17. Mendarah Daging

48 13 0
                                    

Waktu berlalu sangat cepat. Tiba-tiba saja pagi sudah menyapa muka masam Qoria yang tidak enak sekali untuk dipandang. Pagi ini adalah pagi yang buruk bagi seluruh penghuni rumah ini. Semenjak kejadian kemarin, suasana rumah Qoria menjadi sangat mencekam. Seperti rumah hantu saja. Hanya suara adik dan bapaknya yang terdengar bercengkrama di ruang tamu.

Sedangkan mamanya memilih untuk menyibukkan diri di kamar mandi untuk mencuci baju. Sepertinya sang mama juga sudah mulai membangun rasa amarah yang tinggi.

Karena tadi malam hanya ada Qoria dan mamanya di rumah, jadinya tak semua orang di rumah itu tahu apa yang sudah terjadi. Namun, kakaknya sudah mengetahui pertengkaran yang terjadi tadi malam. Mamanya bercerita kepada kakaknya apa yang sebenarnya terjadi. Kakaknya berada di ambang kebingungan. Sang kakak tak bisa membantu apa-apa, karena kakaknya pun sedang sibuk merevisi skripsi untuk mengakhiri kuliahnya dengan cepat.

Qoria lalu-lalang begitu saja tanpa permisi. Tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun. Jam 5 subuh setelah mandi dan sholat, ia langsung bersiap-siap untuk sekolah seperti biasa. Mulutnya tertutup rapat. Ia seolah memegang teguh pendiriannya yang tak akan mengajak ngobrol siapapun.

"Qor, kamu nggak sarapan dulu?" Tanya kakaknya separuh berbisik. Entah mengapa kakaknya seperti tidak ingin menghancurkan suasana yang sudah runyam di rumah ini. Sang kakak tetap berhati-hati dalam berbicara. Ia tahu persis bagaimana sifat adiknya jika dibalas dengan amarah.

Qoria hanya menggeleng pada kakaknya. Tentu saja menggeleng dengan tidak menatap wajah kakaknya. Ia masih diselimuti oleh rasa kesal yang mendalam. Qoria tetap fokus dengan apa yang ia lakukan saja. Ia sudah siap untuk pergi ke sekolah setelah memakai sepatu dan tas sekolahnya.

Bapaknya hanya duduk diam saja sambil menggunting kuku tangannya di ruang tamu. Menggunting kuku sambil memerhatikan tingkah aneh anak keduanya itu. Ada-ada aja kelakukannya, batin bapaknya seraya menggelengkan kepala.

Di saat seisi rumah nampak ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi antara anak dan ibu itu, Qoria malah tak memedulikan siapapun yang ada di rumah itu. Sikapnya sangat dingin sedingin suhu pada pagi hari ini. Sebenarnya Qoria tak mau bersikap seperti itu, namun egonya terlalu besar untuk mendengarkan hati kecilnya.

"Qori berangkat, ya," ucapnya singkat pada seluruh orang yang ada di rumah itu. Tanpa menunggu ada yang merespon, ia langsung pamit dan melesat pergi ke luar rumah, "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab bapak dan kakaknya pelan.

Suara motor matic yang sudah dinyalakan sudah terdengar dari luar. Tak butuh menunggu lama, Qoria sudah pergi. Ia berangkat ke sekolah memakai motor matic putihnya dengan memakai helm putih uniknya. Tak lupa juga ia memakai jaket jeans tebal yang mampu menghangatkan tubuhnya yang kedinginan. Namun sayang, jaket tersebut tak mampu untuk menghangatkan hatinya sekarang.

Tak sadar sudah melamun sepanjang perjalanan ke sekolah, lagi-lagi pipinya sudah dibanjiri oleh air mata. Argh, desisnya. Untungnya ia memakai helm, jadi tidak terlalu terlihat dari luar.

Kali ini ia tak mau memaksa untuk menghentikan tangisannya. Ia sudah sangat lelah menjalani keseharian yang berat ini. Qoria membiarkan air mata mengalir di pipinya.

Saat jalanan sedang macet-macetnya, semua motor dan mobil terpaksa memberhentikan lajunya untuk menunggu giliran melewati jalan. Di saat itulah, isakannya terdengar oleh pengemudi motor lain di sebelahnya. Sudah tak peduli lagi dengan orang lain. Qoria sudah lelah untuk mengerti orang lain, karena orang lain pun belum tentu mau untuk mengerti dirinya.

🎺

Di sela jam istirahat kedua seperti ini, biasanya banyak anggota MBGF yang menyempatkan tidur di ruang sekre. Istilah kasarnya numpang tidur. Tidur sambil ditemani oleh alat-alat marching band yang tersusun rapi ditempatnya adalah hal kecil yang membuat hati mereka nyaman. Tentram seperti dikeliling oleh taman bunga.

ONE BAND ONE FAMILYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang