Donny melempar tas ranselnya ke kasur. Kamarnya masih berantakan, dan ia tahu itu. Seharusnya tadi pagi ia membereskannya dulu sebelum berangkat sekolah. Tetapi karena hampir telat berangkat, ia tak sempat merapikannya. Bukannya malas, Donny adalah anak yang sangat rajin di bidang apapun.
Jam dinding menunjukkan pukul setengah 6 sore. Wajahnya terlihat sangat lelah, seperti habis menjadi kuli bangunan. Keringat hampir menjamahi seluruh tubuhnya. Harus mandi, pikirnya saat itu. Ia melangkah ke belakang pintu kamar lalu mengambil handuknya, dan menaruh handuk berwarna hijau tuanya di bahu kanannya.
Ketika hendak keluar kamar untuk pergi mandi, ia dikagetkan oleh ibunya yang sudah berdiri di balik pintu tersebut.
“Habis latihan?” Tanya ibunya dengan singkat tanpa ekspresi. Donny sudah mengetahui keadaan ini akan berujung ke mana.
“Iya bu ...” Suara dari Donny melemah setelah ditanya seperti itu oleh ibunya. Ia sempat ingin menundukkan kepalanya, tapi ia tak sempat karena ibunya melanjutkan omongannya yang menjurus ke arah serius.
“Nak ... Dengan kamu masuk perguruan tinggi negeri, itu saja ibu sudah senang nak,” ibunya meletakkan kedua tangannya di atas kedua sisi bahu Donny. Tatapan mata sang ibu terlihat nanar. Siapapun yang ditatap seperti itu pasti ikut merasakan apa yang ia rasakan.
“Ibu sayang sama kamu nak. Ibu hanya menginginkan yang terbaik buat anak ibu,” lanjutnya.
Setelah percakapan itu, Donny segera mandi dan kembali ke kamar untuk membereskan tempat tidurnya yang hampir seperti kapal pecah.
🎺
Tiba-tiba malam sudah mewarnai langit. Tidak terasa. Donny belajar matematika di meja belajarnya ditemani beberapa buku kimia dan fisikanya yang telah tertumpuk rapi.
Dari jam 7 sampai jam 10, ia belum selesai juga menutup buku. Ia masih berkutik dengan soal-soal matrix dan fungsi limit. Menurutnya, matematika seperti takdir hidupnya. Semua soal yang diberikan gurunya selalu bisa ia jawab dengan sempurna. Bahkan ia kerap kali mengajarkan guru matematikanya karena selisih pemahaman.
Jam 10 malam begini pasti seluruh anggota keluarganya sudah tertidur lelap. Ditambah lagi udara malam ini yang sangat mendukung untuk tidur dengan nyaman.
Donny akhirnya menutup semua buku pelajarannya dan menyiapkan buku pelajaran yang besok akan dibawa. Saat ia sedang memasukkan buku-buku tersebut ke dalam tas ranselnya yang berwarna merah terang, tangannya menyentuh selembar kertas yang berada di dasar tasnya. Apaan nih? Dalam hatinya.
Ia mengambil kertas tersebut dan baru sadar bahwa itu adalah surat undangan lomba marching band yang sebentar lagi diikuti MBGF. Ia tertegun. Sekelebat ucapan ibunya tadi sore muncul di dalam kepalanya.
“Ibu hanya menginginkan yang terbaik buat anak ibu.”
Ia menoleh ke arah ujung meja belajarnya. Di situ terdapat foto MBGF angkatan Donny. Di dalam foto tersebut mereka semua tersenyum memperlihatkan gigi mereka dengan bangga. Tak sadar karena pikirannya jatuh terlalu dalam ke momen di mana foto tersebut di ambil, ternyata dari tadi sudah terukir senyuman tipis di ujung bibir Donny.
Ia harus memilih. Antara marching band atau masa depannya. Waktu latihan dan waktu les bimbelnya sering kali bentrok. Ia sudah terlalu lelah dan malu untuk izin tidak latihan pada Fichrian. Belum lagi Donny adalah bagian dari BPH dari Gita Flamboyan.
Ibu Donny sangat menginginkan Donny menjadi anak yang selalu berprestasi dan meraih juara di kelas. Ketakutan terbesar dalam hidup ibunya adalah Donny tak bisa mencapai itu semua. Ketiga kakaknya adalah lulusan dari universitas negeri terbaik di Indonesia. Dan kakaknya yang paling tua juga sudah menjadi dokter umum di sebuah rumah sakit di Jakarta. Donny sangat disayang oleh ibunya. Ibunya akan sangat bangga jika Donny bisa meneruskan prestasi kakak-kakaknya.
