Aku belajar untuk mengabaikan rasaku sendiri. Aku belajar untuk membalas ketidakpedulian dengan senyum sapa tanpa syarat. Aku belajar untuk membalas rasa sakit dengan rasa nyaman. Aku belajar untuk tidak membalas dendam.
Tuhan, aku salah apa? Itu pertanyaan konyol yang kadang lewat begitu saja dan membuat tanganku bergerak memukul jidat sendiri. Aku ini gila? Tidak juga, hanya kadang ya, sulit sekali untuk melawan kehendak hati, nafsu, demi.. entah demi apa aku melakukan semua ini.
Ketulusan tak berbalas, kebaikan tak berbekas, keterabaian, ketiadaan dan lama-lama hilang. Aku bahkan tidak peduli, asal Tuhan bersamaku. Benarkah? Itu masih selalu kusemogakan.
Lalu pelan-pelan aku mulai menarik diri dari keramaian, bersembunyi di balik sepi yang kata temanku, adalah kebahagiaanku. Benarkah? Tidak sepenuhnya benar. Aku hanya merasa nyaman di dalamnya.
Maka jangan heran bila tiba-tiba aku menghilang, tidak bisa dihubungi atau bagai ditelan bumi, benar-benar tanpa jejak. Saat-saat seperti itu, berarti aku sedang bercerita pada diriku sendiri.
Iya, sendiri. Seolah tidak butuh siapa-siapa karena memang hanya aku yang tahu. Tuhan tidak perlu dihitung karena Dia memang Tahu segalanya tanpa kujelaskan.
Begitu. Aku seringkali menuliskan kemungkinan terburuk dalam kisah hidupku sendiri. Maka tiba-tiba aku merasa amat sangat sedih sampai menganak sungai air mataku. Klise sekali ya?
Memang, tapi karenanya aku merasa bahagia setidaknya aku mensyukuri bahwa apa yang kualami belum -semoga saja tidak akan pernah- seburuk itu, juga setidaknya aku sudah mempersiapkan diri jika hal itu ternyata benar-benar terjadi.
“Being consultant? Haha..” aku tertawa mendengar saran sahabat baik yang kukenal sejak duduk di bangku kuliah.
“Iya, kamu gitu sih, kenapa harus menyarankan mereka untuk kembali?” protesnya.“Emm.. entahlah” aku mengangkat bahu sambil cekikikan.
“Kamu menyakiti diri sendiri”
“Ah tidak, justru sakit sekali ketika kita memaksakan diri bersama orang yang sebenarnya tidak ingin bersama kita..”
“Iya deh iya, kamu selalu menang. Tapi, hati orang siapa yang tahu?”
“Orang yang peka selalu lebih tahu isi hati orang..”
“Kamu hanya menerka-nerka”
Aku menggeleng, “Sudahlah, aku baik-baik saja..”
“Aku ini tidak mempan kamu bohongi. Aku tahu kamu tidak baik-baik saja.”
Aku tersenyum, “Oke, setidaknya aku berusaha baik-baik saja, apalagi ada kamu. Haha..”
“Tidak usah tertawa, tidak ada yang lucu.” Timpalnya sambil tiba-tiba memelukku. Kita berpelukan.
“Kenapa kau harus pura-pura begitu kuat?” bisiknya di sela isak tangis.
“Karena Tuhan memintaku begitu,” jawabku lirih.
Peluknya semakin erat. Isak tangisnya semakin keras. Hatiku hancur kemana-mana, tapi demi sahabatku ini, kutahan semuanya. Dia, tentu saja mengalami hal yang sama berat sebenarnya.
Sesuatu yang tidak ia sadari telah terungkap setiap kali bercerita. Sesuatu yang ia ingkari sekaligus ia akui. Sesuatu yang membuatnya menghilang, meski tidak dariku. Sesuatu yang ia sembunyikan rapat-rapat di balik tawa, meski masih kutangkap sendunya.
Mungkin ia lupa bahwa membohongiku adalah mustahil. Aku ini sahabatmu, yang tanpa perlu kau bercerita pun aku sudah tahu. Aku memeluknya lebih erat. Kali ini untuk kepura-puraanmu, Sobat.. menangislah sepuasnya.
'Kau tahu saat sedih dan kecewa berkolaborasi? Diam berkepanjangan.' (Tia Setiawati)
Statement ini kupahami bahkan sejak sebelum dituliskan oleh penulisnya. Diammu sama saja dengan diamku dan diamnya kebanyakan orang. Aku tahu itu. Kau tahu, Kawan, ada beberapa orang yang tidak bisa kau bohongi, yang semakin kau bersembunyi berarti kau semakin menampakkan diri, yang semakin kau berkilah berarti kau semakin mengakui. Bahkan kau tidak punya pilihan selain jujur.
*obrolan imajinatif
Semarang, September 2015
KAMU SEDANG MEMBACA
Ceritera
General FictionHidup adalah rangkaian cerita dengan Penulis Maha Hebat. Ini hanyalah serba-serbi cerita keseharian salah seorang tokoh dalam menjalani ceritanya bersama tokoh-tokoh lain yang ia temui selama hidup. Juga, apa-apa yang ia hadapi. Tidak melulu istimew...