"Apakah ini sebuah akhir? Akhir dari kisah perjuanganku untuk melepaskannya."
🍃🍃🍃
Aku meletakkan tumpukan novel milikku ke dalam box terakhir yang sudah kuberi nama. Menutupnya rapi agar novelku tidak jatuh tercecer saat box ini diangkat. Ini adalah box terakhir yang kukemas. Kulirik arlojiku, lalu menghela napas. Aku masih punya waktu 30 menit sebelum agen pengangkut barang tiba di unit apartemenku.
Aku membetulkan ikat rambutku, lalu duduk di antara box yang sudah kususun dengan rapi sembari menatap tulisanku yang tertera pada masing-masing box. 'Pakaian', 'sepatu', 'novel', 'atk', 'selimut', 'bantal', 'boneka', dan beberapa box lainnya. Oh ayolah, apa aku harus menyebutkannya satu persatu?
Ya, aku akan pindah dari unit apartemen ini. Walaupun sebenarnya unit apartemen ini adalah milikku. Ah, tunggu. Sudah bukan milikku karena aku sudah menjualnya dan memutuskan untuk membeli rumah di pinggiran kota. Yah, cukup menguras isi tabunganku karena hasil penjualan apartemen ini tidak menutupi keseluruhan harga rumah yang kubeli.
Aku menaikan pandangan, lalu beranjak ke ruang tengah. Menatap sekilas ke arah sofa dan tv bergantian, lalu duduk perlahan di tepi sofa. Sekelebat memori tiba-tiba muncul di dalam kepalaku. Aku hanya tersenyum, dan membiarkan memori itu terus berputar layaknya potongan film.
Setelah puas memandangi ruang tengah, aku beranjak menuju dapur. Pandanganku menyapu seisi dapur tanpa terkecuali. Lagi, aku hanya bisa tersenyum kala sekelebat memori mulai menguasai pikiranku. Aku memejamkan mata, menikmati potongan memori yang seolah benar-benar terjadi tepat di depanku.
Aku membuka mata, lalu menghela napas panjang. Lagi, aku melirik arloji di pergelangan tangan. Hah, aku masih punya waktu 15 menit. 15 menit terakhir di ruangan apartemen yang terasa begitu sesak akan kenangan.
Tanpa sadar, aku melangkah menuju balkon, membuka pintu kaca yang menjadi pemisah balkon mungil ini. Perlahan, aku berjalan menuju pagar pembatas balkon. Menggenggamnya erat, lalu memejamkan mata menikmati semilir angin yang menerpa wajah.
Kalian tahu? Sangat berat bagiku untuk meninggalkan unit apartemen ini. Rasanya, tempat ini begitu sesak akan kenangan. Tiap sudut ruangan seolah menjadi saksi bisu bahwa kenangan itu benar terjadi. Bahwa diriku pernah begitu bahagia karena dirinya, bahwa diriku juga pernah jatuh tersungkur karena dirinya.
Tempat ini menjadi saksi bisu perjuanganku untuk melepaskannya.
Aku tahu, aku tidak bisa terus menerus hidup dalam keterpurukan seperti ini. Dan inilah cara yang kuambil, setidaknya untuk berdamai dengan perasaanku sendiri.
Aku membuka mata, dan menurunkan pandanganku. Wow, aku baru menyadari bahwa balkon ini cukup tinggi. Ah, benar. Unit apartemen ini berada di lantai 43 dari keseluruhan gedung apartemen yang memiliki 85 lantai.
Aku akan sangat merindukan tiap sudut unit apartemen ini. Dapur, ruang tengah, kamar, balkon, hingga toilet. Aku akan meninggalkan sebagian kenangan yang melekat pada ruangan ini, dan membawa sisanya dalam hati dan pikiranku. Aku.. Tidak akan menyesali keputusanku ini, bukan?
Inikah akhirnya? Akhir dari perjuanganku untuk melepaskannya? Pandanganku menerawang jauh ke depan. Membiarkan pikiranku berkelana entah ke mana, hingga suara bel apartemenku mengembalikan kesadaranku.
Aku berjalan tergesa ke arah pintu, lalu membukanya. Memberi salam sopan, lalu membiarkan para pekerja pengangkut barang melakukan tugasnya. Aku mengambil tas tenteng yang yang kuletakkan di atas sofa. Memperhatikan pekerja yang berlalu lalang, lalu berjalan keluar kala seorang pekerja mengangkat box terakhir yang tersisa.
Aku meraih knop pintu lalu menutupnya perlahan. Namun pergerakanku terhenti sejenak. Rasa sesak kembali menyeruak kala aku menatap seluruh sudut ruangan yang dapat terlihat dari sini.
Pandanganku tertuju pada pintu balkon. Mataku kembali memanas kala mendapati sosoknya yang tersenyum ke arahku dari balik pintu kaca. Ia mengangkat sebelah tangannya, lalu melambaikannya. Ia memamerkan senyum hangatnya, lalu bibirnya bergerak menggumamkan kata, "sampai jumpa."
Perlahan, aku mengangkat sebelah tanganku, lalu membalas lambaiannya. Aku ikut tersenyum, lalu bergumam, "Eoh, sampai jumpa, Oppa."
Aku menggenggam erat knop pintu sembari kembali menariknya perlahan. Bunyi khas pintu apartemen yang sudah tertutup dan terkunci secara otomatis berlomba masuk ke dalam telingaku. Air bening kembali jatuh dari kedua mataku kala pintu unit apartemen ini tertutup sempurna. Aku menatap sendu ke arah pintu sejenak, lalu berjalan perlahan ke arah lift.
Sampai jumpa, kenangan. Biarkan aku membawa pergi kenangan yang tersisa dalam benak dan hatiku. Akan ada saatnya aku menyesali keputusanku ini, namun akan tiba saatnya aku bisa berdamai dengan perasaanku sendiri dan melepasmu dengan senyuman.
Ya, sampai jumpa lagi, kenangan.
◀️END▶️
Hehe.. Silakan hujat diriqu yang telat sehari, omo щ(ಥ◡ಥ)щ
Pakabs yeorobun~
Udah bosen kah sama work ini?
Sekali lagi thor tekankan, author nulis work ini buat kepuasan pribadi. Kalian suka, syukur. Ngga ya gapapa.
Author juga ga maksa vomment kok, feel free to read my work 😊BUT BUT BUT!
Author mau minta tolong sama kalian untuk komen di chapter sebelum ini. Komen apapun pendapat kalian. I'm begging u guys for this one. Makasih buat kalian yang berbaik hati buat komen 💚Dan juga, Happy independence day Indonesia! 🎉🎉🎉
Dirgahayu Indonesiaku ❤️AUTHOR MENANG LOMBA MAKAN KERUPUK DI RT HIHAAH 🎊
Salam 45 🇲🇨,
Jellyyzzz
KAMU SEDANG MEMBACA
Him -KJH- |One Shot Stories| {✔️}
Fiksi Penggemar[COMPLETED] It's not about me who couldn't letting go of him. It's about.. Something i used to do to remember him, deep down in my heart. I loved him, and will always love him.