "Niat saya untuk melihat calon menantu sudah terlaksana. Pembicaraan selanjutnya lewat telepon saja. Maaf, tak betah berlama-lama di sini."

Kalimat itu diucapkan dengan nada lembut namun menusuk. Walaupun Shena bisa memahami kekurangnyamanan wanita borju itu, tetap saja hatinya tenggelam.

Sedangkan Sarinah hanya mengangguk. Lidahnya karam. Tenggorokan terasa disekat paku berkarat. Tubuh pun kaku dingin. Tak sanggup bangkit untuk mengantar tamunya ke depan pintu.

Shena bingung menyaksikan paras pias ibunya. Ada apa?

Semenjak kepulangan tamu itu, Sarinah menjadi lebih pendiam. Ketika Shena coba mengorek, ibunya malah bungkam, menjauh dan menutup diri.

Akhirnya Shena memutuskan untuk mendiamkan saja. Kalau didesak, ia kuatir ibu malah marah. Biarlah ibu menyimpannya sendiri dulu. Mungkin ibu butuh waktu untuk menjernihkan pikiran. Lagipula ia harus fokus menyelesaikan skripsi.

***

Bersambung

TAMAT di KBM App.

Istri Boneka (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang