Bicara Sendiri

9 2 2
                                    

Aku harus menyibukkan diri, melawan setiap detik yang kulewati bersama kenangan yang lengket di kepala. Kadangkala berhasil, tapi lebih sering tidak. Ada sakit yang menyayat saat kenangan-kenangan itu kucabut paksa dari ingatan.

Maka, kulampiaskan ia dalam sebuah kertas membentuk sketsa yang tidak berwajah. Ia, dalam sketsaku selalu membelakangi.

Kita tidak pernah tahu ia sedang tertawa atau menangis karena kita hanya melihat punggung dg cakrawala terbentang tanpa batas, seperti tatapannya yang entah kemana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kita tidak pernah tahu ia sedang tertawa atau menangis karena kita hanya melihat punggung dg cakrawala terbentang tanpa batas, seperti tatapannya yang entah kemana.

Aku mengerti. Sungguh mengerti dengan apa yang kurasakan. Aku mungkin sangat lihai membohongi orang lain, tapi tidak pada diri sendiri. Karena di saat malam mulai merayap, tangan memeluk bantal menyembunyikan wajah, satu dua titik air mata akan merembas ke bantal kapas.

Tanpa suara dan hilang seketika. Paginya, mataku tak lagi merah, wajahku tak lagi sendu, dan bibirku mengembangkan senyum seperti biasa. Tidak perlu ada yang tahu. Setidaknya belum pernah.

Dengan sekuat tenaga aku mengumpulkan tekad untuk siap menghadapi apapun, terutama perasaan yang tidak mengenakkan hati. Seharusnya aku bisa tak peduli saja, tapi kadang hati kecilku memberontak, ‘Aku hanya ingin menjadi seseorang yang baik, yang tidak menghilang begitu saja hanya karena jarak dan waktu’.

Itu alasan yang klise sekali, tapi sungguh, tidak ada alasan yang lebih kuat lagi. Aku siap menghadapi apapun sendiri.

***

“Kenapa kau suka menghilang tiba-tiba?”

“Biar aku tahu siapa yang benar-benar mencariku

Percakapan itu hanya terjadi dalam benakku dan kadangkala aku merasa kuat setelah mengingatnya. Padahal semestinya, kita tidak menguji siapapun, kita sendirilah yang perlu diuji oleh diri sendiri.

“Kenapa kita tidak minta maaf?”

“Karena kita tidak merasa bersalah”

“Kenapa kita tidak merasa bersalah?”

“Karena kita mengukur apapun dengan perasaan sendiri, padahal apa yang menurut kita baik-baik saja belum tentu baik-baik saja juga bagi orang lain.”

____
September 2015

CeriteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang