Bagian 5

46 3 1
                                    

Burung-burung berkicau merdu, daun-daun berguguran jatuh mengenai rerumputan hijau yang berembun.

Hafsari baru saja selesai melaksanakan sholat duha tatkala dering handphonenya berbunyi dari arah balkon wohnungnya.

Diraihnya benda persegi berwarna gold itu, lalu ia menempelkannya di antara bahu dan telinganya.

"Waalaikumsalam..." Jawab Hafsari kepada orang di sebrang sana.

"......"

"Baik aku menunggumu di wohnungku, karena hari ini aku tidak berencana untuk pergi kemana-mana." Tutup Hafsa mengakhiri pembicaraan.

Hari ini hari minggu, Hafsari tidak akan pergi ke kampus. Ia memutuskan untuk bersih-bersih di wohnungnya saja. Perempuan yang sedang mengenakan jubah hangat itu mulai merapikan ranjang tidurnya, lalu beralih ke deretan buku-buku dan mulai membersihkannya dengan kemoceng bulu ayam yang repot-repot ia bawa dari Indonesia.

Tidak lupa Hafsari menyusun buku-buku yang baru saja ia beli kemarin, disimpannya buku berjudul The Alchemist karya Paulo Coelho di deretan novel-novel miliknya.

Sejak dulu Hafsari memang gemar sekali membaca, buku apa pun itu jika isinya menarik pasti akan ia baca. Namun ada beberapa buku yang tak di sukai Hafsari, salah satunya adalah buku politik. Entah mengapa Hafsa tidak terlalu menyenangi dunia politik.

Setelah dirasa buku-buku kesayangannya tertata rapih, ia kemudian membersihkan pernak-pernik yang ada di atas meja belajarnya. Tak ketinggalan photo-photo yang menggantung di dinding pun ia bersihkan.

Photo dengan frame putih tulang berhasil menarik perhatian Hafsa. Diraihnya frame itu, lalu seulas senyum tergambar di wajahnya. Photo tersebut di ambil bertepatan dengan hari wisudanya di Universitas Diponegoro satu tahun yang lalu.

Dalam photo itu ada empat senyum yang berbeda. Ayah, ibu, Hafsa dan juga mbakyu kakak perempuan Hafsari.

Seulas senyum di wajahnya perlahan kian memudar, buru-buru Hafsa meletakan frame photo itu ke tempat semula.

Hafsari sampai lupa bahwa ia belum sarapan, sebagai seorang ahli gizi ia paham betul bahwa sarapan merupakan komponen yang amat penting. Ia beranjak menuju dapur lalu membuka lemari yang menempel di dinding, mencari bahan makanan untuknya sarapan. Namun nihil oats yang biasa ia santap untuk sarapan sudah habis. Tak apa pikirnya, hari ini Hafsa akan sarapan dengan buah dan sekotak susu segar saja.

Ia membuka kulkas, terdengar helaan nafas putus asa. Hafsa lupa membeli bahan-bahan makanan. Saking sibuknya dengan tugas kuliah dan penelitiannya dengan Manggala, Hafsa jadi melupakan hal-hal seperti ini.

Dengan langkah gontai Hafsari berjalan ke arah ruang tengah yang hanya berjarak beberapa meter dari dapur kecil miliknya. Ia melirik jam yang menggantung di atas televisi.

'Baru jam delapan lewat tiga puluh' gumamnya.

Ia memutuskan untuk pergi ke supermarket yang tak jauh dari wohnungnya. Setelah berbenah diri dan mengenakan jilbabnya Hafsari kemudian pergi dengan jubah hangat yang masih ia kenakan.

                                ***

Manggala tergesa-gesa memasuki lift yang sebentar lagi akan tertutup. Ia menahan pintu lift itu dengan ujung sepatunya agar tetap terbuka.

Jika saja ia telat beberapa detik, maka Manggala harus menunggu beberapa saat. Manggala kurang suka menunggu, itu membosankan pikirnya.

Pintu lift terbuka ketika Manggala baru turun satu lantai. Nampak seorang perempuan memasuki lift dengan pandangan menunduk lurus ke lantai. Manggala seperti mengenalnya, dan benar saja ketika perempuan itu mengangkat kepalanya, mata keduanya bertemu.

Dipenghujung PenantiankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang