Aroma klorofil menyeruak masuk ke indra penciuman perempuan yang sedang duduk memangku sebuah buku bertuliskan Makrokosmos.
Suara nyaring terdengar dari handphone yang sedari tadi berbunyi. Tertera nama si pemanggil, namun sang empunya tampak tak berniat untuk menjawab.
Sudah tiga hari Hafsa mendiamkan Tias, ia merasa bersalah. Seharusnya Hafsa tidak kekanakan seperti ini. Toh memang Tias tidak salah, sepertinya memang Hafsa yang terlalu berlebihan. Selepas Dzuhur nanti, Hafsa akan berbicara kepada Tias.
Diraihnya handphone yang sedari tadi berdering, lalu Hafsa membaca pesan masuk dari Manggala. Setelah menerima permintaan Prof. Karwaki beberapa waktu lalu, keduanya menjadi kerap bertukar pesan namun tidak dalam frekuensi yang terlalu sering.
Hafsa masih gugup dibuatnya, entah sampai kapan ia akan merahasiakan identitas aslinya kepada Manggala. Ia merasa malu mungkin? Karena diam-diam kedapatan menyimpan nomor pribadi seseorang tanpa permisi terlebih dahulu. Tapi sepertinya bukan itu yang menjadi alasan utamanya, lebih tepatnya Hafsa merasa kembali berdebar seperti beberapa tahun lalu.
Dua jam lebih ia duduk disini, ditemani daun mapel yang perlahan berguguran. Penelitiannya sudah berjalan enam puluh persen, dua minggu lagi ia dan Manggala akan mempresentasikannya.
Satu pesan masuk, dari Manggala. Ia meminta Hafsa menemuinya sore ini di kantin kampus. Lalu Hafsa menyetujuinya.
Sepertinya rencana Hafsa untuk menemui Tias siang ini harus tertunda.
Hafsa beranjak meninggalkan taman kota, ia akan pulang dulu ke wohnungnya untuk membersihkan diri dan menunaikan sholat dzuhur.***
Manggala baru saja menyelesaikan kelasnya sepuluh menit yang lalu. Ia mengambil handphonenya lalu mulai mengetikan sesuatu disana.
Setelah menunggu beberapa saat ia kembali mengecek handphonenya. Hafsa menyetujui untuk menemuinya sore nanti. Manggala merasa tidak asing dengan rekan sepenelitiannya itu. Namun jika dipikir-pikir sebelumnya mereka belum pernah bertemu dan untuk apa Manggala merasa tidak asing?
"Manggala ada seseorang yang mencarimu." Clara berjalan dari arah luar.
"Siapa Clar? Apakah kau mengenalinya?" Jawab Manggala pada teman satu kelasnya itu.
"Aku belum pernah melihat dia sebelumnya, tapi wajahnya seperti orang Asia. Mungkin ia teman setanah airmu Manggala." Ucap Clara menerangkan.
"Ahhh.. Baiklah terimakasih Clar, saya akan menemuinya.."
'Apa mungkin itu Sari? Tapi saya memintanya untuk menemuiku sore nanti.' Lanjut Manggala dalam hati.
Manggala beranjak dari kursinya, ia penasaran siapa orang berwajah Asia yang mencarinya itu. Sesampainya di bibir pintu Manggala terkejut ternyata yang mencarinya adalah Trixia.
"Hallo Manggala, aku sudah menunggumu dari tadi pagi. Namun aku harus sedikit bersabar karena dosen yang memberikan kuliah di kelasmu membuatku harus menunggu agak lama." Terang Trixia panjang lebar.
"Ohh hai Trixia, ternyata kamu. Ada apa menemuiku? Apa ada yang bisa saya bantu?" Ucap Manggala tanpa basa basi.
"Kau memang bukan Lelaki yang pandai berbasa-basi ya.." Kekeh Trixia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dipenghujung Penantianku
RomantikArsamanggala seorang dokter muda yang cerdas tak pernah memikirkan bahwa mengikhlaskan akan menjadi sesulit ini. Kepergiannya ke Hamburg Jerman untuk melanjutkan studi membuatnya bertemu dengan seorang perempuan berhijab yang taat pada agamanya. Aka...