Tapi di dalam lubuk hati Donny yang paling dalam, ada keinginan dia untuk menjadi pemain marching band yang berbakat juga. Dia tidak mau menghabiskan hidupnya hanya untuk belajar, belajar, dan belajar. Ia juga mau memilih jalan hidupnya seperti kebanyakan orang.
Terlintas ingatan saat ia dipilih coach Irfan sebagai pemain bass. Saat itu, tahun 2015 akhir, waktu itu ia masih berada di kelas 1 SMA. Gita Flamboyan kekurangan pemain bass yang notabene harus memiliki otak yang cerdas. Mengapa? Karena pemain bass rata-rata, otak kanan dan kirinya bisa berjalan bersamaan walaupun berbeda fungsi. Otomatis ia harus bisa menjaga keselarasan tangannya saat memukul, mengatur tempo lagu, dan teknik memukul yang berbeda di setiap chart.
Setelah flashback sedikit, akhirnya Donny memutuskan untuk tidur dan berharap pada Tuhan agar diberi mimpi yang indah. Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan untuknya. Sekali-kali ia ingin merasakan bagaimana rasanya terbangun dari mimpi yang indah.
🎺
Di saat yang sama, di dalam kamar yang pada dindingnya dihiasi wallpaper berwarna merah muda, Qoria sedang fokus belajar fisika di atas kasurnya. Memang agak ribet jika belajar hanya dialasi dengan kedua kakinya yang sedang duduk sila, tetapi mau bagaimana lagi? Ia takut kepergok mamanya jika jam 10 malam ia belum juga tidur.
Mamanya punya aturan tersendiri untuk Qoria. Bangun tidur jam setengah 5, Qoria sudah harus mandi dan sholat subuh. Sebelum berangkat sekolah, ia harus sudah sarapan untuk menghemat uang jajan. Setelah kegiatan sekolah selesai, Qoria akan langsung menuju tempat les bimbelnya yang jaraknya lumayan jauh dengan menggunakan sepeda motor. Namun jika ada latihan marching band, ia harus memilih salah satu dari itu. Les bimbel atau latihan marching band.
Karena itu, saat ini ia masih berkutik pada buku-buku paket dan buku catatannya. Ia telah tertinggal dua materi yang telah diajarkan guru les nya tadi. Sialnya, dua materi yang tertinggal itu benar-benar sulit untuk dimengerti. Kalau boleh memilih antara mengerti fisika atau pria, jelas Qoria akan memilih untuk lebih mengerti pria.
Alasan ia belajar di kasurnya adalah takut jika mamanya tiba-tiba membuka pintu kamarnya, ia bisa langsung berpura-pura tidur. Terkadang Qoria memikirkan apakah ini salah satu perbuatan durhaka kepada orang tua atau tidak.
Baru saja ia menyelesaikan 7 soal fisika yang ada di internet dengan susah payah, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka perlahan.
Krieeettt
Seperti sudah profesional, Qoria langsung memperlihatkan akting tidur pulasnya pada sosok yang tiba-tiba membuka pintu kamarnya tersebut. Sosok yang membuka pintu kamarnya itu seperti mengecek keadaan orang yang ada di dalam kamar itu. Setelah dirasa sudah puas dengan pengecekan tersebut, sosok itu berbalik badan mengarah keluar kamar sambil memegang gagang pintu kamar Qoria.
Qoria mengintip sedikit dari celah matanya, oh ternyata benar. Sosok yang tadi itu adalah mamanya. Setelah mamanya menutup rapat pintu kamarnya, Qoria segera duduk kembali, seperti posisi duduknya semula. Ia lanjut belajar lagi. Lagi, lagi, dan lagi.
“QORIII! CEPET TIDUR JANGAN ADA AKTIVITAS LAGI!”
Teriakan mamanya dari luar kamar sukses membuat sekujur tubuh Qoria merinding hebat. Otaknya langsung tegang menerima suara tersebut. Tanpa menjawab teriakan mamanya tadi, Qoria langsung menyerah dengan kegiatan belajar fisikanya tadi. Gawaaattt, batinnya. Langsung dibungkusnya seluruh tubuh itu dengan selimut, lalu ia berdoa sebelum tidur. Dalam hati ia berharap mamanya tidak kembali masuk ke kamarnya untuk memarahinya.
Malam itu, sudah terjadi dua tragedi menegangkan. Belum lagi yang terjadi pada yang lainnya. Entah apa yang terjadi pada mereka setelah telat pulang latihan marching band.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONE BAND ONE FAMILY
General FictionSUDAH TERBIT 🤜🤛 Tersedia di: Tokopedia, Bukalapak, Shopee, dan Guepedia 😍 [BASED ON TRUE STORY] Marching Band Gita Flamboyan adalah sebuah unit Marching Band di suatu SMA Bekasi yang terkenal unggul di kawasan tersebut. Mereka semua mempunyai tuj...