Dia seseorang yang kukenal setahun belakangan. Persamaan karakterlah yang membuat kami cepat akrab. Entah sejak kapan, kami menjadi kawan karib. Sangat dekat, sampai aku lupa satu hal: dia laki-laki dengan masa lalu yang masih mengikutinya. Maka ketika kusadari ada sesuatu yang tak beres, aku mulai mundur teratur.
Malam itu di teras kos-kosanku. Tidak lagi ada tawa seperti biasanya. Hanya wajah-wajah kaku dengan obrolan garing.
“Ci.. Sebentar..”
Aku duduk lagi sambil memegang gelas yang masih penuh dengan air putih. Tidak jadi beranjak masuk.
“Ya?”
Dia diam saja. Matanya kemana-mana. Aku tahu dia sedang mengumpulkan kata-kata untuk memulai bicara. Setelah semenit saling diam, dia menundukkan kepala.
Ada sedih yang amat dalam di ronanya. Aku tahu kemana arah dia akan bicara, maka kupersiapkan diriku sendiri dengan segala bendungan di mata dan hatiku.
“Aku minta maaf..”
Aku tertawa kecil.
“Santai aja lho, Jid..”
“Ya, kadang seseorang memang perlu berpura-pura untuk sekedar membuat orang lain merasa baik-baik saja.”
Katanya sambil mengangkat kepala menatapku. Tepat kena hatiku, dan seketika tawaku terhenti, lalu kugelengkan kepala.
“Enggak, Jid, aku beneran baik-baik aja..”
“Kamu disangka tidak-tidak, dikatain macem-macem, dipaksa menjauhiku dengan alasan yang tidak masuk akal, memendam semuanya sendiri dan menyengaja ditinggalkan.. kamu bilang baik-baik saja?”
Aku tersenyum lagi, menarik nafas dalam.
“Dia hanya salah sangka dan mengakui itu. Beres dan dia sudah minta maaf..”
“Iya, setelah sebelumnya kamu mengiyakan semua kemauannya..”
“Jika memang hanya itu yang membuatku dimaafkan..”
“Tapi bukan kamu yang bersalah, dia sudah..”
“Jid, tolonglah..” aku memelas. “Aku tahu tanpa kamu harus menjelaskannya berulang kali. Dia perempuan juga sama sepertiku, aku merasakan posisinya, maka aku melakukan ini..” lanjutku.
“Tapi itu enggak bener, kamu menyakiti dirimu sendiri..”
“Enggak..”
“Jangan berpura-berpura di depanku, percuma..”
Pertahanan di hatiku mulai bocor.
“Iya, Jid, aku sedih. Aku sedih ketika aku mendapatkan teman baik tapi orang lain merasa sakit atas itu, aku sedih ketika aku nyaman bercerita dengan seseorang tapi orang lain memintaku menjauh begitu saja, aku sedih ketika banyak sekali tawa yang sudah terekam dipaksa segera dihapus begitu saja. Aku sedih, tapi itu tidak apa-apa..”
Aku menatapnya tajam. Tidak setetes pun air mataku turun, tapi hatiku remuk. Dia berkaca-kaca lalu menunduk. Tangannya bergerak mengelap mata.
“Terimakasih untuk mau mengakuinya..” ucapnya lirih.
Aku baru sadar telah kelepasan bicara.
“Tapi itu beneran tidak apa-apa..”
Dia mengangguk lalu mengangkat kepala. Matanya merah.
“Aku tahu kamu selalu baik-baik saja. Aku tahu tanpa kamu menjelaskannya berulang kali bahwa kamu lebih kuat dari perempuan manapun. Aku tahu harapanmu tidak akan pernah mati dan selalu punya arah untuk kembali.. sesakit apapun itu. Aku tahu..”
Aku diam saja, merasa dihakimi.
“Sayangnya aku tidak punya kekuatan sebesar itu untuk sekedar menenangkan hati bahwa aku baik-baik saja.” Dia menggelangkan kepala, “Aku tidak baik-baik saja, Ci.. sungguh. Aku tidak baik-baik saja."
Dia menunduk sangat dalam. Aku juga menunduk. Pada titik ini, aku pun mengakui dari dasar hatiku, dari kelemahanku yang tersembunyi sangat dalam, ‘Aku juga tidak baik-baik saja, Jid..’
“Sudahlah, Jid.. kita akan baik-baik saja. Kadang sulit sekali memahami mauNya, tapi aku yakin Dia sedang menyiapkan kejutan.. khusnudzon aja, meski sulit,” aku kehabisan kata.
Dia, entah mendengar entah tidak, kembali mengusap air matanya. Aku sendiri sedang menahan bendungan di mata yang mulai merembes.
“Aku ngantuk..” tanpa menjawabku dia beranjak pergi begitu saja.
Aku tahu dia berbohong. Kadang seseorang memang perlu berpura-pura untuk sekedar membuat orang lain merasa baik-baik saja. Akhirnya bendungan di mataku jebol juga.
Untungnya dia, yang pertahanannya sudah jebol sejak awal, tidak melihat ini.
Aku tidak perlu menceritakan pada orang-orang tentang betapa beratnya hari saat kau pergi. Aku menahan segalanya sendiri dengan menyebut nama Tuhan dalam hati tiada henti, berharap Dia akan menenangkanku barang sejenak.
Aku menyukaimu. Tuhan tahu itu. Tapi aku tidak bisa melukai siapapun. Bahkan jika harus ada yang berkorban, maka akulah orangnya. Kenapa? Hidup adalah pilihan dan inilah pilihan yang aku pilih.
____
*fiktif belaka
September 2015
KAMU SEDANG MEMBACA
Ceritera
General FictionHidup adalah rangkaian cerita dengan Penulis Maha Hebat. Ini hanyalah serba-serbi cerita keseharian salah seorang tokoh dalam menjalani ceritanya bersama tokoh-tokoh lain yang ia temui selama hidup. Juga, apa-apa yang ia hadapi. Tidak melulu istimew...