11. Sekali Keluarga, Tetap Keluarga

72 16 1
                                    

Bekasi. Kota yang sering di bilang kota matahari karena saking panasnya udara di sini. Terkadang tak jarang pula mereka yang bukan tinggal di Bekasi mengatakan bahwa Bekasi itu panasnya seperti neraka. Memangnya mereka pernah ke neraka? Ada-ada saja.

Kadang panas. Kadang sangat panas. Kadang sejuk, walaupun hanya beberapa jam. Meskipun begitu, Nada tak pernah mengeluh atas cuaca Bekasi yang tak menentu seperti itu. Ia tetap saja menyusuri jalan raya yang mengarah ke Harapan Indah dengan motor matic kesayangannya.

Lengkap dengan jaket yang menutupi seluruh tubuhnya dan sarung tangan berwarna merah tua yang melindungi tangannya dari sengatan sinar matahari di siang hari. Nada memakai helm full face. Kalau tidak full face, wajahnya akan belang di kemudian hari. Dan itu sangat tidak lucu.

Walau sudah memakai helm full face, ia tak lupa memakai masker mulut guna menghindari asap-asap pabrik dan asap dari kendaraan-kendaraan besar yang melintasinya. Nada juga memakai kaus kaki tebal walaupun sepatunya sudah cukup untuk menutup kakinya.

Namun percayalah, Bekasi itu indah. Tak separah yang orang-orang bilang. Yang katanya panas seperti neraka ataupun macet sampai berhari-hari. Itu lebay. Coba lihat Bekasi yang sekarang. Stadion Patriot Candrabaga telah menjadi stadion terbesar se-Asia Tenggara. Di dekat situ, tersedia 5 mall besar yang berkumpul di daerah dekat Pintu Tol Barat Pekayon. Jika kalian ingin shopping, nonton bioskop, ataupun sekedar cuci mata, kalian bisa memilih antara 5 mall tersebut. Sangat enak bukan?

Nada sangat bangga dengan kota yang ditinggalinya sekarang. Walaupun lahir di Jakarta, ia sejak kecil sudah tinggal di kota yang sangat tegar ini. Tegar dari segala cobaan.

Seminggu telah berlalu, tepatnya seminggu kurang satu hari. Sejak kejadian tak ikut latihan marching band, Nada menjadi orang yang paling tak enak jika muncul di grup MBGF. Tak tahu diri kalau kata Nada. Ia bungkam selama seminggu kurang.

Sekarang ia harus segera datang ke sekolah untuk latihan. Hatinya berdegup kencang, takut-takut para BPH-nya kesal padanya karena minggu lalu ia tak datang tanpa kabar.

Ia sudah biasa menyetir seperti orang yang sedang balapan motor. Walau jarak rumah ke sekolahnya 7 kilometer lebih, ia bisa mencapainya hanya dengan 7 menit. Bahaya memang menyetir secepat itu, tetapi itu sudah menjadi rutinitasnya. Untungnya ia tak pernah mengalami kecelakaan di jalan.

🎺

Keadaan sekolah di hari sabtu tidak terlalu sepi. Tidak terlalu ramai juga. Intinya banyak kegiatan ekskul jika sudah hari sabtu. Mereka latihan di tempatnya masing-masing. Tempat yang biasanya mereka pakai untuk latihan.

Seusai memarkirkan motornya di lapangan tengah, lapangan yang biasanya dipakai sebagian untuk latihan Gita Flamboyan, Nada segera berjalan menuju sekre. Kali ini ia tidak telat, karena latihan baru dimulai setengah jam lagi. Alhamdulillah ya Allah, batinnya.

Sambil berjalan menuju sekre, ia membuka resleting jaketnya dan melepas jaketnya untuk digantung di be lakang pintu sekre. Setelah menggantungkan jaketnya, ia papasan dengan Fichrian di depan pintu. Nada agak terkejut melihat kehadirannya yang sangat tiba-tiba itu.

“Baru sampe, Nad?” Tanya Fichrian, dengan nada bicaranya yang santai seperti biasa.

Nada menjawab dengan agak canggung, “Iya, hehe. Lu abis dari mana, Fic?”

“Ini, gua abis beli sarapan di warning.”

Warning itu sebenarnya singkatan dari warteg kuning. Fichrian berjalan memasuki sekre dan langsung duduk. Ia bersiap-siap untuk makan makanan yang telah ia beli tadi. Nada keluar dari sekre dan duduk di depan sekre. Ia tak tahu mau bicara apa pada ketuanya yang sedang asyik sarapan.

ONE BAND ONE FAMILYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang