Manggala baru saja pulang dan merebahkan dirinya di sofa ruang tamu. Kejadian di kedai sore tadi cukup membuatnya sulit untuk fokus berpikir. Terbayang wajah Hafsa yang menangis karena perkataanya membuat Manggala kecewa pada dirinya sendiri.
Ia tak dapat berpikir rasional ketika melihat Hafsa bersama lelaki lain. Ingin rasanya detik ini juga ia datang ke wohnung Hafsa namun itu rasanya tidak mungkin karena hari sudah terlalu malam.
Manggala beranjak dari tempatnya duduk menuju kursi yang ada di balkon, ia butuh udara segar dan oksigen berlebih untuk menenangkan pikirannya yang sedang kacau.
Direbahkannya tubuh lelahnya, ia mulai memejamkan mata dan menyelami alam mimpi. Baru beberapa saat Manggala terlelap telinganya mendengar sayup-sayup suara perempuan dari bawah balkonnya.
Awalnya ia tak menghiraukan karena Manggala pikir mungkin tetangganya yang sedang berbicara. Namun semakin jelas percakapan itu masuk ketelinga Manggala dan ia sedikit terkejut ketika suara percakapan yang ia dengar menggunakan Bahasa Indonesia.
Akhirnya Manggala mendengarkan percakapan itu, rasa ingin tahunya semakin dalam ketika ia mendengar nama Hafsari di sebut.
Dari percakapan dua perempuan di bawah balkonnya, Manggala dapat menyimpulkan bahwa itu adalah suara Hafsari dan suara seseorang yang tak ia kenali. Manggala tidak terlalu kaget karena sejak awal ia tahu bahwa dirinya dan Hafsari tinggal di bangunan yang sama. Namun ia merasa heran mengapa wohnungnya dapat berdekatan dengan Hafsa dan baru hari ini ia menyadarinya.
Manggala semakin merasa bersalah pada Hafsari setelah mengetahui bahwa yang menjadi topik pembicaraan dua perempuan di bawah balkon wohnungnya adalah dirinya.
Detik ini ia ingin sekali menemui Hafsari, namun hari sudah sangat larut. Besok juga tidak mungkin karena Manggala harus ke Berlin menemui Pak Anwar.
***
Hafsari terbangun karena ketukan di pintu wohnungnya, ia mengerjapkan matanya menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Dilihatnya jam yang menggantung di dinding menunjukan pukul delapan lewat seperempat, ia terlonjak kaget. Hari ini ia harus memgikuti kelas tepat pukul sembilan pagi nanti. Empat puluh lima menit lagi ia sudah harus sampai di kampus.
Hafsa berlari ke kamar mandi secepat kilat, ia menyesal karena tidur lagi setelah sholat subuh. Hafsa kemudian buru-buru mengenakan pakaiannya, ia memilih jilbab secara acak tanpa memedulikan apakah warnanya sesuai dengan bajunya atau tidak.
Buku, alat tulis dan laptop ia masukan ke dalam ransel. Hafsa berjalan cepat menuju arah pintu, tiba-tiba ia berhenti karena melihat sebuah amplop tergeletak begitu saja di bawah pintu.
"Amplop dari siapa?" Pikirnya.
Tanpa pikir panjang, amplop itu ia simpan diantara tumpukan buku yang berada di meja yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia buru-buru mengunci wohnungnya dan lari menuju lift.
Dari balik tempatnya bersembunyi, Manggala memperhatikan gerak-gerik Hafsa. Ia berharap semoga perempuan itu mau memaafkannya.
***
Bus yang ditumpangi Hafsari baru akan sampai lima menit lagi. Jam di tangannya sudah menunjukan pukul delapan lewat limapuluh menit. Ia cemas takut kesiangan. Hafsari mencoba menelpon Tias namun tidak ada jawaban. Ia lalu mengirimi sahabatnya pesan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dipenghujung Penantianku
RomanceArsamanggala seorang dokter muda yang cerdas tak pernah memikirkan bahwa mengikhlaskan akan menjadi sesulit ini. Kepergiannya ke Hamburg Jerman untuk melanjutkan studi membuatnya bertemu dengan seorang perempuan berhijab yang taat pada agamanya. Aka...