Bagian 9

30 4 0
                                    

Denting jarum jam menemani sore Manggala. Ia di landa bosan karena tidak ada aktivitas yang harus di lakukannya. Jam menunjukan pukul tiga lewat empat puluh. Manggala beranjak dari duduknya lalu meraih dompet dan jam tangannya.

Ia akan pergi melihat-lihat Hamburg sore ini, lagi pula Manggala ingin menghabiskan sisa harinya disini dengan sesuatu yang berbeda.

Manggala mulai berjalan menyusuri bangunan-bangunan tua bernuansa putih. Ia berdecak kagum karena baru menyadari bahwa Hamburg begitu mempesona jika dinikmati sore hari seperti ini.

Deretan toko-toko mendominasi penglihatan Manggala. Banyak sekali toko kue dan roti di sekitar sini. Wangi roti yang baru di angkat dari pemangganagn menyeruak masuk ke indera penciuman Manggala.

Saraf-sarafnya bekerja menerima rangsang dari aroma roti dan kue, mengirimkannya ke pusat kendali tubuh. Perut Manggala lapar di buatnya. Namun bukannya mampir ke salah satu toko kue dan roti, kaki Manggala malah terus melangkah ke persimpangan jalan.

Dilihatnya sebuah kedai es krim, Manggala tertarik untuk mampir. Rasa-rasanya ia belum pernah memakan es krim selama di Hamburg ini. Kakinya terus melangkah menuju kedai es krim tersebut.

Suara lonceng terdengar ketika ia membuka pintu kaca bertuliskan selamat datang dalam bahasa Jerman, ia menyapu seluruh sudut ruangan. Matanya menangkap sosok perempuan yang tak asing baginya sedang menundukan kepala.

"Hafsari..." Gumamnya.

Ia berjalan menghampiri meja perempuan yang mengenakan baju pastel itu. Langkahnya sedikit tertahan ketika Manggala menangkap sosok lelaki di hadapan Hafsari. Entah mengapa hatinya mendadak panas, ini mungkin karena Manggala sedikit kecewa pada Hafsari. Karena yang ia kenal Hafsari adalah wanita yang kurang suka berduaan dengan lelaki yang bukan mahramnya.

Manggala sadar bahwa orang dapat berubah, tak terkecuali Hafsari.

"Hafsari.." Ucapnya yakin pada perempuan yang sedang menundukan kepalanya itu.

Hafsari yang sedari tadi mengetahui kedatangan Manggala bingung dibuatnya harus berkata apa. Ia mengangkat kepalanya lalu menatap Manggala ragu.

Belum sempat Hafsa menjawab panggilan lelaki yang mengenakan kemeja hitam itu, Manggala kembali bersuara.

"Saya tidak mengira seorang Hafsari yang dianggap wanita shalehah oleh teman saya Atmaja, kini sedang berduaan dengan lelaki yang bukan mahramnya." Kata Manggala.

Hafsa terkejut dengan kalimat yang di lontarkan Manggala, lelaki yang sejak dulu dan sampai detik ini masih ia sukai. Ia tak menyangka Manggala akan berucap demikian. Hatinya perih teriris oleh setiap kata yang diucapkan Manggala.

"Apa maksudmu mas?" Ucap Hafsa lirih, air matanya yang sedari tadi ia tahan akhirnya menetes jua.

"Saya hanya tidak menyangka, ternyata kamu bukan hanya perempuan yang tidak jujur tapi kamu juga dengan mudah menghancurkan kepercayaan sahabat saya terhadap dirimu. Kasihan sekali Atma menganggapmu sebagai perempuan sholeha tapi nyatanya kamu berani berpegangan tangan dengan lelaki yang bukan mahrammu Hafsari." Kata Manggala tanpa memikirkan perasaan perempuan yang sudah tak dapat menahan air matanya.

Hafsari tidak dapat berucap lagi, hatinya terlalu sesak. Tenggorokannya tercekat hingga membuatnya sulit menjawab kalimat dan tuduhan Manggala terhadapnya. Ia merasa tertampar atas apa yang di ucapkan Manggala, Hafsa tak habis pikir mengapa lelaki itu dapat berucap demikian. Air matanya menetes kian deras membasahi ransel yang sedari tadi ia remas.

Dipenghujung PenantiankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang