Eternity

131 23 2
                                    

🎵 Love and Pain - Healer OST Instrumental

---

Kakiku melangkah pelan menyusuri taman kota yang sedang tidak terlalu ramai ini. Semilir angin sore yang terasa lebih dingin dari biasanya menerpa wajahku.

Hah, waktu terlalu cepat berputar. Musim penghujan sudah mulai menampakkan dirinya. Pandanganku jatuh kepada sebuah kursi taman yang kosong.

Aku terkekeh mebertawakan diriku sendiri. Kursi taman itu terlihat begitu kesepian di tengah taman yang cukup luas ini. Mengingatkanku pada diriku sendiri. Perlahan, aku melangkah menuju kursi taman itu, dan duduk di atasnya.

Aku menghela napas panjang seraya merapatkan jaket. Baiklah, musim hujan benar-benar sudah tiba. Hawa dingin yang lumayan menusuk sudah bisa kurasakan.

Aku memasukkan kedua tanganku ke dalam saku jaket, lalu menatap lurus ke depan. Hamparan rumput yang tidak terlalu luas namun nampak rapi, pohon-pohon yang menambah kesan asri dan cuaca yang mendung.

Bagus, suasana ini sukses membuatku mengingat apa yang sudah kualami beberapa bulan terakhir. Jatuh tersungkur, tenggelam dalam keadaan berulang kali, kehilangan sandaran dan tujuan hidup. Lagi, aku terkekeh menertawakan diriku yang terlihat begitu menyedihkan saat itu.

Aku menengadah menatap langit yang terlihat lebih mendung. Entah apa yang akan kulakukan setelah ini. Namun kupastikan, aku tidak akan kembali jatuh tersungkur.

Keadaan ketika diriku yang limbung karena kepergiannya, menjadi penghias ingatanku saat ini. Aku akan menjadi lebih kuat, tak peduli apapun yang akan kuhadapi nantinya.

Hatiku ini sudah cacat. Luka yang ia tinggalkan, begitu dalam tergores di sana. Mungkin aku sudah mati rasa.

Aku akan membiarkan waktu mengalir apa adanya, membawa diriku hanyut di dalamnya. Aku tidak akan berharap untuk cinta yang baru. Hey, siapa yang mau mengencani gadis yang di hatinya tertoreh begitu banyak bekas luka?

Kau mau?

Baiklah, aku bercanda. Aku hanya akan menjalani hidupku apa adanya. Terdengar membosankan, bukan? Ya, bagaimana pun aku sudah mati rasa.

Aku menengadah saat merasakan tetesan air mengenai permukaan wajahku. Rintik hujan mulai turun. Baiklah, kurasa aku harus segera pulang.

Aku beranjak dari kursi taman ini, dan berjalan cepat sembari berusaha menutupi kepalaku dengan kedua tangan. Rintik hujan mulai turun dengan deras. Apa aku harus mencari tempat untuk berteduh? Tidak, tidak. Aku harus segera pulang. Hanya tinggal menyebrangi jalan itu, berjalan sedikit dan aku akan sampai.

Ya, aku berjalan cepat menyebrangi jalan yang kurasa sepi. Entahlah, aku hanya ingin segera sampai rumah. Aku melanjutkan langkahku sampai aku mendengar suara klakson mobil dan kurasakan tubuhku terhempas jauh.

Kepalaku berdenging hebat. pandanganku memburam, dan dapat kulihat siluet orang-orang yang mulai mengerumuniku dengan membawa payung mereka. Aku tersengal, mencoba menghirup oksigen yang terasa kian menipis.

Samar-samar, aku mendengar seseorang memanggil namaku dengan lembut. Aku mencoba mengumpulkan kesadaranku, dan mendapati seorang pria dengan pakaian serba putih tengah mengulurkan tangannya padaku dengan senyum teduhnya. Sial, aku sangat merindukan senyum itu.

Aku tersenyum, mencoba menggapai tangannya. Ia meraih tanganku dan menariknya lembut. Seketika, tubuhku terasa ringan. Apa ini mimpi? Tangannya masih menggenggam tanganku! Ia hanya tersenyum padaku, lalu tangannya terulur menunjuk sesuatu. Aku mengikuti arah tangannya, dan terkejut mendapati tubuhku yang terbujur kaku dengan genangan darah bercampur air hujan di sekitar kepalaku.

Kurasakan usapan lembut di tanganku. Aku menoleh padanya yang masih setia tersenyum kepadaku. Apa aku sudah mati? Inikah rasanya?

"Halo, Raniya. Lama tak bertemu. Aku sudah menunggumu cukup lama," ucapnya sembari menarikku mendekat. Ia menatap seluruh wajahku, lalu menarikku ke dalam dekapannya.

Cukup lama, hingga ia melepasku dari dekapannya. "Ayo kita pergi," ucapnya yang menimbulkan guratan di dahiku.

"Pergi? Ke mana?"

"Ke keabadian."

Ia berjalan lebih dahulu menuju sebuah cahaya putih yang begitu menyilaukan. Ia berhenti, lalu menoleh ke arahku. Lagi, ia mengulurkan tangannya kepadaku. Jadi, seperti inikah akhirnya?

Aku tertunduk sejenak. Jadi, aku sudah benar-benar mati? Ia bilang apa tadi? Keabadian? Aku akan bersama dirinya selamanya?

Setelah meyakinkan diriku sendiri, aku menegakkan tubuhku. Tersenyum lebar, dan menggapai tangannya.

Baiklah, ayo kita pergi, Kim Jonghyun.

◀️END▶️

Helaw! Pakabs mba sist
Telat sehari gapapa dong ya, hehe..
Gimana? Fyi, ini 1 chapter menuju chapter terakhir.

Udah saatnya kita melangkah dan menatap masa depan yang belum pernah kita tapaki sebelumnya. Yegak?

With warmth,
Jellyyzzz 💚

Him -KJH- |One Shot Stories| {✔️}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang