ONE: FIRST MEETING

1.1K 70 5
                                    


SOMI memaksakan kakinya--yang ia rasa kini sudah keriting akibat kecapaian--berjalan hingga menemukan tempat yang cocok baginya untuk beristirahat. Tak begitu lama kemudian, mata bulatnya menemukan sebuah taman yang dipenuhi dengan berbagai macam bunga dan bangku untuk para turis maupun warga sekitar yang ingin bersantai disana.

Indah sekali, pikirnya.

Taman itu tidak begitu besar, namun cukup luas. Ditengahnya dihiasi dengan air mancur yang jika malam hari menyala dengan indahnya, memancarkan cahaya-cahaya violet yang dibentuk dari lampu kolam di sekelilingnya. Lampu-lampu taman yang tinggi, dipajang di sepanjang taman, membuat taman tersebuh lebih hidup. Di setiap pinggiran taman pun, disediakan bangku bangku yang cukup aestethic untuk dipandang maupun dijadikan objek foto.

Tulisan di depan taman tersebut cukup jelas, "Taman Seong Hill". Tanpa berpikir lama, Somi segera mendaratkan pantatnya di salah satu bangku taman tersebut. Di tangannya, terdapat kantung plastik yang berisi beberapa coke dan makanan ringan yang telah lebih dulu dibelinya di K-Mart sekitar 15 menit yang lalu.

Somi tahu jelas ia lapar, oleh karena itu ia mampir ke salah satu swalayan terdekat sebelum mencari tempat beristirahat yang dirasanya cocok untuk menenangkan pikiran dan mendinginkan hatinya.

Tangannya yang lentik bergerak cepat, mengambil salah satu coke dan menggenggamnya. Rasa dingin langsung menyeruak dan menjalar melewati ujung ujung jarinya hingga masuk ke nadi-nadinya. Tanpa mengindahkan rasa dingin dari coke yang digenggamnya, ia segera mencongkel penutup coke dan meneguknya pelan. Pahit dan manis bercampur menjadi satu, menciptakan sebuah rasa familiar, tidak manis, juga tidak pahit, namun menciptakan sensasi menggelegak di tenggorokannya.

Somi menjadikan Taman Seong Hill ini sebagai pelarian. Pelarian dari rasa lelah dan kesalnya. Ia merusak tatanan koreografi sebagai seorang center, berbagai umpatan sudah ia terima dari sang koreografer sendiri. Bukan sekali ini saja ia selalu dimarahi habis habisan. Tak pelak, ia juga sering dipukul akibat kesalahannya. Namun kali ini berbeda, ia sudah tak kuat memikul beban dan umpatan yang harus ia tanggung dari sang koreografer.

Para unnie-unnienya bukannya jahat atau bagaimana karena membiarkannya begitu saja. Somi tahu, unnie-unnienya begitu sayang kepadanya, namun kekuatan mereka tak sebanding dengan kekuatan koreografer. Berkali kali, ia dibela oleh para unnie-nya, dan berkali kali itu juga unnie-nyalah yang ganti memikul beban miliknya.

Oleh karena itu, setelah jadwal rehearsalnya berakhir ia segera mencari tempat untuk menjernihkan pikirannya, tanpa memberatkan kesepuluh unnienya.

Somi menurunkan badannya sedikit ke bawah agar ia bisa mendongak dan menatap langit malam. Matanya yang coklat dan bulat terus memandangi langit, berharap akan ada keajaiban seperti bintang jatuh agar ia bisa mengucapkan permohonan yang selama ini ia pendam.

Tetapi bukannya bintang jatuh yang lewat, malah muncul sesosok namja yang memakai pakaian training all puma. Namja tersebut terlihat ngos-ngosan seperti habis dikejar hantu, atau mungkin dikejar penagih hutang, who knows?

Selamg beberapa detik, Namja tersebut langsung menghempaskan bokongnya di sebelah Somi. Nampaknya, Namja tersebut tak sadar jika bangku yang didudukinya telah ditempati terlebih dahulu oleh Somi, sehingga mereka kini bersebelahan.

Somi sedikit menjengat, ia menolehkan wajahnya ke arah Namja tersebut--mencoba melihat wajah dari si namja puma. Namja tersebut pun tampaknya sadar jika dirinya sedang dipandangi, matanya membulat dan mulutnya agak sedikit membuka ketika netranya bertemu dengan mata gadis di hadapannya. Wajahnya menampilkan ekspresi yang sangat lucu menurut Somi.

"Mm, kau siapa?" Tanya namja tersebut memulai percakapan.

"Aku?" Somi menunjuk dirinya sendiri dan namja tersebut mengangguk pelan, "Harusnya aku yang bertanya kepadamu, mengapa kau tiba tiba duduk di sebelahku?" Lanjut Somi.

Our Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang