Sebenarnya tak cukup dua hari bagi Sarinah untuk memulihkan rasa terkejut di jantungnya. Kalau bukan karena memikirkan Shena yang pasti akan mengkhawatirkannya, maka sudah lama ponsel dibuang jauh-jauh. Maka, daripada Shena pulang ke Banjarmasin, menuntut penjelasan yang akan membuat urusan tambah runyam, maka ia paksakan diri untuk mengaktifkan gawainya kembali.
Terlihat hampir seratus kali panggilan tak terjawab dari Shena pada pemberitahuan ponsel.
Malam itu, tangannya gemetaran sendiri kala putrinya tiba-tiba kembali menelepon. Sarinah menguatkan hati. Lalu menjawab panggilan Shena.
"Ibu, apakah Ibu sakit? Mengapa teleponnya tidak aktif? Ada apa, Ibu?" Shena gencar menanyakan. Cemas. Ia tak tahan jika terjadi sesuatu pada ibunya.
"Tidak apa-apa, Sayang." Sarinah berusaha sedapat mungkin agar suaranya tidak terdengar parau setelah menangis hampir dua hari dua malam. "Hape Ibu hanya rusak, ini sudah diperbaiki," bohongnya.
"Oh, begitu."
Sunyi sejenak. Sarinah mendengar suara napas ditarik. Putrinya sedang gundah.
"Bagaimana?" Ia berinisiatif menanyakan duluan.
"Jadi betul, Julak Tukacil dan Sarah sudah bicara dengan Ibu? Mengapa Ibu tidak mengabariku lebih dulu?" tuntut Shena.
Sarinah meneguk ludahnya.
"Apakah kau tidak suka dengan pilihan Ibu?"
Hening.
"Dia calon suami yang baik dan pantas untukmu, Nak." Lidah Sarinah pahit dan jantungnya serasa disapit kepiting saat mengucapkan hal ini.
"Kata julak, ayah pernah menjodohkan kami sewaktu bayi."
Keringat dingin mengucur di pelipis Sarinah. Ingatannya terlontar begitu saja pada kejadian seminggu yang lalu.
Sarah, wanita bermobil mewah dengan penampilan sucinya, datang tiga bulan kemudian.
"Aku sangat menyukai putrimu. Izinkan kami melamarnya untuk Zen."
Permintaan itu disampaikan dengan arogan. Telak merontokkan jantung Sarinah.
Akhirnya apa yang ditakutkan Sarinah, terjadi juga. Tiga bulan lalu, sepeninggal Sarah, Zen tak bisa dihubungi. Ponselnya selalu nada sibuk. Sarinah hampir-hampir putus asa. Jantungnya dililit kekhawatiran. Jangan-jangan Zen belum bercerita mengenai hubungan mereka, sehingga Sarah salah paham. Ia ingin memastikan Zen meluruskan kesalahpahaman ini.
Malangnya, Zen tidak merespon telepon dan sms, juga tidak memberitahu ibunya. Jika Sarah tahu, tak mungkin perempuan itu bermaksud menyampaikan pinangan untuk Shena. Atau ... boleh jadi Sarah pura-pura tidak tahu karena kurang setuju pada pilihan hati putranya.
Sarinah serasa ingin menangis sekaligus tertawa di saat yang bersamaan. Menangisi kegagalan dan menertawakan kenaifannya.
"Setelah ditelusuri, ternyata kita kerabat, Sarinah." Sarah tersenyum manis, kontras dengan sinar matanya yang menyiratkan kebencian. "Kau ipar Masniah, istri dari almarhum kerabat kami. Putrimu sempat dibesarkan olehnya. Tampaknya akan sedikit bermasalah jika Masniah mengetahui status Zen."
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Boneka (TAMAT)
RomanceRE-PUBLISH "Aku belum pernah menemukan seseorang yang bisa membuatku mencintai senekat ini." Zain melanjutkan kisahnya dengan napas lebih longgar. Rasanya lega setelah mengungkapkan isi hatinya secara terbuka. "Karena itulah ... aku tak sanggup mema...