Aku berdiri di atas balkon villa yang disewa selama beberapa hari oleh keluargaku. Aku sangat menyukai balkon ini karena berhadapan langsung dengan jajaran pegunungan yang terlihat begitu indah. Oh, bahkan aku bisa melihat terbitnya sang fajar dengan jelas dari sini.
Ya, aku sedang berlibur bersama keluargaku selama beberapa hari. Karena aku begitu menyukai pegunungan, mereka memutuskan untuk menyewa villa di daerah pegunungan seperti ini.
Udara yang bersih, pemandangan yang indah dan suasana yang baru seperti ini benar-benar membuatku nyaman. Dinginnya udara pagi yang menusuk, tidak membuatku beranjak dari balkon ini. Indahnya sang mentari yang terbit dengan malu-malu dari ufuk timur selalu sukses membuat kedua sudut bibirku tertarik ke atas.
Aku meletakkan kedua tanganku pada pagar pembatas balkon ini sembari terus tersenyum menikmati pemandangan yang tersaji di depan mata. Aku tidak peduli dengan kepulan uap yang terus berembus dari hidung dan mulutku ketika aku bernapas karena suhu udara yang begitu dingin. Aku sudah tersihir oleh pesona sang fajar yang terus merangkak naik dengan perlahan namun pasti.
Perlahan, aku menoleh dan mendapati seseorang tengah berdiri tepat di sampingku. Ia menatapku dengan senyum hangatnya. Aku ikut tersenyum, lalu mengalihkan pandanganku kembali menikmati sang mentari yang kian mempertegas sinarnya. Jujur, aku tidak terkejut dengan sosok yang ada di sampingku saat ini. Karena aku tahu, ia hanya ilusi yang tanpa sadar tercipta dari pikiranku sendiri. Dan aku tahu, ia akan menghilang cepat atau lambat.
Tak apa. walau ia hanya ilusi ciptaanku sendiri, aku tetap menikmati detik-detik yang indah ini.
Grep
"Noona, kau tidak kedinginan?" ucap Jisung, adikku, sembari memeluk bahuku dari belakang yang hanya kubalas dengan gelengan kepala. "Noona, kau merindukannya?"
Aku tertegun sejenak, "Kau tahu? Aku selalu merindukannya." aku mengeratkan peganganku pada pagar pembatas.
Jisung menyandarkan dagunya pada bahuku. Adikku ini memang lebih tinggi dariku. Kadang, kami terlihat seperti adik dan kakak yang tertukar karena tubuhku yang jauh lebih kecil dari Jisung.
"Noona, lepaskanlah. Kau percaya kehidupan selanjutnya itu ada? Jika kau tidak bisa bersamanya di kehidupan yang ini, mungkin kau bisa bersamanya di kehidupanmu yang selanjutnya. Hanya jika kau percaya kehidupan selanjutnya itu ada." ujar Jisung dengan kekehan di akhir kalimatnya.
Aku ikut terkekeh. "Aku tidak terlalu percaya tentang adanya kehidupan selanjutnya. Tapi kuharap, itu bisa terjadi. Jika kehidupan selanjutnya memang ada, kuharap kau menjadi kakakku saja, Jisung-ah." aku terkekeh karena kalimat terakhir yang kulontarkan. Terdengar sangat konyol.
Jisung tertawa lepas hingga kepulan uap yang terlihat begitu tebal keluar dari mulut dan hidungnya. "Noona, kau pernah dengar sebuah dongeng? Dongeng yang mengatakan jika seseorang pergi dari dunia ini, maka ia akan menjadi bintang?"
"Ya, aku pernah mendengar dongeng itu. Itu hanya dongeng, Park Jisung. "
"Kurasa, dongeng itu cukup masuk akal. Kau tahu, noona? Bintang terlihat indah saat malam hari, namun mereka akan menghilang saat pagi menjelang."
"Lalu? Apa yang masuk akal?"
"Sebenarnya, bintang memiliki cahaya yang begitu terang namun ia juga begitu jauh dari bumi. Itu sebabnya bintang terlihat begitu kecil. Saat pagi menjelang, bintang-bintang itu tidak hilang. Mereka hanya kalah terang dari matahari."
"Apa yang ingin kau ucapkan, Jisung-ah? Aku tidak mengerti."
"Maksudku, orang yang meninggalkan dunia ini, tidak sepenuhnya pergi meninggalkan kita. Mereka hanya berada begitu jauh dari kita. Cahaya orang itu masih bisa kita rasakan walau tidak bisa kita raih. Ia masih ada, jauh di dalam hati kita. Kau mengerti, noona? "
Sesuatu menohok hatiku setelah mendengar ucapan Jisung. Setelah kupikir, ucapannya memang benar. Ia tidak benar-benar pergi, ia masih hidup dalam hati dan pikiranku.
Aku terlarut dalam pikiranku, hingga Jisung melepaskan pelukannya dan memutar tubuhku hingga berhadapan dengannya. "Noona, kumohon. Lepaskan Jonghyun hyung. Biarkan ia bersinar terang di atas sana. Kau tentu tidak ingin membuatnya sedih, bukan?"
Tes
Setetes air berhasil meluncur dari mataku. Tidak, aku tidak mau membuatnya sedih. Aku ingin ia bersinar terang di atas sana. Jisung benar, aku harus bisa melepaskannya.
Air mata kian deras membanjiri wajahku. Jisung mengulurkan tangannya untuk menghapus air mataku lalu menarikku ke dalam dekapannya. "Noona, kau juga harus bahagia. Kau juga harus bangkit. Kau tidak bisa terus menyiksa dirimu seperti ini. Aku percaya kau bisa melakukan itu, noona."
Aku hanya bisa mengangguk dalam dekapan Jisung. Isakanku kian menjadi dan Jisung berusaha menenangkanku dengan mengelus punggung dan kepalaku. Sungguh, aku sangat bersyukur memiliki adik seperti Jisung.
"Sshhh... Sudahlah, noona. Berhenti menangis atau wajahmu akan membeku." Jisung melepaskan rengkuhannya lalu menghapus jejak air mataku. "Aigoo.. Lihatlah, wajahmu memerah. Ayo kita turun, lalu sarapan."
Aku mengangguk, lalu Jisung menarik tanganku meninggalkan balkon. Aku menoleh ke arah balkon, lalu tersenyum. Jisung benar, aku harus bangkit. Aku harus melepaskannya agar ia bisa bersinar terang di atas sana.
Benar, bersinarlah dengan terang di atas sana, bintangku.
◀️END▶️
LOHA!! Aing kambek wkwk..
Hayo siapa yang kangen?
*krik krik*
Ga ada ya :')Maap agak telat update.. Authornya lagi ngurusin bocah kelas 10 yang baru masuk nih :')
Keep healthy yeorobun! 💚
Ketjup bathah,
jellyyzzz
KAMU SEDANG MEMBACA
Him -KJH- |One Shot Stories| {✔️}
Fiksi Penggemar[COMPLETED] It's not about me who couldn't letting go of him. It's about.. Something i used to do to remember him, deep down in my heart. I loved him, and will always love him.