Happy Reading,
Jangan lupa di vote ya! :)Deretan buku-buku tersusun begitu apik. Disebelah rak buku yang tidak terlalu tinggi menggantung sebuah frame foto yang membingkai potret seorang perempuan berwajah ayu.
Hafsari mengambil frame itu lalu mengusap permukaannya lembut.
"Mbak yu, apa kabar? Hafsa rindu." Tanya Hafsari pada ruang kosong disekelilingnya.
Tak ada jawaban, karena memang lawan bicaranya hanya sebuah frame.
Hembusan nafas Hafsari terdengar begitu dalam dan berat. Air matanya jatuh menetes membasahi frame yang sedang dipangkunya.
Ditaruhnya kembali frame itu ketempat semula, lalu ia beranjak ke balkon duduk menikmati senja yang perlahan menghilang.
Hafsari mengingat kejadian minggu lalu, ketika seseorang meneleponnya, tak ada lagi kemajuan atau pun harapan lainnya. Semuannya kembali kosong seperti biasannya.
"Apa yang harus saya harapkan dan saya tunggu? Itu tidak akan pernah terjadi." Ucapnya dalam hati.
Ia terlalu putus asa, tidak seperti biasanya detik ini Hafsari menjadi sangat kecewa.
Digapainya buku karya Khalil Gibran yang berada di meja lalu ia mulai menyelami setiap kalimat di dalamnya.
Namun gagal.
Fokusnya tak bisa ia dapat sepenuhnya. Hafsa memutuskan untuk meminta Tias datang menemuinnya.
Ia butuh sahabatnya itu untuk mendengarkan semua kegundahan yang sedang Hafsa rasakan.Pesan untuk Tias tak jadi di kirimkan oleh Hafsa, ia tidak mau merepotkan sahabat baiknya itu. Sudah cukup Hafsa membuat Tias kerepotan selama dua tahun terakhir ini.
Hafsa merasa rendah diri dan merasa ia bukan sahabat yang baik untuk Tias, selama ini ia banyak bercerita pada Tias, namun ia belum pernah sama sekali mendengar Tias bercerita padanya.
Ia kembali menangis kali ini terasa begitu pedih, Hafsa mempertanyakan apakah Tias selama ini menganggapnya sebagai sahabat seperti Hafsa menganggap Tias sebagai sahabat baiknya.
Entah mengapa akhir-akhir ini ia merasa sangat buruk, merasa sangat tidak berguna untuk semua orang, merasa bahwa apa yang ia nantikan tak kunjung datang menghampirinya.
Air matanya terus menetes membasahi hijab yang ia kenakan. Kali ini Hafsa hanya ingin menangis sepuasnya sampai batu besar yang mengganjal di dalam hatinya hancur terkikis oleh suara kepedihan yang tak tersuarakan.
***
"Baik profesor saya akan datang menemui anda besok." Manggala menutup sambungan telepon dari Prof. Karwaki.
Prof. Karwaki meminta menemuinya untuk membicarakan beberapa hal, Manggala bangkit dari kursi yang didudukinya sejak berjam-jam lalu. Manggala membenahi barang-barangnya lalu beranjak pulang.
Handphonenya kembali berbunyi, dilihatnya pesan masuk ke emailnya. Dari subjeknya ia dapat mengetahui apa isi pesan itu.
"Undangan pernikahan.." Gumamnya dalam hati. Ditutupnya pesan itu lalu Manggala memasukan kembali kedalam saku celananya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dipenghujung Penantianku
RomansaArsamanggala seorang dokter muda yang cerdas tak pernah memikirkan bahwa mengikhlaskan akan menjadi sesulit ini. Kepergiannya ke Hamburg Jerman untuk melanjutkan studi membuatnya bertemu dengan seorang perempuan berhijab yang taat pada agamanya. Aka...