Kabur?

37 4 0
                                    

Untuk ke sekian kalinya, ia menceritakan masalah pelik yang setahun ini ia hadapi. Kali ini via voice call WhatsApp. Percayalah, seseorang dalam kondisi galau hanya butuh didengarkan, maka kudengarkan saja sampai tetiba ia terdiam. Menangis.

"Kadang aku lihat hidup sampean kayak seneng banget, Mba, bisa senyum terus," katanya.

Aku diam, tidak berniat menyela atau menghakimi praduganya.

"Maksudku, sampean begitu, seolah hidup sendiri, di negeri orang, kadang kondisinya kurang baik, tapi survive dan tetep fokus ke kegiatan-kegiatan positif.."

Masih kubiarkan dia menilaiku sesuka hati. Meski di sini aku nyengir kuda. Dalam hati membatin, 'bukan aku yg baik, tapi Gusti Allah yg menutup aib-aibku.'

"Menurutmu, aku harus gimana, Mb?" lagi-lagi pertanyaan ini terulang.

Seperti berbulan-bulan yg lalu saat pertama kali ia bercerita, pun seperti hari ini, otakku bekerja keras menyusun rencana, 'Jika aku jadi dia..'

Aku membayangkan berada dalam posisinya, merasai emosinya, hanya satu hal saja yang sulit: kondisi batin kita berbeda. Dalam kondisi yang stabil, aku mungkin bisa memikirkan dan melakukan plan A, B, C. Tapi dia yg sedang dalam kondisi down?

Sebenarnya aku sedang menulis cerpen, tapi kemudian aku buka note-ku lalu kukirimkan padanya,

Sebenarnya aku sedang menulis cerpen, tapi kemudian aku buka note-ku lalu kukirimkan padanya,

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tidak tahu itu akan membantu atau tidak. Tulisan itu, murni untuk diriku sendiri -self reminder-. Sama sekali tidak kepikiran untuk menunjukkannya pada siapapun, karena pasti setiap orang punya cara sendiri-sendiri untuk bertahan. Tapi kemudian ini terjadi.

Sejenak dia terdiam. Membaca.

"Berati aku harus menikmatinya ya, Mba?" tanyanya.

Karena aku masih kesulitan untuk mengungkapkan solusi dari kepalaku, maka kupancing ia menerka sendiri dengan bertanya,

"Kira-kira, kalau aku dalam posisimu, aku bakal ngapain menurutmu?"

Aku tidak melihat, tapi aku yakin dia tersenyum.

"Kabur. Hahaa.."

Kali pertama selama obrolan, dia tertawa. Aku tertular. Lega. Akhirnya aku punya celah utk bicara sedikit panjang.

"Kabur pun, harus mempertimbangkan banyak hal, Mba. Jangan sampai, eeh udah loncat pager, terus gak tahu habis itu mau ngapain, gak ada rencana, ya bakal jadi masalah lagi, he.."

"Jadi?"

"Paling gak, dari hati terdalam, beneran diniati yg baik, menyehatkan mental, gitu. Terus bikin rencana yg baik, usaha bener-bener, bikin tameng, kalau udah keluar, mau ngapain, harus yang positif, biar gampang di-acc Gusti Allah. Hehe.."

"Iya deh, Mba, bismillah.." jawabnya kemudian.

"Aku pengen cepet Desember," katanya lagi.

Yap, kita memang berencana mengunjungi beberapa kota selama liburan semester ini.

"Aku juga jadi pengen pulang, Mba.." tambahnya lagi.

"Oke. Aku temenin."

Aku senyum. Sebelumnya dia tdk mau mampir rumah meski rutenya melewati.

"Berapa hari?"

"Sepuasnya. Kalau memang habis di rumahmu, ya gakpapa." Jawabku mantap.

"Aku beneran jadi pengen cepet Desember, huhuu.." nada bicaranya mulai mencair.

"Aku juga sebenernya pengen cepet Desember, tapi gak mau cepet-cepet Januari.." kataku sok sedih.

Dia tergelak. Puas sekali menertawakanku. Tidak apa, asal dia bahagia. Haha.

"Gantian atuh, temani aku pulang pas Januari," lanjutku, kali ini sok merajuk.

Dia tergelak lagi. Masalahnya mungkin masih pelik, tapi paling tidak, bebannya sedikit berkurang.

Setiap orang punya masalah. Besar kecilnya tergantung bagaimana ia menyikapi. Juga, seberapa pintar ia menyembunyikannya. 😂

____
November 2018

CeriteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang